Sukses

Tommy Hilfiger, Awalnya Mengira Bisnis Itu Tak Bisa Bangkrut

Tommy Hilfiger sangat terkejut dan tidak siap ketika jatuh bangkrut, karena dalam bayangannya bisnis tersebut akan sukses besar.

Para pecinta fashion dari kalangan menengah ke atas tentu tak asing lagi dengan sejumlah produk fashion ternama bermerek `Hilfiger`. Beberapa produk asal New York, Amerika Serikat (AS) ini dijual di sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Bali, bahkan hingga ke wilayah timur seperti Makasar.

Merek tersebut ternyata diambil dari nama desainer sekaligus pemilik perusahaan yang memproduksi produk tersebut. Dia adalah Tommy Hilfiger. Dari bisnis fashionnya tersebut, Hilfiger berhasil mendulang kekayaan hingga mencapai US$ 250 juta

Pengusaha kaya ini sudah jatuh cinta pada dunia fashion sejak usia 18 tahun. Tak heran, dia rela putus sekolah guna berbisnis di bidang tersebut.

Tanpa berbekal pengetahuan yang cukup dan hanya didorong kegilaannya untuk berbisnis, Hilfiger pun harus berhadapan dengan kelamnya kebangkrutan. Saat itu dia sangat terkejut dan tidak siap, karena dalam bayangannya bisnis tersebut akan sukses besar.

Namun begitulah akhirnya, dia belajar dari kegagalannya dan kembali membangun bisnisnya dengan pijakan yang lebih kuat. Terpaan bisnisnya tak berhenti sampai di situ. Saat bercerai dengan istri pertamanya, Hilfiger nyaris bangkrut.

Lalu bagaimana kisah Hilfiger jatuh bangun membangun bisnis fashionnya tersebut?

Sejak kanak-kanak selalu ingin tampil beda

Pengusaha fashion yang sukses karena bakat desainnya ini lahir pada 24 Maret 1951 di Elmira, New York, AS. Dia merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Richard Hilfiger bekerja sebagai pembuat jam di toko perhiasan lokal. Sementara ibunya, Virginia merupakan seorang perawat biasa.

Besar di kota yang sangat kecil di AS, setiap orang saling mengenal di tempatnya tersebut. Dia menghabiskan masa kecilnya untuk bekerja sebagai pengantar koran, membersihkan salju, dan memotong rumput di halaman rumah tetangga.

Semua pekerjaan tersebut dilakukannya demi mengumpulkan uang. Saat itu, orangtuanya jarang memberi uang. Hal itulah yang membuat dia sangat senang bekerja.

Sebagai anak kecil, Hilfiger sangat sulit berkonsentrasi, tapi kreativitas membantunya mengatasi kesulitan tersebut.Dengan kreativitasnya, dia pun menitikberatkan karirnya ke bisnis fashion.

Dia merupakan anak yang selalu berpakaian rapi tapi cepat bosan dengan setiap tampilannya. Dia selalu ingin tampil beda di depan orang lain.

Saat remaja, kedua orang tuanya mengirimkan dia ke Elmira Free Academy dan hanya menjadi murid biasa. Namun di usianya yang ke-18, dia benar-benar memutuskan untuk terjun ke dunia fashion.

Tak mau kuliah

Bakat wirausahanya sudah terbukti sejak dia masih sangat muda. Saat masih menyandang status siswa, dia bersama beberapa teman sekolahnya mengumpulkan modal US$ 125 untuk membeli jeans di New York City. Setelah itu, Hilfiger mendesain ulang jeans tersebut dan menjualnya di Elmira, kampung halamannya.

Dia lalu mendirikan sebuah toko pakaian yang diberi nama People's Place. Selain menjual lewat tokonya dia juga menjualnya dari mobil karena banyak orang tergila-gila pada barang jualannya. Penjualannya memang maju pesat.

Di usianya yang ke-18 tahun itu, dia tak mau melanjutkan langkah akademisnya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia tak mau kuliah dan lebih memilih merintis bisnisnya tersebut.

Dia sangat yakin dapat belajar sendiri untuk mengembangkan bisnis dan mereknya. Dibanding memperoleh gelar sarjana, dia yakin akan memperoleh gelar yang lebih tinggi dari dunia nyata.

Tak butuh waktu lama, bisnisnya tumbuh pesat, dia pun membuka banyak toko di sejumlah kampus di New York. Dia lalu pulan pergi New York untuk mendapatkan jeans dari berbagai manufaktur berbeda. Baginya itu merupakan masa yang sangat indah.

Kesuksesan di depan mata, bisnis malah bangkrut

Tujuh tahun setelah bisnisnya berkembang sukses, salah satu akuntan di tokonya mengatakan hal yang cukup mengejutkan. Sang akuntan mengatakan, bisnisnya mengalami masalah keuangan yang cukup parah.

