Sukses

Masih Pantaskah AS Disebut Negara Maju?

Dengan morat-maritnya ekonomi AS, masih pantaskah si Paman Sam dijuluki negara maju? Banyak yang bilang AS kini adalah negara berkembang.

Saat ini AS tengah menunjukkan ketidakstabilan pergerakan ekonomi. Dengan morat-maritnya ekonomi AS, masih pantaskah si Paman Sam dijuluki negara maju? Banyak yang bilang AS kini adalah negara berkembang. Nah Lho!

Kondisi itu dapat dilihat dari penghentian operasional sebagian pemerintahan di Amerika Serikat (shutdown AS) dan pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS oleh China.

Lalu apakah AS sekarang setara dengan negara berkembang? Bagaimana para pakar ekonomi menilainya?

Seperti mengutip CNBC, Selasa (29/10/2013), para pakar ekonomi telah lama membandingkan AS dengan sejumlah negara berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Perbandingan tersebut khususnya berkaitan dengan isu-isu di bidang infrastruktur, jaminan kesehatan sampai pendidikan.

Namun seiring dengan beroperasinya kembali pemerintah AS setelah 16 hari mengalami shutdown, perbedaannya semakin jauh. Badan pemeringkat China, Dagong, memangkas peringkat ekonomi untuk AS akibat utangnya dan menyandingkannya bersama Brasil dengan proyeksi negatif.

"Jika negara lain di planet ini bermain dengan permainan pemerintah yang hanya dimainkan AS, mata uang akan hancur dan obligasi akan diperdagangkan dengan harga tinggi untuk menekan level kehancuranya. Alasan satu-satunya hal tersebut tidak pernah terjadi karena tak satupun yang mampu membuatnya terjadi," ujar Kepala Penelitian Ekuitas Asean di JP Morgan James Sullivan.

Dia juga tidak paham mengapa banyak orang tak mampu membiarkan nilai dolar AS melemah.

"Mengapa orang-orang tidak menjual asetnya lebih agresif daripada yang sekarang mereka lakukan? Karena memang tak satupun yang mau melihat nilai dolar ambruk," ujarnya.

Namun menurut Direktur Pelaksanan Strategi Mata Uang Asing BK Asset Management Boris Schlossberg, dolar AS masih merupakan pasar terbesar, paling menarik dan paling transparan bagi para investor.

"Tak ada yang bisa meremehkan nilai transparansi yang ditunjukan AS," ungkapnya.

Asetnya Tak Lagi Berharga

Sementara Ekonom Senior Credit Agricole Marie Owens Thomsen mengatakan, mengacu pada kedalaman pasar berarti aset AS tidak lagi berharga jika dinilai berdasarkan dasar-dasar makro ekonomi. Hal itu akan membuat AS melakukan perdagangan di luar kemampuannya.

Maka agar AS bisa tetap berdagang sesuai kemampuannya, diperlukan sejumlah alternatif untuk pasar finansial AS. Dia juga mengkhawatirkan peningkatan yang ditunjukan mata uang China.

"Jika yuan semakin terbuka pada mata uang asing lainnya, banyak hal dapat berubah dengan cepat. Pada 2030, sistem keuangan dunia bisa jadi sangat berbeda dengan sekarang," jelas Thimsen.

Status AS: Negara Berkembang

Sementara wakil kepala manajemen portofolio negara-negara berkembang Ramin Toloui menegaskan status AS sebagai negara berkembang. Bagi dia sangat tak masuk akal mengatakan AS sebagai pasar yang berisiko.

"Secara empiris, historis, ada perbedaan antara negara-negara maju yang berutang dengan negara-negara berkembang," jelasnya sambil menyebutkan beberapa faktor pendukung seperti pendapatan per kapita, kekuatan lembaga keuangan dan status cadangan dolar AS.

Toloui juga menegaskan, masih banyak investor yang menaruh minatnya pada aset-aset AS. Tetapi hal itu bukan alasan bagi para pemimpin politik untuk langsung merasa puas dengan pertumbuhan ekonomi atau dengan perpanjangan batas utang AS. Sejumlah faktor lain juga menopang status ekonomi AS saat ini seperti diungkap Sullivan.

"Dari sudut pandang lain soal aset, AS masih merupakan negara dengan tenaga kerja paling berpendidikan dan paling produktif di atas dunia ini. Sangat sulit rasanya bertaruh dengan hal tersebut. Pemerintah berupaya keras sehingga tak ada satu pun yang bisa meragukan itu (kualitas tenaga kerja AS)," ungkap Sullivan.

Namun dari sudut pandang lain, AS tengah membutuhkan investasi besar-besaran di bidang infrastruktur. Yang tidak dapat disangkal dari AS adalah tingkat kehidupan dan pendapatan per kapitanya.

Thomsen mengungkapkan, di titik itu, sangat sulit membandingkan AS dengan negara-negara berkembang. Yang lebih mengkhawatirkan adalah tingkat perubahan reformasi struktural, yang sekarang belum menunjukan dampak positif.

"Negara-negara yang akan menang adalah mereka yang melakukan paling banyak reformasi struktural atau memiliki momentum yang paling menguntungkan dari tingkat perubahan tersebut. Saat ini, momentum itu jauh lebih besar di Jepang , China dan Eropa daripada di AS. Itulah yang mengkhawatirkan bagi AS," tandasnya.(Sis/Nur/Igw)