Sejak 1996, Indonesia selalu mengalami defisit neraca perdagangan. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan secara kumulatif defisit neraca perdagangan kurun Januari – September 2013 sudah mencapai  US$ 6,26 miliar.Â
Terdiri dari surplus neraca perdagangan nonmigas sebesar US$ 3,48 miliar, dan defisit neraca perdagangan migas US$ 9,74 miliar. Bahkan digadang-gadang defisit bisa mencapai US$ 8 miliar di akhir 2013.
Menurut Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan, kian melebarnya angka defisit disebabkan semakin tingginya impor minyak yang menembus US$ 9,5 miliar hingga akhir 2013.
Sektor non migas sebenarnya menunjukkan kinerja yang cukup cemerlang dengan mencetak surplus US$ 3,5 miliar.
Hal ini cukup membanggakan karena sektor ini bisa tetap positif di tengah kekhawatiran terhadap ekonomi regional dan global.
Namun sayang hal ini tidak bisa menutupi tingginya impor minyak yang terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
"Pertumbuhan ekonomi kita tercepat kedua di dunia setelah Tiongkok. Ini masih bagus. Karena bagus tentu kebutuhan konsumsi BBM bakal naik," jelas Gita dalam kunjungannya ke kantor redaksi Liputan6.com seperti ditulis Kamis (14/11/2013).
Gita mengaku sulit untuk menekan impor minyak. Pasalnya, produksi minyak Indonesia terus merosot ke level 830 ribu-840 ribu barel per hari (bph). Sementara kebutuhan konsumsi minyak nasional sekitar 1,5 juta bph.
Dengan tren ini, bagaimana nasib neraca perdagangan Indonesia ke depan?. Gita pun membeberkan upaya pemerintah menjaga kinerja ekspor nasional selaku Menteri Perdagangan maupun jika dirinya menjadi Presiden. Saat ini, Gita Wirjawan masuk dalam jajaran yang mencalonkan sebagai Presiden di 2014.
Berikut petikan hasil wawancara Tim Liputan6.com dengan orang nomor satu di Kementerian Perdagangan (Kemendag) ini:
Defisit neraca perdagangan Indonesia kian membesar. Bagaimana tanggung jawab Anda sebagai menteri yang ditugaskan mengatasi masalah ini?
Tanggung jawab Mendag tidak sedikit. Kalau terkait neraca perdagangan, ini kan lebih dibebani migas yang defisit. Nilainya saja sudah US$ 9,5 miliar untuk 9 bulan pertama, sedangkan non migas US$ 3,5Â miliar.
Saya melihat porsi non migas cukup membanggakan dalam suasana yang sedikit penuh kekhawatiran di regional dan global karena kita masih mampu membukukan surplus secara non migas.
Ini kegigihan pengusaha kita dari SME sampai UKM dan pengusaha besar untuk melakukan eksportasi ke pasar internasional. Pasar besar kita adalah Tiongkok, Jepang, Korea, Amerika, Uni Eropa dan ASEAN. Itu masih cukup bagus secara volume dan nilainya.
Ada juga pasar baru yang bisa kita tempuh di Pasar Timur Tengah dan Afrika Selatan untuk pengiriman produk bukan hanya komoditas tapi nilai tambah seperti otomotif, kapal laut, alas kaki, garmen dan lainnya.
Peningkatan volume tetap terjadi meski ada koreksi harga tapi masih bisa surplus non migas US$ 3,5 miliar. Kalau migas saya rasa dua penjelasan.
Pertama, pertumbuhan ekonomi 6% relatif bagus sekali dibandingkan negara tetangga yang mengalami pertumbuhan di bawah 1% atau tidak lebih 2% sampai 3%.
Dan bahkan di antara negara-negara G-20, negara dengan pertumbuhan terbesar dunia. Pertumbuhan ekonomi kita tercepat kedua di dunia setelah Tiongkok. Ini masih bagus.
Kita akui tentu kebutuhan konsumsi BBM masih berlanjut dan ini yang mengakibatkan kita masih harus impor karena memang produksi dalam negeri kita menurun.
Kedua, variabel yang dulu kita bisa produksi 1,5 juta barel per hari sudah turun 830-840 ribu. Sementara kebutuhan 1,5 juta, bahkan lebih.
Jadi kalau dilihat dalam titik tertentu di 2013 ada aktivitas untuk melakukan importasi minyak mentah. Ini yang sebabkan neraca kita tertekan.
Ini tren yang mungkin masih berlanjut ke depan karena kebutuhan kita masih meningkat. Sementara produksi kita masih meningkat secara signifikan yang perlu waktu. Langkah yang kita ambil 2 bulan lalu untuk melakukan konversi dari solar ke biofuel kelapa sawit sebesar 10%.
Ini targetnya capai 10% dari kebutuhan solar di 2014. Kalau bisa dilakukan dengan konversi ke biofuel kelapa sawit akan mudahkan dari 2 sisi yakni importasi berkurang dan subsidisasi berkurang.
Ini saya rasa penyikapan fiskal yang bisa berkelanjutan memberikan kenyamanan untuk psikologi pasar karena ujung-ujungnya berakibat ke nilai tukar.
Kalau ada kecenderungan terjadi kekhawatiran di pasar akan berpengaruh ke nilai tukar tak stabil. Itu ujungnya ke current account kita tapi kalau stabil akan beri kenyamanan ke psikologi pasar, nilai tukar dan neraca transaksi berjalan.
