Bank Indonesia (BI) menilai defisit perdagangan masih akan terus terjadi selama pemerintah belum mampu memperbaiki pengelolaan Minyak dan Gas Bumi (Migas). Impor Migas selama ini menjadi penyumbang utama dari defisit perdagangan nasional.
"Ini kan bagaimana mengelola pemintaan migas, karena defisitnya banyak dari Migas. Kita harus impor Migas terus karena ada ketidakseimbangan antara konsumsi minyak dengan produksinya," ujar Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI, Solikin M Juhro di Bandung, Jawa Barat, seperti ditulis Minggu (10/11/2013).
Menurut Solikin, ketidakseimbangan produksi dan konsumsi dapat dilihat dari besaran lifting minyak dalam negeri yang terus menurun. Di sisi lain, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) terus meningkat dan impor menjadi satu-satu jalan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
"Konsumsi BBM itu tinggi sekali, jadi 70% itu premium dan itu banyak diimpor, sementara produksi kita semakin turun. Kalau dulu bisa lifting 950 ribu barel, sekarang hanya 830 ribu barel. Jadi produksinya menurun konsumsinya meningkat, sehingga itu yang harus diatasi," jelasnya.
BI menilai kenaikan harga BBM bersubsidi pada Juni lalu tidak berdampak signifikan pada upaya menekan laju impor. Kenaikan harga BBM bersubsidi senilai Rp 2.000 per liter dianggap masih terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
"Dulu kan ada pilihan mau dikurangi subsidi kemudian harganya naik atau dibatasi konsumsinya, tetapi naiknya kan cuma Rp 2 ribu, itu masih belum mampu mengurangi konsumsi masyarakat," katanya.
Upaya mengurangi konsumsi BBM secara signifikan seharusnya dilakukan melalui kebijakan pembatasan yang otomatis akan meringankan beban pada neraca perdagangan.
"Kalau dibatasi misalnya dijatah 5 liter seminggu, itu dampaknya akan lain lagi. Tetapi sejauh ini, kebijakan itu (kenaikan harga BBM bersubsidi) masih belum berdampak pada berkurangnya beban neraca perdagangan," tandas Solikin.(Dny/Shd)
"Ini kan bagaimana mengelola pemintaan migas, karena defisitnya banyak dari Migas. Kita harus impor Migas terus karena ada ketidakseimbangan antara konsumsi minyak dengan produksinya," ujar Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI, Solikin M Juhro di Bandung, Jawa Barat, seperti ditulis Minggu (10/11/2013).
Menurut Solikin, ketidakseimbangan produksi dan konsumsi dapat dilihat dari besaran lifting minyak dalam negeri yang terus menurun. Di sisi lain, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) terus meningkat dan impor menjadi satu-satu jalan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
"Konsumsi BBM itu tinggi sekali, jadi 70% itu premium dan itu banyak diimpor, sementara produksi kita semakin turun. Kalau dulu bisa lifting 950 ribu barel, sekarang hanya 830 ribu barel. Jadi produksinya menurun konsumsinya meningkat, sehingga itu yang harus diatasi," jelasnya.
BI menilai kenaikan harga BBM bersubsidi pada Juni lalu tidak berdampak signifikan pada upaya menekan laju impor. Kenaikan harga BBM bersubsidi senilai Rp 2.000 per liter dianggap masih terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
"Dulu kan ada pilihan mau dikurangi subsidi kemudian harganya naik atau dibatasi konsumsinya, tetapi naiknya kan cuma Rp 2 ribu, itu masih belum mampu mengurangi konsumsi masyarakat," katanya.
Upaya mengurangi konsumsi BBM secara signifikan seharusnya dilakukan melalui kebijakan pembatasan yang otomatis akan meringankan beban pada neraca perdagangan.
"Kalau dibatasi misalnya dijatah 5 liter seminggu, itu dampaknya akan lain lagi. Tetapi sejauh ini, kebijakan itu (kenaikan harga BBM bersubsidi) masih belum berdampak pada berkurangnya beban neraca perdagangan," tandas Solikin.(Dny/Shd)