Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan potensi pengembangan energi panas bumi (geothermal) di Indonesia sangat besar hingga mencapai total kapasitas 29 ribu megawat (Mw). Mirisnya, yang baru digarap hanya sebesar 1.343 Mw.
"Geothermal itu tidak akan habis walaupun digunakan berapa tahun lamanya. Pengalaman kami, meski sudah berjalan 20-30 tahun, kapasitas tidak turun," ujar Kepala BPPT, Marzan A Iskandar saat ditemui di Nusa Dua, Bali, Selasa
(1/9/2013) malam.
Pemerintah maupun pihak swasta, tambah dia, dapat mengembangkan geothermal untuk memenuhi sumber energi di negara ini. Hanya saja, kata Marzan, tinggal mengkombinasikan penguasaan teknologi dan kebijakan supaya pemakaiannya dapat meningkat pesat di Indonesia.
Mirzan bilang, investasi proyek pembangunan energi panas bumi biasanya tergantung kesulitan dan lokasi. Dananya diperkirakan menelan sekitar US$ 2 juta-3 juta.
"Sebetulnya ini jadi komitmen pemerintah dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 yang menargetkan penggunaan energi terbarukan minimal 17% di 2025. Tapi sekarang geothermal yang sudah digarap saja baru 1.343 Mw dengan konsumsi baru 5% atau 8 ribu Mw dari potensi 29 ribu Mw," tutur dia.
Di sisi lain, Marzan menjelaskan, pembangunan geothermal hanya memakan lahan cukup kecil walaupun sebagian besar proyek geothermal berada di kawasan hutan lindung.
Inilah tugas pemerintah untuk merevisi UU tentang hutan lindung mengingat proyek geothermal masih dianggap sebagai kegiatan penambangan.
"Bangun pembangkit energi panas bumi memang tidak ada kendala. Tapi izinnya memang perlu beberapa pintu instansi. Ada izin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan pemerintan daerah. Coba kalau dibuat satu pintu dan dukungan dari masyarakat setempat, pasti akan cepat selesai," terangnya. (Fik/Nur)
"Geothermal itu tidak akan habis walaupun digunakan berapa tahun lamanya. Pengalaman kami, meski sudah berjalan 20-30 tahun, kapasitas tidak turun," ujar Kepala BPPT, Marzan A Iskandar saat ditemui di Nusa Dua, Bali, Selasa
(1/9/2013) malam.
Pemerintah maupun pihak swasta, tambah dia, dapat mengembangkan geothermal untuk memenuhi sumber energi di negara ini. Hanya saja, kata Marzan, tinggal mengkombinasikan penguasaan teknologi dan kebijakan supaya pemakaiannya dapat meningkat pesat di Indonesia.
Mirzan bilang, investasi proyek pembangunan energi panas bumi biasanya tergantung kesulitan dan lokasi. Dananya diperkirakan menelan sekitar US$ 2 juta-3 juta.
"Sebetulnya ini jadi komitmen pemerintah dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 yang menargetkan penggunaan energi terbarukan minimal 17% di 2025. Tapi sekarang geothermal yang sudah digarap saja baru 1.343 Mw dengan konsumsi baru 5% atau 8 ribu Mw dari potensi 29 ribu Mw," tutur dia.
Di sisi lain, Marzan menjelaskan, pembangunan geothermal hanya memakan lahan cukup kecil walaupun sebagian besar proyek geothermal berada di kawasan hutan lindung.
Inilah tugas pemerintah untuk merevisi UU tentang hutan lindung mengingat proyek geothermal masih dianggap sebagai kegiatan penambangan.
"Bangun pembangkit energi panas bumi memang tidak ada kendala. Tapi izinnya memang perlu beberapa pintu instansi. Ada izin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan pemerintan daerah. Coba kalau dibuat satu pintu dan dukungan dari masyarakat setempat, pasti akan cepat selesai," terangnya. (Fik/Nur)