Rupiah pernah mengalami masa terburuk yang menghancurkan ekonomi Indonesia. Kisah kelam rupiah ini selalu diingat dan bagi pemerintah jangan sampai ada kejadian rupiah terjungkal dalam lagi.
Kisah kelam rupiah ini, kembali diungkapkan oleh Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara.
Sang deputi gubernur senior BI baru ini, menceritakan kejatuhan rupiah pada saat sebelum terjadi krisis tahun 1997-1998. Bagaimana rupiah yang awalnya tenang di level Rp 2.300 per dolar AS, lalu nyunsep ke posisi Rp 17.000 per dolar AS.
"Kalau kita ingat tahun 1998 sejak Juli 1997 Rupiah dari Rp 2.300 (per dolar AS) bergerak ke Rp 17 ribu di Februari 1998. Terjadi krisis, kemudian itu kita masih ingat berawal dari Thailand menjalar ke Korea kemudian Indonesia, Malaysia, Filipina dan beberapa negara lain," ungkapnya saat mejadi key note speach dalam Seminar Peran LPS Dalam Penyelamatan Bank Gagal di Hotel Four Season, Jakarta, Rabu (2/10/2013).
Krisis tahun 1997-1998 dinilai menjadi krisis terbesar sepanjang sejarah yang terjadi di Asia Tenggara secara lebih khususnya.
Mirza menambahkan sebagai salah satu keputusan pemerintah untuk meng-cover krisis tersebut. Akhirnya pemerintah meminta bantuan dari Internasional Monetary Fund (IMF). Namun saat IMF mulai masuk kondisi masih belum berubah secara signifikan.
Justru usai IMF mengambil alih sistem keuangan Indonesia Mirza menilai menambah khawatir masyarakat karena secara tiba-tiba IMF memerintahkan menutup semua perbankan yang tidak sehat.
"Pada saat Rupiah bergerak Rp 2.300 ke Rp 7.500 kemudian 16 bank malah di tutup, yang terjadi bukan tenang tapi orang malah tambah panik. Apalagi saat itu tidak ada sistem penjaminan, pada saat bank di tutup artinya nasabah gak akan menerima dana sampai liquidasi selesai, aset dijual, utang bank dibayar, nasabah dibayar. Kita bayangkan aset nilainya turun karena rupiah melemah,"terangnya.
Pemerintah sendiri kini sudah lebih banyak belajar dan bertindak hati-hati menjaga rupiah agar kejadian 1997 tak terulang lagi. Kalau pun rupiah kini melemah di level 11.568 per dolar AS, namun saat ini kondisi ekonomi lebih baik dan ketahanan terhadap krisis lebih bagus. (Yas/Igw)
Kisah kelam rupiah ini, kembali diungkapkan oleh Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara.
Sang deputi gubernur senior BI baru ini, menceritakan kejatuhan rupiah pada saat sebelum terjadi krisis tahun 1997-1998. Bagaimana rupiah yang awalnya tenang di level Rp 2.300 per dolar AS, lalu nyunsep ke posisi Rp 17.000 per dolar AS.
"Kalau kita ingat tahun 1998 sejak Juli 1997 Rupiah dari Rp 2.300 (per dolar AS) bergerak ke Rp 17 ribu di Februari 1998. Terjadi krisis, kemudian itu kita masih ingat berawal dari Thailand menjalar ke Korea kemudian Indonesia, Malaysia, Filipina dan beberapa negara lain," ungkapnya saat mejadi key note speach dalam Seminar Peran LPS Dalam Penyelamatan Bank Gagal di Hotel Four Season, Jakarta, Rabu (2/10/2013).
Krisis tahun 1997-1998 dinilai menjadi krisis terbesar sepanjang sejarah yang terjadi di Asia Tenggara secara lebih khususnya.
Mirza menambahkan sebagai salah satu keputusan pemerintah untuk meng-cover krisis tersebut. Akhirnya pemerintah meminta bantuan dari Internasional Monetary Fund (IMF). Namun saat IMF mulai masuk kondisi masih belum berubah secara signifikan.
Justru usai IMF mengambil alih sistem keuangan Indonesia Mirza menilai menambah khawatir masyarakat karena secara tiba-tiba IMF memerintahkan menutup semua perbankan yang tidak sehat.
"Pada saat Rupiah bergerak Rp 2.300 ke Rp 7.500 kemudian 16 bank malah di tutup, yang terjadi bukan tenang tapi orang malah tambah panik. Apalagi saat itu tidak ada sistem penjaminan, pada saat bank di tutup artinya nasabah gak akan menerima dana sampai liquidasi selesai, aset dijual, utang bank dibayar, nasabah dibayar. Kita bayangkan aset nilainya turun karena rupiah melemah,"terangnya.
Pemerintah sendiri kini sudah lebih banyak belajar dan bertindak hati-hati menjaga rupiah agar kejadian 1997 tak terulang lagi. Kalau pun rupiah kini melemah di level 11.568 per dolar AS, namun saat ini kondisi ekonomi lebih baik dan ketahanan terhadap krisis lebih bagus. (Yas/Igw)