Pengusaha daging olahan mengkhawatirkan keberlangsungan usahanya karena takut kalah bersaing dengan industri daging olahan impor yang selama ini menawarkan harga lebih murah.
Ketua Asosiasi Industri Pengelolahan Daging Indonesia atau  atau National Meat Processor Association (Nampa), Inshana Mahisa, mengatakan, produsen daging olahan dalam negeri selama ini terkena kewajiban untuk menggunakan bahan baku dari negara yang bebas pernyakit kuku dan mulut.
Di sisi lain, produsen daging olahan luar negeri justru bebas memasukkan produknya ke Indonesia tanpa syarat bebas dari penyakit kuku dan mulut. Ditambah lagi, produk para pesaingnya itu dijual dengan harga lebih murah.
"Produk olahan (dari luar negeri) Rp 24 ribu sedangkan kita US$ 5. Sementara produk sosis untuk hotel restoran saya jual Rp 70 ribu-60 ribu dia jual 30 ribu rupiah, padahal rasanya sama, kalau peraturan ini dipasakan pasti menguntungkan kelompok tertentu," kata Ishana, dalam diskusi di kantor Kementerian Peridustrian, Jakarta, Kamis (17/10/2013).
Dengan kondisi tersebut, Ishana khawatir bisnis daging olahan lokal akan segera mati karena sulit bersaing dalam hal harga.
"Siapa yang mengajukan izin ini? (upaya) meningkatkan daya saing dalam negeri sama sekali nggak mendukung. Kami dibatasi, jual produk lebih mahal, saingannya lebih murah," ungkapnya.
Lebih jauh, NAMPA khawatir tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap industri dalam negeri, justru akan membahayakan neraca perdagangan.(Pew/Shd)
Ketua Asosiasi Industri Pengelolahan Daging Indonesia atau  atau National Meat Processor Association (Nampa), Inshana Mahisa, mengatakan, produsen daging olahan dalam negeri selama ini terkena kewajiban untuk menggunakan bahan baku dari negara yang bebas pernyakit kuku dan mulut.
Di sisi lain, produsen daging olahan luar negeri justru bebas memasukkan produknya ke Indonesia tanpa syarat bebas dari penyakit kuku dan mulut. Ditambah lagi, produk para pesaingnya itu dijual dengan harga lebih murah.
"Produk olahan (dari luar negeri) Rp 24 ribu sedangkan kita US$ 5. Sementara produk sosis untuk hotel restoran saya jual Rp 70 ribu-60 ribu dia jual 30 ribu rupiah, padahal rasanya sama, kalau peraturan ini dipasakan pasti menguntungkan kelompok tertentu," kata Ishana, dalam diskusi di kantor Kementerian Peridustrian, Jakarta, Kamis (17/10/2013).
Dengan kondisi tersebut, Ishana khawatir bisnis daging olahan lokal akan segera mati karena sulit bersaing dalam hal harga.
"Siapa yang mengajukan izin ini? (upaya) meningkatkan daya saing dalam negeri sama sekali nggak mendukung. Kami dibatasi, jual produk lebih mahal, saingannya lebih murah," ungkapnya.
Lebih jauh, NAMPA khawatir tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap industri dalam negeri, justru akan membahayakan neraca perdagangan.(Pew/Shd)