Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menilai empat perbankan milik pemerintah mempunyai pertahanan cukup kuat terhadap tekanan ekonomi yang saat ini terjadi. Hal ini terlihat dari terjaganya likuidasi masing-masing perbankan.
Keempat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu, antara lain, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN).
"Secara fundamental, empat bank pemerintah ini cukup solid. Terbukti dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) sekitar 86%-an yang artinya likuiditas terjaga serta Non Performing Loan (NPL) relatif rendah di bawah 3%," ungkap Ketua Himbara Gatot M Suwondo di Jakarta, Selasa (10/9/2013) malam.
Dia menganggap, empat perbankan pelat merah ini mampu menunjukkan kesolidan dalam mempengaruhi tekanan ekonomi dalam maupun luar negeri.
Bahkan, Gatot yang sekaligus Direktur Utama Bank BNI ini mengaku tak masalah jika aset perusahaannya merupakan salah satu yang terlemah di antara ketiga bank lain.
"Lemah karena size, kalau mau kami sangat mudah untuk menumbuhkannya. Tinggal naikkan rate, uang masuk dan aset akan naik. Tapi kami ingin menjaga pertumbuhan loan supaya benar-benar menunjang pertumbuhan ekonomi," papar dia.
Tantangan ke depan bagi bank BUMN tersebut, lanjut Gatot, keempat perbankan ini harus berjalan berkesinambungan dengan mengucurkan kredit bagi sektor-sektor produktif bukan konsumtif.
"Harus dukung perkembangan industri dalam negeri dam membantu nasabah dasar dulu, seperti pembelian rumah atau kredit KPR lebih dulu," ujarnya.
Terpenting, Gatot bilang, mengurus perbankan BUMN bukan saja hanya semata-mata mencari keuntungan semata, namun menjadi perpanjangan tangan pemerintah sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
"Masalahnya perbankan swasta terbuka cuma mengikuti tiga Undang-undang (UU) dan dua UU apabila non Tbk. Sedangkan perbankan BUMN mesti mengikuti sebanyak 8 UU," sambungnya.
Dia menambahkan persoalan kembali datang karena 8 UU tersebut lebih banyak menimbulkan multitafsir alias tidak singkron antara UU yang satu dan lain.
"Kalau kayak begini, takutnya penegak hukum yang bingung. Makanya perlu harmonisasi atau saling menunjang, jangan banyak ditafsir dari beberapa angle," tandas Gatot.(Fik/Nur)
Keempat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu, antara lain, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN).
"Secara fundamental, empat bank pemerintah ini cukup solid. Terbukti dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) sekitar 86%-an yang artinya likuiditas terjaga serta Non Performing Loan (NPL) relatif rendah di bawah 3%," ungkap Ketua Himbara Gatot M Suwondo di Jakarta, Selasa (10/9/2013) malam.
Dia menganggap, empat perbankan pelat merah ini mampu menunjukkan kesolidan dalam mempengaruhi tekanan ekonomi dalam maupun luar negeri.
Bahkan, Gatot yang sekaligus Direktur Utama Bank BNI ini mengaku tak masalah jika aset perusahaannya merupakan salah satu yang terlemah di antara ketiga bank lain.
"Lemah karena size, kalau mau kami sangat mudah untuk menumbuhkannya. Tinggal naikkan rate, uang masuk dan aset akan naik. Tapi kami ingin menjaga pertumbuhan loan supaya benar-benar menunjang pertumbuhan ekonomi," papar dia.
Tantangan ke depan bagi bank BUMN tersebut, lanjut Gatot, keempat perbankan ini harus berjalan berkesinambungan dengan mengucurkan kredit bagi sektor-sektor produktif bukan konsumtif.
"Harus dukung perkembangan industri dalam negeri dam membantu nasabah dasar dulu, seperti pembelian rumah atau kredit KPR lebih dulu," ujarnya.
Terpenting, Gatot bilang, mengurus perbankan BUMN bukan saja hanya semata-mata mencari keuntungan semata, namun menjadi perpanjangan tangan pemerintah sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
"Masalahnya perbankan swasta terbuka cuma mengikuti tiga Undang-undang (UU) dan dua UU apabila non Tbk. Sedangkan perbankan BUMN mesti mengikuti sebanyak 8 UU," sambungnya.
Dia menambahkan persoalan kembali datang karena 8 UU tersebut lebih banyak menimbulkan multitafsir alias tidak singkron antara UU yang satu dan lain.
"Kalau kayak begini, takutnya penegak hukum yang bingung. Makanya perlu harmonisasi atau saling menunjang, jangan banyak ditafsir dari beberapa angle," tandas Gatot.(Fik/Nur)