Apa yang dilakukan dalam 5 tahun ke depan untuk mengatasi impor BBM terutama jika terpilih jadi Presiden?
Saya rasa Tuhan Allah yang tahu siapa yang bakal jadi Presiden. Tapi siapapun yang jadi Presiden semoga bisa bersikap untuk meningkatkan produksi migas kita. Karena dia harus peka kalau bicara ketahanan nasional.
Ujungnya ada 3 sebenarnya, yakni pangan, energi dan infrastruktur. Tentu banyak hal lain, tapi kalau mau fokus ke hal yang sangat nyata bisa diaktualisasi yaitu 3 hal itu.
Pertama ketahanan energi harus tingkatkan produksi minyak kita. Gas sudah bagus, non migas kita seperti batu bara dan lain-lain bagus dan secara oil ekuivalen kombinasi batu bara, gas dan minyak 6,5 juta barel per hari tapi porsi minyak yang sangat dibutuhkan kita sehari-hari masih kurang untuk penuhi kebutuhan.
Jadi siapapun yang pimpin negara kita perempuan atau lelaki harus jelas meningkatkan produksi dari 840 ribu barel naik di atas angka itu. Ini terkait proses perizinan, pelayanan development itu harus dipercepat. Jangan tunggu 2 sampai 3 tahun untuk bisa eksplotasi dan ekspolitasi.
Nah untuk lakukan itu risikonya tidak kecil. Ini perlu dana tidak kecil juga. Jadi pertama harus ada relaksasi perizinan dan kedua insentif fiskal agar siapapun mau berlomba melakukan eksplorasi dan eksploitasi secara cepat agar produksi terjadi dalam waktu secepat mungkin. Itu cara kongkrit untuk dilakukan.
Kedua, harus peka ke lingkungan, harus dicari sumber-sumber lain yang peka lingkungan. Saya melihat kelapa sawit cukup dahsyat. Jadi konversi biofuel ke kelapa sawit dahsyat, mengingat outlook di 2020, kapasitas produksi kita bisa mencapai 50 juta ton dari sekarang 25 sampai 30 juta ton per tahun. Itu nanti bagaimana penggunaannya?.
Satu-satunya cara pakai kapasitas produksi untuk kebutuhan dalam negeri. Itu bisa hemat impor dan subsidi. Karena subsidi sangat costly.
Subsidi bisa dikurangi dan diberikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Itu dalam bungkusan energi.
Dalam ketahanan pangan, bagaimana bisa menaikkan produksi dalam negeri untuk sapi, kedelai, bawang putih dan komoditas yang sangat dibutuhkan sehari-hari. Itu masih kurang harus ditingkatkan dengan lahan. Memang ada untuk beberapa komoditas tapi yang lain tidak.
Ketahanan pangan harus menginkorporasi variabel di mana mungkin kita harus melakukan pengadaan lahan di luar Indonesia untuk sapi agar bisa pastikan jaminan pasokan sapi 5-10 tahun ke depan.
Kebutuhan sapi kita sekarang cuma 2,5 kilogram (kg) per orang per tahun. Sementara malaysia sudah 14 kg, kita pastinya kalau ingin memperbaiki konsumsi protein maka harus menaikkan konsumsi menjadi 10 kg atau 15 kg.
Padahal setiap kenaikan 1 kg butuh ratusan ribu ton daging tambahan. Jadi harus ada langkah nyata untuk ketahanan pangan ini.
Kemudian pada infrastruktur seperti jalan, listrik, pelabuhan darat, udara kereta api dan segalanya harus dilakukan dengan skala besar dan keberpihakan lebih tinggi.
Dananya ada karena kita punya ruang fiskal lebih besar. Tinggal bagaimana karena kita punya dana yang bisa digunakan dan bisa merangkul modal dari swasta.
Jadi bukan tidak ada dana tapi kekhawatiran terkait dengan kepastian dan penegakan hukum dan segalanya. Balik ke iklim investasi, ini sudah baik tapi ingin lebih baik lagi ke depan.
Saya rasa kalau 3 hal dilakukan dalam waktu ke depan, siapapun yang jadi pemimpin akan sangat bisa memberikan dukungan investasi.
Bapak lebih banyak berkecimpung di invesment banker. Selama ini kita melihat pengelolaan utang dan financing sangat tradisional seperti pajak, tapi invesment banker belum kelihatan. Bagaimana pandangan mengenai ini, apa mungkin kita melakukan sekuritisasi aset atau yang lain?
Sekali lagi Tuhan Allah yang tahu siapa yang jadi Presiden. Siapapun yang jadi Presiden, perempuan atau laki itu harus bisa berpikir apa yang baru diangkat mengenai optimalisasi atau pemanfaatan aset yang dimiliki negara.
Kalau kita lihat potret neraca pemerintah kita, ini kan rasio utang terhadap PDB sekitar 24%, relatif ringan dibandingkan negara tetangga seperti Tiongkok 80%. Malaysia jauh di atas 24%. Ini jauh lebih ringan, harusnya kita sudah bisa lari. Sebab pajak, rasio pajak kita sekitar 15%.
Kalau negara maju tax ratio kurang lebih 30% dan pendapatan dari pajak dibandingkan PDB mereka jauh lebih tinggi dibandingkan di sini. Ini karena 20 juta perusahaan dan individu yang bayar pajak di Indonesia.
Opportunity ke depan untuk menaikkan pendapatan pajak masih besar sekali dan peluang untuk menaikkan rasio pajak masih besar sekali. Bahkan kalau jumlah pembayar pajak punya peluang menurunkan tax rate bagi kawan-kawan yang tidak semampu yang lainnya.