Hilfiger yang saat itu masih berusia 25 tahun menyarankan untuk meminjam uang dari bank. Sayangnya, sudah terlalu banyak uang yang dipinjamnya dari bank. Tanpa basa-basi, akuntan tersebut menyarankan dia untuk mengajukan berkas kebangkrutan karena bisnisnya benar-benar pailit.

Hilfiger pun akhirnya bangkrut. Dia merasa sangat malu dan putus asa. Bisnisnya dimulai dari nol dan bekerja sangat keras. Sekarang saat dia merasa kesuksesan besar sedang di depan mata, dia justru harus menelan kenyataan yang menyakitkan.

Dia sangat yakin bisnisnya akan terus tumbuh tanpa masalah,tapi kenyataan justru berkata lain. Kurangnya memperhatikan bagian terpenting dalam berbisnis merupakan kesalahan yang baru disadarinya.

Namun bukan Hilfiger namanya, jika dia mudah menyerah begitu saja.Konglomerat ini justru menganggapnya sebagai pelajaran terbesar semasa hidupnya.

Bangkit dari kebangkrutan karena mau belajar

Setelah bangkrut, pria berusia 62 tahun ini lalu memaksa dirinya untuk belajar semua aspek dalam berbisnis bukan hanya dari segi berinovasi saja. Dia pun melakukannya dengan fokus yang luar biasa.

Dia belajar membaca neraca saldo, cara mengendalikan pengeluaran dan bagaimana cara membangun bisnis dengan modal terbatas. Semuanya dipelajari secara otodidak. Dia belajar dari kasusnya sendiri dan menganalisa sejumlah alasan yang menutup bisnisnya tersebut.

Tiga tahun kemudian, pria yang pantang menyerah ini masih rajin belajar tentang bisnis dan fashion. Dia lalu memutuskan untuk pindah ke New York dan mengejar karirnya sebagai perancang busana saja.

Hilfiger yang saat itu masih berusia 28 tahun, membentuk tim desain dan berhasil menggaet Jordache Enterprises, Inc. sebagai klien. Jordache merupakan perusahaan manufaktur pakaian AS termasuk kaos, jeans, kacamata, dan berbagai pakaian luar lainnya.Namun sayang sekali, dia dan istrinya dipecat karena perusahaan itu tak berminat untuk mengembangkan pakaian lain selain jeans.

Pada 1984, seorang pengusaha asal India, Mohan Murjani mendekatinya. Saat itu Murjani tengah mencari desainer untuk pakaian olahraga pria. Latar belakang usahanya membuat Murjani semakin yakin pada Hilfiger. Dengan dukungan dari Munjani Group, dia mendirikan Tommy Hilfiger Coporation.

Setahun kemudian, dia mengajukan untuk menggunakan namanya sendiri sebagai merek produk hasil rancangannya. Munjani tak keberatan dan langsung mengabulkannya. Perusahaan miliknya tersebut terus berkembang selama bertahun-tahun dan memperoleh banyak penghargaan.

Waktu tersulit sepanjang hidup Hilfiger

Pada 1976, dia jatuh cinta pada Susie Carona, salah satu karyawan di tokonya. Pasangan tersebut memutuskan untuk menikah dan pindah ke Manhattan tak lama setelah Hilfiger menderita bangkrut.

Bersama Susie, keduanya membentuk tim perancang busana sebelum akhirnya didepak dari Jordadche. Dari pernikahannya dengan Susan, keduanya dianugerahi empat orang anak. Seluruh anaknya tersebut adalah Ally Hilfiger, Richard Hilfiger, Elizabeth Hilfiger, dan Kathleen Hilfiger.

Namun pernikahannya harus usai setelah keduanya memutuskan untuk bercerai pada 2000. Pernikahan yang bertahan selama 20 tahun tersebut harus berakhir. Kejayaan profesionalnya pun berantakan. Pakaian hasil desainnya kehilangan popularitas. Penjualannya bahkan berkurang drastis hingga 75%. Lebih buruk dari penjualan yang anjlok, merek `Hilgifer` sudah tidak keren lagi di pasaran.

Anak-anak di kota besar tak mau lagi memakai produknya. Meski tak bangkrut, sekali lagi Hilgifer harus berjuang keras menyelesaikan semua masalah di perusahaannya. Usahanya membuahkan hasil, pada 2007, dia menandatangani kerjasama eksklusif dengan Macy's untuk menjual pakaian Hilfiger di toko-tokonya.

Bisnisnya pun kembali bergairah. Pada Desember 2008, dia menikahi Dee Ocleppo dan dikarunia seorang anak laki-laki. Pada Mei 2010, perusahaannya kembali meraih keuntungan besar setelah menjual sejumlah produk hingga mencapai US$ 3 miliar. Kini pebisnis fashion tersebut hidup bahagia dengan sejumlah kekayaannya. (Sis/Igw)