Sukses

SKK Migas Didesak Masukan Klausul DHE di Kontrak Migas Baru

Partai Golkar meminta ketegasan pemerintah dan SKK Migas agar memasukkan klausul Devisa Hasil Ekspor (DHE) dalam kontrak migas baru.

Partai Golkar meminta ketegasan pemerintah dan SKK Migas agar memasukkan klausul Devisa Hasil Ekspor (DHE) dalam kontrak baru dan perpanjangan Kontrak Kerja Sama Migas dan Tambang.

Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar, Harry Azhar Azis, selama ini kontraktor migas dan tambang berkeras tidak menjalankan aturan Devisa Hasil Ekspor karena belum terdapat dalam Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang telah diteken.

“Debat kusir ini tak akan berakhir, agar di masa datang mereka [kontraktor] tidak banyak omong, lebih tegas jika pemerintah mensyaratkan masuknya aturan DHE ke dalam perpanjangan KKKS yang segera berakhir,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (10/9/2013).

Harry mengatakan, landasan hukum berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) 13/20/PBI/2011 sudah cukup kuat bagi pemerintah untuk segera merebut peluang memperoleh devisa hasil ekspor miliaran US$ setiap tahun. Namun sayangnya, PBI itu malah tidak dipedulikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan SKK Migas.

”Malah Menteri ESDM mengirim surat ke BI meminta supaya DHE tambang dan Migas dikecualikan atau tidak kena PBI itu. Ini ada apa ini?” ujar Harry.

Sebagaimana di PBI 13/20/2011, menyatakan setiap devisa hasil kegiatan ekspor harus dilewatkan melalui perbankan nasional. Artinya, semua sistem dan akun eksportir, termasuk KKKS Migas harus terkoneksi dengan pelaporan di Bank Indonesia.

“Harus dipertegas, siapa yang mempunyai negara ini. Kita sudah terlalu lama dikendalikan kontraktor-kontraktor serakah itu. Harus lebih tegas sekarang. Kalau tidak, fundamental ekonomi kita selalu rapuh seperti saat ini,” tuturnya.

Dia mencatat untuk migas saja wilayah kerja eksploitasi yang akan habis kontraknya antara lain blok Siak dengan operator Chevron Pacific Indonesia tahun ini, blok Offshore Mahakam (Kalimantan Timur) dengan operator Total E&P Indonesia pada 2017, serta Blok Sanga-sanga (Kaltim) dengan kontraktor VICO dan Blok Southeast Sumatera yang dikelola CNOOC pada 2018.

Selain itu, terdapat Blok Bula (Maluku) dengan operator Kalrez yang akan habis pada 2019, Blok South Jambi B yang dikelola ConocoPhillips pada 2020, dan Blok Muriah (Jawa Tengah) yang dikelola Petronas pada 2021.

“Itu belum termasuk kontraktor tambang, seharusnya pemerintah bisa tegas. Tidak menyenangkan investor yang hanya ingin mencari keuntungan dari bumi Indonesia. Ingat, sesuai bunyi Pasal 33 UUD 1945 yaitu bumi, air, dan seisinya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat!” tegas  Harry. (Pew/Ndw)