Ini bisa menjadi insentif untuk iklim usaha, investasi dan ekonomi yang lebih sehat ke depan dan kalau ini diimplementasi ke depan, sangat bisa membuatkan ruang fiskal yang bisa digelontorkan untuk pembangunan nasional.
Terkait aset negara yang bisa disekuritisasi saya rasa tidak perlu berpikir ke sana dulu karena likuiditas yang ada di sistem perbankan, dana pensiun sudah puluhan miliar dolar.
Total aset perbankan Rp 4.000 triliun, itu US$ 400 miliar dolar. Di mana instrumentasi untuk jaminan sebesar itu kebanyakan short term. Kalau Anda menaruh deposito paling 6 sampai 12 bulan, tidak ada instrumen 10 tahun.
Ini tinggal dilakukan reinstrumen saja, di mana dana masyarakat bisa ditaruh pada instrumen yang berjangka panjang.
Kalau ini bisa berjangka panjang bisa dipakai untuk pembangunan seperti jalan, listrik, pelabuhan, dan likuiditas masih banyak sekali di sistem perbankan kita tanpa sekuritisasi aset. Itu lebih nyata untuk negara kita.
Indonesia memiliki banyak produk ekspor, kira-kira apa yang bisa dijual lebih besar ke luar negara lain?
Yang sekarang diminati dunia khususnya kawan yang butuh di luar negeri tentu mineral. Puluhan tahun terakhir ini yang sangat diminati seperti minyak, gas, bauksit, nikel, batu bara bahkan emas dan tembaga.
Ke depan saya rasa kita harus melakukan penambahan nilai bukan hanya ekspor mineral. Tapi teknologi-teknologi yang sudah berkembang secara nyata di negara-negara tetangga ataupun negara yang jauh dari sini, dan ini sudah terjadi. Dan saya rasa Indonesia sudah kelihatan industrialisasinya.
Lihat dari potret ekspor saja, beberapa tahun yang lalu 68% dari ekspor komoditas dan 32% non komoditas. Sedangkan sekarang 62% komoditas 38% non komoditas. Ini terjadi ada 2 variabel, koreksi harga komoditas yang turun dan peningkatan produk non komoditas.
Kita lihat banyak pabrik dibangun. Ini ditopang angka nilai investasi selama 3-4 tahun ini yang menopang rangkaian di rantai nilai ini. Jadi akan kelihatan di beberapa tahun ke depan eksportasi lebih ke non komoditas.
Nah, kalau saya lihat tidak ada alasan Indonesia tidak bisa ekspor produk berteknologi, bukan hanya mobil atau kapal, tapi bisa barang high tech seperti handphone, televisi, banyak sekali diekspor ke luar. Ke depan harus mengarah ke sana.
Ini perlu bukan hanya uang tapi insentif pemerintah yang bisa mengkatalisasi proses ini. Harapan saya ke depan agar Indonesia bisa ekspor produk yang lebih industrialisasi.
Nah setelah itu apa?. Saya melihat kedudukan geopolitik Indonesia sudah naik. Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga dunia, populasi terbesar keempat, negara muslim terbesar dunia, perekonomian terbesar 15 dunia dan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menjadi anggota G20 dan pertumbuhan ekonominya tercepat nomor 2 setelah China. Jadi relevansi geopolitik harus bisa dirasakan bukan dari sisi ekonomi tapi geopolitik dan budaya.
Apa sih ujungnya yang harus lakukan lakukan yaitu eksportasi budaya. Bangga dong kita kalau srimulat bisa diselenggarakan selama 2 bulan di London, konser gamelan besar besaran di New York. Kita harus berpikir seperti itu.
Banyak anak muda di Indonesia yang kreatif terkendala dalam pemasaran, sementara di negara lain dibantu pemerintahnya. Kira-kira bagaimana dukungan pemerintah?
Kalau kita melihat negara tetanga, jika mereka melihat ada yang promosikan kreativitas, budaya nasional maka akan diberikan insentif pajak. Kalau ada anak kreatif yang promosi negara untuk kreasi buadaya dapat potongan beban pajak.
Ada negara yang berani double tax, triple tax. Ini kita belum ada. Kedua saya rasa yang bisa diberikan insentif adalah yang terkait research and development. Biaya R&D masih di bawah 1% dari PDB yakni hanya 0,2 sekian.
Sementara di negara maju 3%-4% untuk kepentingan R&D. Kenapa bisa begitu?, karena siapapun perusahaan atau lembaga pemerintah yang keluarkan R&D diberi insentif dalam bentuk pajak atau apapun. Kita belum ada selama ini dan harus dilakukan agar bisa dorong siapapun yang berkreasi atau inovasi.
Jadi sudah ada unsur promosi untuk insentif, unsur kesinambungan operasional kalau diberi intensif untuk riset dan development. Tinggal penggabungan upaya pemerintah dan mereka untuk promosi secara kolaborasi.
Terakhir terkait akses pendanaan yang masih minim. Hanya 20% dari populasi memiliki akses kurang lebih 50 juta dari total 250 juta. Ini karena keterbatasan akses ke perbankan, dana dan lainnya, ini bagaimana?.
Saya lihat dengan cara membuka cabang berapa unit per hari, per minggu masih sulit capai akses ke pendanaan. Ini disebut financial inclusional seperti yang didiskusikan negara-negara G20, Asean dan lainnya.
