Langkah impor yang dilakukan oleh pemerintah dinilai sebagai strategi instan untuk mengatasi gejolak harga pangan. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Hermanto Siregar menuturkan, kestabilan harga pangan saat ini menjadi acuan atas daya beli masyarakat, dan dijadikan jalan untuk memperlancar arus impor.
"Volatilitas harga pangan yang selalu dijadikan alasan mengganggu daya beli masyarakat sebaiknya tidak terus diberi jalan keluar instan," kata Hermanto, dalam diskusi persiapan WTO, di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (12/11/2013).
Hermanto menambahkan, sebenarnya cara instan dengan melakukan impor tidak langsung mengatasi gejolak pangan seperti yang diharapkan. Hal itu karena selalu ada kendala teknis dan non teknis.
"Diperlukan strategi jangka panjang untuk memperbaiki masalah fundamental," tambah Anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tersebut.
Menurut Hermanto, komoditas pangan yang diimpor sebenarnya masih dapat dikembangkan di Indonesia, karena berbagai produk pangan yang diimpor merupakan jenis komoditas yang sebenarnya dapat ditanam di Indonesia.
"Seperti beras, kedelai, kentang, bawang, daging sapi, ikan, bakan termasuk garam," tuturnya.
Namun Hermanto mengungkapkan, fasilitasi perdagangan secara netto menjadi jalan mengalirnya produk impor. Dengan ketergantungan impor membuat daya saing nasional semakin rendah dan berpengaruh pada ketersediaan pangan.
"Itu jadi jalan produk impor negara industri ke negara berkembang termasuk Indonesia," kata Hermanto.
Sebagai informasi, menurut data word bank 2013, Indonesia menjadi pasar ekpor produk pertanian Australia terbesar ke empat pada 2011 hingga 2012. Menurut perkiraan USDA Indonesia masih menjadi impor utama beras pada tahun 2013 dan 2014. (Pew/Ahm)
"Volatilitas harga pangan yang selalu dijadikan alasan mengganggu daya beli masyarakat sebaiknya tidak terus diberi jalan keluar instan," kata Hermanto, dalam diskusi persiapan WTO, di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (12/11/2013).
Hermanto menambahkan, sebenarnya cara instan dengan melakukan impor tidak langsung mengatasi gejolak pangan seperti yang diharapkan. Hal itu karena selalu ada kendala teknis dan non teknis.
"Diperlukan strategi jangka panjang untuk memperbaiki masalah fundamental," tambah Anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tersebut.
Menurut Hermanto, komoditas pangan yang diimpor sebenarnya masih dapat dikembangkan di Indonesia, karena berbagai produk pangan yang diimpor merupakan jenis komoditas yang sebenarnya dapat ditanam di Indonesia.
"Seperti beras, kedelai, kentang, bawang, daging sapi, ikan, bakan termasuk garam," tuturnya.
Namun Hermanto mengungkapkan, fasilitasi perdagangan secara netto menjadi jalan mengalirnya produk impor. Dengan ketergantungan impor membuat daya saing nasional semakin rendah dan berpengaruh pada ketersediaan pangan.
"Itu jadi jalan produk impor negara industri ke negara berkembang termasuk Indonesia," kata Hermanto.
Sebagai informasi, menurut data word bank 2013, Indonesia menjadi pasar ekpor produk pertanian Australia terbesar ke empat pada 2011 hingga 2012. Menurut perkiraan USDA Indonesia masih menjadi impor utama beras pada tahun 2013 dan 2014. (Pew/Ahm)