Asosiasi Pengusaha Mangan Indonesia (ASPEMINDO) mengungkapkan Indonesia hingga kini masih kekurangan pelaku usaha yang mau berbisnis di sektor pertambangan mangan. Para pengusaha mengaku bisnis mangan memang tidak semenarik batu bara.
Sekertaris Jenderal ASPEMINDO Saleh A Rais mengatakan, penambang mangan selama ini kurang mendapat perhatian Pemerintah. Kondisi ini berbeda dengan komoditas batu bara yang selalu mendapat insentif sehingga mendorong bisnisnya lebih menarik.
"Kalau batu bara, geologis fee-nya besar sekali, dapat saham, kalau mangan tidak, jadi mana ada yang mau tertarik ke mangan," kata Saleh, dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (10/11/2013).
Untuk mengekspor mangan, pengusaha selama ini mengaku kesulitan karena produksinya terbilang sedikit. Pengusaha bahkan harus menunggu kapasitas produksi mencapai 3 ribu ton sebelum mangan bisa bawa kapal keluar negeri.
Guna memenuhi target volume minimal ekspor tersebut, tak jarang pengusaha mangan harus menunggu enam bulan. Hal ini terpaksa dilakukan pengusaha untuk menyiasati biaya angkut yang mahal.
Saleh mengungkapkan, pengusaha mangan juga dipersulit dengan terbitnya Undang-Undang serta Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 20 tahun 2013 dan Permen 7 tahun 2012. Pengusaha mangan sebagian besar adalah penambang lokal dengan skala bisnis relatif kecil.
"Kami belum bisa ekspor, karena belum punya izin sejak UU nomor 4 terbit, Permen 20 dan 7 kami nggak boleh ekspor. Kami nggak ada barangnya nyarinya setengah mati," pungkasnya.
Seperti diketahui, Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam Peraturan Menteri ESDM No. 20 tahun 2013 diatur tentang batasan produk hasil pertambangan yang boleh diekspor. Dia menyebut batasan tersebut mempertimbangan nilai keekonomian, kemampuan teknologi serta besaran kebutuhan di dalam negeri. Pihaknya pun meminta kepada pengusaha smelter untuk mengajukan kebutuhan pasokan bahan bakunya.(Pew/Shd)
Sekertaris Jenderal ASPEMINDO Saleh A Rais mengatakan, penambang mangan selama ini kurang mendapat perhatian Pemerintah. Kondisi ini berbeda dengan komoditas batu bara yang selalu mendapat insentif sehingga mendorong bisnisnya lebih menarik.
"Kalau batu bara, geologis fee-nya besar sekali, dapat saham, kalau mangan tidak, jadi mana ada yang mau tertarik ke mangan," kata Saleh, dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (10/11/2013).
Untuk mengekspor mangan, pengusaha selama ini mengaku kesulitan karena produksinya terbilang sedikit. Pengusaha bahkan harus menunggu kapasitas produksi mencapai 3 ribu ton sebelum mangan bisa bawa kapal keluar negeri.
Guna memenuhi target volume minimal ekspor tersebut, tak jarang pengusaha mangan harus menunggu enam bulan. Hal ini terpaksa dilakukan pengusaha untuk menyiasati biaya angkut yang mahal.
Saleh mengungkapkan, pengusaha mangan juga dipersulit dengan terbitnya Undang-Undang serta Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 20 tahun 2013 dan Permen 7 tahun 2012. Pengusaha mangan sebagian besar adalah penambang lokal dengan skala bisnis relatif kecil.
"Kami belum bisa ekspor, karena belum punya izin sejak UU nomor 4 terbit, Permen 20 dan 7 kami nggak boleh ekspor. Kami nggak ada barangnya nyarinya setengah mati," pungkasnya.
Seperti diketahui, Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam Peraturan Menteri ESDM No. 20 tahun 2013 diatur tentang batasan produk hasil pertambangan yang boleh diekspor. Dia menyebut batasan tersebut mempertimbangan nilai keekonomian, kemampuan teknologi serta besaran kebutuhan di dalam negeri. Pihaknya pun meminta kepada pengusaha smelter untuk mengajukan kebutuhan pasokan bahan bakunya.(Pew/Shd)