Kalau saya lihat kita harus memikirkan pakai teknologi untuk by pass atau short cut proses apapun agar sebanyak mungkin rakyat dapat akses pendanaan.
Saya melihat teknologi handphone yang bisa digunakan untuk akselerasi pengaksesan dana oleh masyarakat. Banyak orang tidak punya akun bank tapi punya handphone.
Bagaimana akses dana lewat penggunaan teknologi handphone. Ini sudah dipikirkan para teknolog di Indonesia bagaimana bisa mengakselerasi proses pengaksesan dana, kalau ini lebih meningkat dana.
Kalau ini bisa naik, sekarang lihat saja jumlah UKM kita, 56 juta tapi kalau ada yang punya akses ke pendanaan setengahnya jadi sulit kalau mau promosi. Jadi bagaimana promosi ke diri kita sendiri atau ke luar negeri kalau akses dana terbatas.
Harga bahan pokok terbilang masih tinggi di pasaran seperti daging dan lainnya. Bagaimana Kemendag mengantisipasi hal ini?
Kalau ngomong sapi itu kebutuhan kita kurang lebih versi pemerintah 550 sampai 600 ribu ton per tahun.
Sedangkan produksi dalam negeri kita jauh di bawah itu. Jadi stablitas harga baru bisa terjadi kalau pasokan mencukupi kebutuhan.
Kalau tak mencukupi kebutuhan maka stabilitas harga sulit tercapai. Jadi ini yang kosong ini harus diisi oleh keran impor.
Baru saja direlaksasi pada 1 Oktober melalui peraturan menteri terkait dan importasi baru bisa dieksekusi 3 minggu lalu. Pengapalan pertama sudah tiba pekan lalu 10 ribu ekor, sudah keluar izin 75 ribu ekor sampai akhir tahun.
Kalau saya memantau harga daging sudah turun merayap ke bawah dari Rp 93 ribu ke Rp 90 ribu per kg. Bahkan di pasar Jabodetabek ada yang sudah Rp 85 ribu, meski rata-rata di pasar tradisional masih Rp 90 ribu. Jika nanti sapi yang tiba sudah mulai dipotong tapi perlu beberapa hari. Jadi dilakukan bertahap
Satu lagi yang kita lakukan relaksasi adalah sapi beku. Coba cek di pasar modern yang sajikan daging beku harganya sudah Rp 70 ribu per kg. Ini budaya kita masih belum mau membeli daging beku.
Mereka mau yang fresh, karena keterbatasan pasokan jadi harus ambil dari luar, tapi di ritel modern daging beku sudah sangat mencukupi dan konsumsinya tidak kecil, puluhan ribu ton yang sudah impor dan harga sangat kompetiif dan itu sudah bantu menstabilkan harga.
Saya optimis dalam beberapa pekan ke depan dengan kedatangan sapi akan bantu stabilitas harga, tapi ini bukan berarti kita senang impor tapi amankan kebutuhan.
Selama produksi nasional tidak mencukupi. Paling gampang kalau produksi nasional sesuai target maka tak perlu impor.
Kedelai juga seperti saya jelaskan beberapa kali, kebutuhan kita kurang lebih 2,5 juta ton tapi produksi nasional 700 sampai 800 ribu jadi harus impor 1,7-1,8 juta ton.
Satu hal misalkan di negara asal impor terjadi anomali dan gejolak nilai tukar. Di mana ini variabel tidak disangka, balik ke ulasan pertama, ini terkait ketahanan pangan karena produksi dalam negeri tak mencukupi.
Jadi sulit untuk berpikir kalau kita impor salah selama kita tidak lakukan apapun untuk perbaiki produksi nasional. Saya rasa itu yang harus diperbaiki ke depan yaitu kenaikan produksi nasional agar tak bergantung ke siapapun.
Balik lagi ke urusan daging kalau negara asalnta mengalami anomali cuaca dan gejolak nilai tukar maka apapun yang kita datangkan dari luar negeri tidak murah. Jadi ujungnya harus berlomba menaikkan produksi nasional khususnya daging sapi dan kedelai karena sangat masih tidak tertutup produksi nasional.
Jadi bisa dikatakan swasembada pangan sulit dilakukan?
Sekali lagi, amanah saya sebagai Menteri Perdagangan adalah di hilir untuk menjaga stabilitas harga. Kalau ada kekurangan produksi nasional, saya harus datangkan dari luar untuk kepentingan menjaga stabilitas harga.
Komoditas apa yang paling memusingkan Bapak selama menjadi Menteri Perdagangan?
Daging sapi dan kedelai. Kemudian bawang putih pernah. Sebab bawang putih kebutuhan kita 400 ribu secara nasional, sementara produksi nasional baru 20 ribu. Jadi impor 90% sampai 95% dari kebutuhan.
Coba bayangkan kalau negara asal tiba-tiba terjadi anomali cuaca atau ada hama ditambah gejolak nilai tukar. Jangan harap bawang putih akan semurah keinginan kita. Coba proporsional saja untuk menyampaikan instabilitas harga. Ini terkait dengan kapasitas produksi dalam negeri.
Berapa keseimbangan baru pada harga daging di dalam negeri saat ini?
Kalau saya melihat daging sapi tidak ada alasan harganya tidak bisa turun di level Rp 80 ribu sampai Rp 85 ribu per kg, itu harga normal yang baru.
