Niat pemerintah untuk mencaplok mayoritas saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) bukan tanpa alasan. Pasalnya sudah 30 tahun, produsen aluminium ini dikuasai oleh Nippon Asahan Aluminium (NAA), Jepang sehingga kini giliran putra-putri bangsa yang mulai memikirkan masa depan Inalum. Â
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, ada beberapa alasan kuat pemerintah mengambilalih 58,88% saham seiring dengan pengakhiran kontrak kerja sama pada sejak 1 November 1983 sampai 31 Oktober 2013.
"Pertama, kami melihat putra putri Indonesia sudah sangat mampu menangani dan mengembangkan Inalum sendiri ke depan setelah memiliki pengalaman 30 tahun. Kedua, keikutsertaan kembali NAA ke dalam Proyek Asahan tidak diatur dalam master agreement," jelas dia saat Rapat Kerja Pembahasan Inalum di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/10/2013).
Alasan ketiga, tambah Chatib, keinginan NAA kembali ikut dalam proyek tersebut karena berharap saham sebesar 30% dipandang saat merugikan pemerintah Indonesia.
"Bikin rugi karena NAA meminta posisi Direktur Keuangan, pembelian saham yang diminta dengan harga buku, walaupun NAA akan menjadi pemegang saham minoritas tapi mereka minta pengambilan keputusan dilakukan secara unanimous decision making serta menerapkan harga jual yang merugikan perusahaan," tambahnya.
Lebih jauh Chatib menilai, alasan keempat, apabila Inalum dikuasai Indonesia, maka rencana pengembangan bauksit dan klaster industri hilir aluminium akan lebih mudah dilakukan.
Pemerintah, sambung dia, ingin melakukan pengembangan industri dari hulu ke hilir secara terintegrasi, meliputi pengembangan industri untuk bahan baku, smelter, power plant dan pemrosesan menjadi produk bernilai tambah. Â
Hingga saat ini, pemerintah dan Komisi XI DPR masih melakukan pembahasan akuisisi Inalum untuk mendapatkan persetujuan harga pembelian Inalum antara Indonesia-Jepang senilai US$ 558 juta.
Angka ini diperoleh setelah proses alot dan panjang untuk mempertahankan nilai buku masing-masing pemerintah senilai US$ 424 juta dari hasil audit BPKP dan nilai buku Jepang sebesar US$ 626 juta.(Fik/Ndw)
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, ada beberapa alasan kuat pemerintah mengambilalih 58,88% saham seiring dengan pengakhiran kontrak kerja sama pada sejak 1 November 1983 sampai 31 Oktober 2013.
"Pertama, kami melihat putra putri Indonesia sudah sangat mampu menangani dan mengembangkan Inalum sendiri ke depan setelah memiliki pengalaman 30 tahun. Kedua, keikutsertaan kembali NAA ke dalam Proyek Asahan tidak diatur dalam master agreement," jelas dia saat Rapat Kerja Pembahasan Inalum di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/10/2013).
Alasan ketiga, tambah Chatib, keinginan NAA kembali ikut dalam proyek tersebut karena berharap saham sebesar 30% dipandang saat merugikan pemerintah Indonesia.
"Bikin rugi karena NAA meminta posisi Direktur Keuangan, pembelian saham yang diminta dengan harga buku, walaupun NAA akan menjadi pemegang saham minoritas tapi mereka minta pengambilan keputusan dilakukan secara unanimous decision making serta menerapkan harga jual yang merugikan perusahaan," tambahnya.
Lebih jauh Chatib menilai, alasan keempat, apabila Inalum dikuasai Indonesia, maka rencana pengembangan bauksit dan klaster industri hilir aluminium akan lebih mudah dilakukan.
Pemerintah, sambung dia, ingin melakukan pengembangan industri dari hulu ke hilir secara terintegrasi, meliputi pengembangan industri untuk bahan baku, smelter, power plant dan pemrosesan menjadi produk bernilai tambah. Â
Hingga saat ini, pemerintah dan Komisi XI DPR masih melakukan pembahasan akuisisi Inalum untuk mendapatkan persetujuan harga pembelian Inalum antara Indonesia-Jepang senilai US$ 558 juta.
Angka ini diperoleh setelah proses alot dan panjang untuk mempertahankan nilai buku masing-masing pemerintah senilai US$ 424 juta dari hasil audit BPKP dan nilai buku Jepang sebesar US$ 626 juta.(Fik/Ndw)