Indonesia for Global Justice (IGJ) mengungkapkan gara-gara ratusan ribu hektar lahan pertanian menyusut setiap tahun, program lima swasembada pangan pemerintah terancam gagal. Kondisi ini tentu akan menganggu ketahanan pangan nasional.
"Sebanyak 100 ribu hektar lahan pertanian menyusut setiap tahun padahal sektor ini menjadi salah satu yang diliberalisasi dalam Asean Community 2015, selain sektor kelautan," ujar Direktur Eksekutif IGJ, Riza Damanik di Jakarta, Rabu (11/9/2013).
Lahan pertanian yang kian lama lenyap itu, tambah dia, beralih menjadi perkebunan kelapa sawit, real estate, perkantoran atau lahan komersial. Hal tersebut juga memicu penurunan jumlah petani karena bergeser mencari pekerjaan lain.
"Profesi petani pindah dan ternyata tidak lebih baik dari pekerjaan sebelumnya, yakni sebagai buruh bangunan, buruh migran, paruh waktu, dan sebagainya. Utang pun bertambah untuk mendanai kegiatan baru dengan jumlah anggota keluarga yang bekerja bertambah," jelas dia.
Kondisi ini, Riza memperkirakan, program swasembada yang telah dicanangkan pemerintah terancam gagal dan akhirnya Indonesia akan mengalami ketergantungan impor pangan.
"Swasembada bisa saja tidak tercapai. Karena beberapa negara seperti Eropa, Belanda sudah mulai menerapkan perlindungan untuk sektor pertanian dengan melarang lahan pertanian dikonversi menjadi lahan komersial. Sedangkan Amerika Serikat mengkampanyekan untuk konsumsi pangan lokal," terangnya.
Berbanding terbalik, dia menuturkan, Indonesia justru tidak mengeluarkan kebijakan proteksi di sisi sektor pertanian.
"Inilah yang membuat banyak negara mengalami kebangkrutan, karena sektor pertanian dan perikanan menjadi sektor andalan yang wajib dilindungi. Tapi Indonesia malah tidak memproteksi sehingga ketahanan pangan pun berpotensi terganggu," tandas Riza. (Fik/Ndw)
"Sebanyak 100 ribu hektar lahan pertanian menyusut setiap tahun padahal sektor ini menjadi salah satu yang diliberalisasi dalam Asean Community 2015, selain sektor kelautan," ujar Direktur Eksekutif IGJ, Riza Damanik di Jakarta, Rabu (11/9/2013).
Lahan pertanian yang kian lama lenyap itu, tambah dia, beralih menjadi perkebunan kelapa sawit, real estate, perkantoran atau lahan komersial. Hal tersebut juga memicu penurunan jumlah petani karena bergeser mencari pekerjaan lain.
"Profesi petani pindah dan ternyata tidak lebih baik dari pekerjaan sebelumnya, yakni sebagai buruh bangunan, buruh migran, paruh waktu, dan sebagainya. Utang pun bertambah untuk mendanai kegiatan baru dengan jumlah anggota keluarga yang bekerja bertambah," jelas dia.
Kondisi ini, Riza memperkirakan, program swasembada yang telah dicanangkan pemerintah terancam gagal dan akhirnya Indonesia akan mengalami ketergantungan impor pangan.
"Swasembada bisa saja tidak tercapai. Karena beberapa negara seperti Eropa, Belanda sudah mulai menerapkan perlindungan untuk sektor pertanian dengan melarang lahan pertanian dikonversi menjadi lahan komersial. Sedangkan Amerika Serikat mengkampanyekan untuk konsumsi pangan lokal," terangnya.
Berbanding terbalik, dia menuturkan, Indonesia justru tidak mengeluarkan kebijakan proteksi di sisi sektor pertanian.
"Inilah yang membuat banyak negara mengalami kebangkrutan, karena sektor pertanian dan perikanan menjadi sektor andalan yang wajib dilindungi. Tapi Indonesia malah tidak memproteksi sehingga ketahanan pangan pun berpotensi terganggu," tandas Riza. (Fik/Ndw)