Karena itu mengantisipasi terjadi anomali cuaca dari negara yang kita datangkan. Tapi kalau bicara kedelai lain soal terkait sangat rawan dengan cuaca di negara asal seperti Argentina, Brazil, AS, Paraguay dan Uruguay.
Jadi kalau bisa dibilang yang perlu direstruktrusasi di hulunya?
Saya rasa bapak dan ibu yang bisa menilai. Saya sangat sangat semangat mengurusi yang di hilir. (Nur/Ndw/*)
Terdiri dari surplus neraca perdagangan nonmigas sebesar US$ 3,48 miliar, dan defisit neraca perdagangan migas US$ 9,74 miliar. Bahkan digadang-gadang defisit bisa mencapai US$ 8 miliar di akhir 2013.
Menurut Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan, kian melebarnya angka defisit disebabkan semakin tingginya impor minyak yang menembus US$ 9,5 miliar hingga akhir 2013.
Sektor non migas sebenarnya menunjukkan kinerja yang cukup cemerlang dengan mencetak surplus US$ 3,5 miliar.
Hal ini cukup membanggakan karena sektor ini bisa tetap positif di tengah kekhawatiran terhadap ekonomi regional dan global.
Namun sayang hal ini tidak bisa menutupi tingginya impor minyak yang terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
"Pertumbuhan ekonomi kita tercepat kedua di dunia setelah Tiongkok. Ini masih bagus. Karena bagus tentu kebutuhan konsumsi BBM bakal naik," jelas Gita dalam kunjungannya ke kantor redaksi Liputan6.com seperti ditulis Kamis (14/11/2013).
Gita mengaku sulit untuk menekan impor minyak. Pasalnya, produksi minyak Indonesia terus merosot ke level 830 ribu-840 ribu barel per hari (bph). Sementara kebutuhan konsumsi minyak nasional sekitar 1,5 juta bph.
Dengan tren ini, bagaimana nasib neraca perdagangan Indonesia ke depan?. Gita pun membeberkan upaya pemerintah menjaga kinerja ekspor nasional selaku Menteri Perdagangan maupun jika dirinya menjadi Presiden. Saat ini, Gita Wirjawan masuk dalam jajaran yang mencalonkan sebagai Presiden di 2014.
Berikut petikan hasil wawancara Tim Liputan6.com dengan orang nomor satu di Kementerian Perdagangan (Kemendag) ini:
Defisit neraca perdagangan Indonesia kian membesar. Bagaimana tanggung jawab Anda sebagai menteri yang ditugaskan mengatasi masalah ini?
Tanggung jawab Mendag tidak sedikit. Kalau terkait neraca perdagangan, ini kan lebih dibebani migas yang defisit. Nilainya saja sudah US$ 9,5 miliar untuk 9 bulan pertama, sedangkan non migas US$ 3,5Â miliar.
Saya melihat porsi non migas cukup membanggakan dalam suasana yang sedikit penuh kekhawatiran di regional dan global karena kita masih mampu membukukan surplus secara non migas.
Ini kegigihan pengusaha kita dari SME sampai UKM dan pengusaha besar untuk melakukan eksportasi ke pasar internasional. Pasar besar kita adalah Tiongkok, Jepang, Korea, Amerika, Uni Eropa dan ASEAN. Itu masih cukup bagus secara volume dan nilainya.
Ada juga pasar baru yang bisa kita tempuh di Pasar Timur Tengah dan Afrika Selatan untuk pengiriman produk bukan hanya komoditas tapi nilai tambah seperti otomotif, kapal laut, alas kaki, garmen dan lainnya.
Peningkatan volume tetap terjadi meski ada koreksi harga tapi masih bisa surplus non migas US$ 3,5 miliar. Kalau migas saya rasa dua penjelasan.
Pertama, pertumbuhan ekonomi 6% relatif bagus sekali dibandingkan negara tetangga yang mengalami pertumbuhan di bawah 1% atau tidak lebih 2% sampai 3%.
Dan bahkan di antara negara-negara G-20, negara dengan pertumbuhan terbesar dunia. Pertumbuhan ekonomi kita tercepat kedua di dunia setelah Tiongkok. Ini masih bagus.
Kita akui tentu kebutuhan konsumsi BBM masih berlanjut dan ini yang mengakibatkan kita masih harus impor karena memang produksi dalam negeri kita menurun.
Kedua, variabel yang dulu kita bisa produksi 1,5 juta barel per hari sudah turun 830-840 ribu. Sementara kebutuhan 1,5 juta, bahkan lebih.
Jadi kalau dilihat dalam titik tertentu di 2013 ada aktivitas untuk melakukan importasi minyak mentah. Ini yang sebabkan neraca kita tertekan.
Ini tren yang mungkin masih berlanjut ke depan karena kebutuhan kita masih meningkat. Sementara produksi kita masih meningkat secara signifikan yang perlu waktu. Langkah yang kita ambil 2 bulan lalu untuk melakukan konversi dari solar ke biofuel kelapa sawit sebesar 10%.
Ini targetnya capai 10% dari kebutuhan solar di 2014. Kalau bisa dilakukan dengan konversi ke biofuel kelapa sawit akan mudahkan dari 2 sisi yakni importasi berkurang dan subsidisasi berkurang.
Ini saya rasa penyikapan fiskal yang bisa berkelanjutan memberikan kenyamanan untuk psikologi pasar karena ujung-ujungnya berakibat ke nilai tukar.
