Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri menegaskan kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidak separah pada saat krisis ekonomi di 2008.
Dia menceritakan pengalaman di 2008, saat dirinya kebagian tugas dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang pada waktu itu memang bertugas mengawasi neraca pembayaran Indonesia.
"Saya mulai satu cerita. Kebetulan 2008 saya di Kementerian Keuangan, sebagai special advisor Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani. Terkait isu neraca pembayaran, bagian saya melihat neraca pembayaran seperti apa efeknya," kata Chatib di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (16/9/2013).
Dengan pengalaman tersebut, Chatib mengaku bisa membandingkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih ringan dibandingkan pada 2008.
"Situasi sekarang jauh lebih ringan dibandingkan 2008. Kala itu kita jauh lebih berat, pada saat bersamaan pertumbuhan global jatuh, pertumbuhan Amerika Serikat -10%," ungkap Chatib.
Dia menegaskan, dengan kondisi pertumbuhan global yang ambruk kegiatan ekspor pun tidak berjalan. Selain itu juga disusul dengan adanya krisis pangan, sehingga memperparah kondisi perekonomian pada waktu itu.
"Harapan ekspor hampir tidak ada, pada saat yang sama terjadi krisis pangan, kenaikan yang luar biasa," tuturnya.
Kondisi tersebut juga diperparah pada Juni 2008 pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), waktu itu tingkat suku bunga mencapai 9,5%, dan rupiah melemah hingga Rp 12.800 per dolar Amerika Serikat (AS).
"Kondisi ini terus berlangsung setahun sampai Juni 2009, di sisi perbankan mengalami penurunan namanya interbank dari Rp 200 triliun jadi Rp 120-an triliun, kalau lihat jangan lihat CAR, karena indikatornya lambat. Sehingga waktu itu ada kebijakan likuiditas yang menjamin likuiditas tetap dana disunti Rp 5 triliun ke perbankan," tutupnya. (Pew/Nur)
Dia menceritakan pengalaman di 2008, saat dirinya kebagian tugas dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang pada waktu itu memang bertugas mengawasi neraca pembayaran Indonesia.
"Saya mulai satu cerita. Kebetulan 2008 saya di Kementerian Keuangan, sebagai special advisor Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani. Terkait isu neraca pembayaran, bagian saya melihat neraca pembayaran seperti apa efeknya," kata Chatib di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (16/9/2013).
Dengan pengalaman tersebut, Chatib mengaku bisa membandingkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih ringan dibandingkan pada 2008.
"Situasi sekarang jauh lebih ringan dibandingkan 2008. Kala itu kita jauh lebih berat, pada saat bersamaan pertumbuhan global jatuh, pertumbuhan Amerika Serikat -10%," ungkap Chatib.
Dia menegaskan, dengan kondisi pertumbuhan global yang ambruk kegiatan ekspor pun tidak berjalan. Selain itu juga disusul dengan adanya krisis pangan, sehingga memperparah kondisi perekonomian pada waktu itu.
"Harapan ekspor hampir tidak ada, pada saat yang sama terjadi krisis pangan, kenaikan yang luar biasa," tuturnya.
Kondisi tersebut juga diperparah pada Juni 2008 pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), waktu itu tingkat suku bunga mencapai 9,5%, dan rupiah melemah hingga Rp 12.800 per dolar Amerika Serikat (AS).
"Kondisi ini terus berlangsung setahun sampai Juni 2009, di sisi perbankan mengalami penurunan namanya interbank dari Rp 200 triliun jadi Rp 120-an triliun, kalau lihat jangan lihat CAR, karena indikatornya lambat. Sehingga waktu itu ada kebijakan likuiditas yang menjamin likuiditas tetap dana disunti Rp 5 triliun ke perbankan," tutupnya. (Pew/Nur)