Kalau ada kecenderungan terjadi kekhawatiran di pasar akan berpengaruh ke nilai tukar tak stabil. Itu ujungnya ke current account kita tapi kalau stabil akan beri kenyamanan ke psikologi pasar, nilai tukar dan neraca transaksi berjalan.
Apa yang dilakukan dalam 5 tahun ke depan untuk mengatasi impor BBM terutama jika terpilih jadi Presiden?
Saya rasa Tuhan Allah yang tahu siapa yang bakal jadi Presiden. Tapi siapapun yang jadi Presiden semoga bisa bersikap untuk meningkatkan produksi migas kita. Karena dia harus peka kalau bicara ketahanan nasional.
Ujungnya ada 3 sebenarnya, yakni pangan, energi dan infrastruktur. Tentu banyak hal lain, tapi kalau mau fokus ke hal yang sangat nyata bisa diaktualisasi yaitu 3 hal itu.
Pertama ketahanan energi harus tingkatkan produksi minyak kita. Gas sudah bagus, non migas kita seperti batu bara dan lain-lain bagus dan secara oil ekuivalen kombinasi batu bara, gas dan minyak 6,5 juta barel per hari tapi porsi minyak yang sangat dibutuhkan kita sehari-hari masih kurang untuk penuhi kebutuhan.
Jadi siapapun yang pimpin negara kita perempuan atau lelaki harus jelas meningkatkan produksi dari 840 ribu barel naik di atas angka itu. Ini terkait proses perizinan, pelayanan development itu harus dipercepat. Jangan tunggu 2 sampai 3 tahun untuk bisa eksplotasi dan ekspolitasi.
Nah untuk lakukan itu risikonya tidak kecil. Ini perlu dana tidak kecil juga. Jadi pertama harus ada relaksasi perizinan dan kedua insentif fiskal agar siapapun mau berlomba melakukan eksplorasi dan eksploitasi secara cepat agar produksi terjadi dalam waktu secepat mungkin. Itu cara kongkrit untuk dilakukan.
Kedua, harus peka ke lingkungan, harus dicari sumber-sumber lain yang peka lingkungan. Saya melihat kelapa sawit cukup dahsyat. Jadi konversi biofuel ke kelapa sawit dahsyat, mengingat outlook di 2020, kapasitas produksi kita bisa mencapai 50 juta ton dari sekarang 25 sampai 30 juta ton per tahun. Itu nanti bagaimana penggunaannya?.
Satu-satunya cara pakai kapasitas produksi untuk kebutuhan dalam negeri. Itu bisa hemat impor dan subsidi. Karena subsidi sangat costly.
Subsidi bisa dikurangi dan diberikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Itu dalam bungkusan energi.
Dalam ketahanan pangan, bagaimana bisa menaikkan produksi dalam negeri untuk sapi, kedelai, bawang putih dan komoditas yang sangat dibutuhkan sehari-hari. Itu masih kurang harus ditingkatkan dengan lahan. Memang ada untuk beberapa komoditas tapi yang lain tidak.
Ketahanan pangan harus menginkorporasi variabel di mana mungkin kita harus melakukan pengadaan lahan di luar Indonesia untuk sapi agar bisa pastikan jaminan pasokan sapi 5-10 tahun ke depan.
Kebutuhan sapi kita sekarang cuma 2,5 kilogram (kg) per orang per tahun. Sementara malaysia sudah 14 kg, kita pastinya kalau ingin memperbaiki konsumsi protein maka harus menaikkan konsumsi menjadi 10 kg atau 15 kg.
Padahal setiap kenaikan 1 kg butuh ratusan ribu ton daging tambahan. Jadi harus ada langkah nyata untuk ketahanan pangan ini.
Kemudian pada infrastruktur seperti jalan, listrik, pelabuhan darat, udara kereta api dan segalanya harus dilakukan dengan skala besar dan keberpihakan lebih tinggi.
Dananya ada karena kita punya ruang fiskal lebih besar. Tinggal bagaimana karena kita punya dana yang bisa digunakan dan bisa merangkul modal dari swasta.
Jadi bukan tidak ada dana tapi kekhawatiran terkait dengan kepastian dan penegakan hukum dan segalanya. Balik ke iklim investasi, ini sudah baik tapi ingin lebih baik lagi ke depan.
Saya rasa kalau 3 hal dilakukan dalam waktu ke depan, siapapun yang jadi pemimpin akan sangat bisa memberikan dukungan investasi.
Bapak lebih banyak berkecimpung di invesment banker. Selama ini kita melihat pengelolaan utang dan financing sangat tradisional seperti pajak, tapi invesment banker belum kelihatan. Bagaimana pandangan mengenai ini, apa mungkin kita melakukan sekuritisasi aset atau yang lain?
Sekali lagi Tuhan Allah yang tahu siapa yang jadi Presiden. Siapapun yang jadi Presiden, perempuan atau laki itu harus bisa berpikir apa yang baru diangkat mengenai optimalisasi atau pemanfaatan aset yang dimiliki negara.
Kalau kita lihat potret neraca pemerintah kita, ini kan rasio utang terhadap PDB sekitar 24%, relatif ringan dibandingkan negara tetangga seperti Tiongkok 80%. Malaysia jauh di atas 24%. Ini jauh lebih ringan, harusnya kita sudah bisa lari. Sebab pajak, rasio pajak kita sekitar 15%.
Kalau negara maju tax ratio kurang lebih 30% dan pendapatan dari pajak dibandingkan PDB mereka jauh lebih tinggi dibandingkan di sini. Ini karena 20 juta perusahaan dan individu yang bayar pajak di Indonesia.
Opportunity ke depan untuk menaikkan pendapatan pajak masih besar sekali dan peluang untuk menaikkan rasio pajak masih besar sekali. Bahkan kalau jumlah pembayar pajak punya peluang menurunkan tax rate bagi kawan-kawan yang tidak semampu yang lainnya.
Ini bisa menjadi insentif untuk iklim usaha, investasi dan ekonomi yang lebih sehat ke depan dan kalau ini diimplementasi ke depan, sangat bisa membuatkan ruang fiskal yang bisa digelontorkan untuk pembangunan nasional.
Terkait aset negara yang bisa disekuritisasi saya rasa tidak perlu berpikir ke sana dulu karena likuiditas yang ada di sistem perbankan, dana pensiun sudah puluhan miliar dolar.
Total aset perbankan Rp 4.000 triliun, itu US$ 400 miliar dolar. Di mana instrumentasi untuk jaminan sebesar itu kebanyakan short term. Kalau Anda menaruh deposito paling 6 sampai 12 bulan, tidak ada instrumen 10 tahun.
Ini tinggal dilakukan reinstrumen saja, di mana dana masyarakat bisa ditaruh pada instrumen yang berjangka panjang.
Kalau ini bisa berjangka panjang bisa dipakai untuk pembangunan seperti jalan, listrik, pelabuhan, dan likuiditas masih banyak sekali di sistem perbankan kita tanpa sekuritisasi aset. Itu lebih nyata untuk negara kita.
Indonesia memiliki banyak produk ekspor, kira-kira apa yang bisa dijual lebih besar ke luar negara lain?
Yang sekarang diminati dunia khususnya kawan yang butuh di luar negeri tentu mineral. Puluhan tahun terakhir ini yang sangat diminati seperti minyak, gas, bauksit, nikel, batu bara bahkan emas dan tembaga.
Ke depan saya rasa kita harus melakukan penambahan nilai bukan hanya ekspor mineral. Tapi teknologi-teknologi yang sudah berkembang secara nyata di negara-negara tetangga ataupun negara yang jauh dari sini, dan ini sudah terjadi. Dan saya rasa Indonesia sudah kelihatan industrialisasinya.
Lihat dari potret ekspor saja, beberapa tahun yang lalu 68% dari ekspor komoditas dan 32% non komoditas. Sedangkan sekarang 62% komoditas 38% non komoditas. Ini terjadi ada 2 variabel, koreksi harga komoditas yang turun dan peningkatan produk non komoditas.
Kita lihat banyak pabrik dibangun. Ini ditopang angka nilai investasi selama 3-4 tahun ini yang menopang rangkaian di rantai nilai ini. Jadi akan kelihatan di beberapa tahun ke depan eksportasi lebih ke non komoditas.
Nah, kalau saya lihat tidak ada alasan Indonesia tidak bisa ekspor produk berteknologi, bukan hanya mobil atau kapal, tapi bisa barang high tech seperti handphone, televisi, banyak sekali diekspor ke luar. Ke depan harus mengarah ke sana.
Ini perlu bukan hanya uang tapi insentif pemerintah yang bisa mengkatalisasi proses ini. Harapan saya ke depan agar Indonesia bisa ekspor produk yang lebih industrialisasi.
Nah setelah itu apa?. Saya melihat kedudukan geopolitik Indonesia sudah naik. Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga dunia, populasi terbesar keempat, negara muslim terbesar dunia, perekonomian terbesar 15 dunia dan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menjadi anggota G20 dan pertumbuhan ekonominya tercepat nomor 2 setelah China. Jadi relevansi geopolitik harus bisa dirasakan bukan dari sisi ekonomi tapi geopolitik dan budaya.
Apa sih ujungnya yang harus lakukan lakukan yaitu eksportasi budaya. Bangga dong kita kalau srimulat bisa diselenggarakan selama 2 bulan di London, konser gamelan besar besaran di New York. Kita harus berpikir seperti itu.
Banyak anak muda di Indonesia yang kreatif terkendala dalam pemasaran, sementara di negara lain dibantu pemerintahnya. Kira-kira bagaimana dukungan pemerintah?
Kalau kita melihat negara tetanga, jika mereka melihat ada yang promosikan kreativitas, budaya nasional maka akan diberikan insentif pajak. Kalau ada anak kreatif yang promosi negara untuk kreasi buadaya dapat potongan beban pajak.
Ada negara yang berani double tax, triple tax. Ini kita belum ada. Kedua saya rasa yang bisa diberikan insentif adalah yang terkait research and development. Biaya R&D masih di bawah 1% dari PDB yakni hanya 0,2 sekian.
Sementara di negara maju 3%-4% untuk kepentingan R&D. Kenapa bisa begitu?, karena siapapun perusahaan atau lembaga pemerintah yang keluarkan R&D diberi insentif dalam bentuk pajak atau apapun. Kita belum ada selama ini dan harus dilakukan agar bisa dorong siapapun yang berkreasi atau inovasi.
Jadi sudah ada unsur promosi untuk insentif, unsur kesinambungan operasional kalau diberi intensif untuk riset dan development. Tinggal penggabungan upaya pemerintah dan mereka untuk promosi secara kolaborasi.
Terakhir terkait akses pendanaan yang masih minim. Hanya 20% dari populasi memiliki akses kurang lebih 50 juta dari total 250 juta. Ini karena keterbatasan akses ke perbankan, dana dan lainnya, ini bagaimana?.
Saya lihat dengan cara membuka cabang berapa unit per hari, per minggu masih sulit capai akses ke pendanaan. Ini disebut financial inclusional seperti yang didiskusikan negara-negara G20, Asean dan lainnya.
Kalau saya lihat kita harus memikirkan pakai teknologi untuk by pass atau short cut proses apapun agar sebanyak mungkin rakyat dapat akses pendanaan.
Saya melihat teknologi handphone yang bisa digunakan untuk akselerasi pengaksesan dana oleh masyarakat. Banyak orang tidak punya akun bank tapi punya handphone.
Bagaimana akses dana lewat penggunaan teknologi handphone. Ini sudah dipikirkan para teknolog di Indonesia bagaimana bisa mengakselerasi proses pengaksesan dana, kalau ini lebih meningkat dana.
Kalau ini bisa naik, sekarang lihat saja jumlah UKM kita, 56 juta tapi kalau ada yang punya akses ke pendanaan setengahnya jadi sulit kalau mau promosi. Jadi bagaimana promosi ke diri kita sendiri atau ke luar negeri kalau akses dana terbatas.
Harga bahan pokok terbilang masih tinggi di pasaran seperti daging dan lainnya. Bagaimana Kemendag mengantisipasi hal ini?
Kalau ngomong sapi itu kebutuhan kita kurang lebih versi pemerintah 550 sampai 600 ribu ton per tahun.
Sedangkan produksi dalam negeri kita jauh di bawah itu. Jadi stablitas harga baru bisa terjadi kalau pasokan mencukupi kebutuhan.
Kalau tak mencukupi kebutuhan maka stabilitas harga sulit tercapai. Jadi ini yang kosong ini harus diisi oleh keran impor.
Baru saja direlaksasi pada 1 Oktober melalui peraturan menteri terkait dan importasi baru bisa dieksekusi 3 minggu lalu. Pengapalan pertama sudah tiba pekan lalu 10 ribu ekor, sudah keluar izin 75 ribu ekor sampai akhir tahun.
Kalau saya memantau harga daging sudah turun merayap ke bawah dari Rp 93 ribu ke Rp 90 ribu per kg. Bahkan di pasar Jabodetabek ada yang sudah Rp 85 ribu, meski rata-rata di pasar tradisional masih Rp 90 ribu. Jika nanti sapi yang tiba sudah mulai dipotong tapi perlu beberapa hari. Jadi dilakukan bertahap
Satu lagi yang kita lakukan relaksasi adalah sapi beku. Coba cek di pasar modern yang sajikan daging beku harganya sudah Rp 70 ribu per kg. Ini budaya kita masih belum mau membeli daging beku.
Mereka mau yang fresh, karena keterbatasan pasokan jadi harus ambil dari luar, tapi di ritel modern daging beku sudah sangat mencukupi dan konsumsinya tidak kecil, puluhan ribu ton yang sudah impor dan harga sangat kompetiif dan itu sudah bantu menstabilkan harga.
Saya optimis dalam beberapa pekan ke depan dengan kedatangan sapi akan bantu stabilitas harga, tapi ini bukan berarti kita senang impor tapi amankan kebutuhan.
Selama produksi nasional tidak mencukupi. Paling gampang kalau produksi nasional sesuai target maka tak perlu impor.
Kedelai juga seperti saya jelaskan beberapa kali, kebutuhan kita kurang lebih 2,5 juta ton tapi produksi nasional 700 sampai 800 ribu jadi harus impor 1,7-1,8 juta ton.
Satu hal misalkan di negara asal impor terjadi anomali dan gejolak nilai tukar. Di mana ini variabel tidak disangka, balik ke ulasan pertama, ini terkait ketahanan pangan karena produksi dalam negeri tak mencukupi.
Jadi sulit untuk berpikir kalau kita impor salah selama kita tidak lakukan apapun untuk perbaiki produksi nasional. Saya rasa itu yang harus diperbaiki ke depan yaitu kenaikan produksi nasional agar tak bergantung ke siapapun.
Balik lagi ke urusan daging kalau negara asalnta mengalami anomali cuaca dan gejolak nilai tukar maka apapun yang kita datangkan dari luar negeri tidak murah. Jadi ujungnya harus berlomba menaikkan produksi nasional khususnya daging sapi dan kedelai karena sangat masih tidak tertutup produksi nasional.
Jadi bisa dikatakan swasembada pangan sulit dilakukan?
Sekali lagi, amanah saya sebagai Menteri Perdagangan adalah di hilir untuk menjaga stabilitas harga. Kalau ada kekurangan produksi nasional, saya harus datangkan dari luar untuk kepentingan menjaga stabilitas harga.
Komoditas apa yang paling memusingkan Bapak selama menjadi Menteri Perdagangan?
Daging sapi dan kedelai. Kemudian bawang putih pernah. Sebab bawang putih kebutuhan kita 400 ribu secara nasional, sementara produksi nasional baru 20 ribu. Jadi impor 90% sampai 95% dari kebutuhan.
Coba bayangkan kalau negara asal tiba-tiba terjadi anomali cuaca atau ada hama ditambah gejolak nilai tukar. Jangan harap bawang putih akan semurah keinginan kita. Coba proporsional saja untuk menyampaikan instabilitas harga. Ini terkait dengan kapasitas produksi dalam negeri.
Berapa keseimbangan baru pada harga daging di dalam negeri saat ini?
Kalau saya melihat daging sapi tidak ada alasan harganya tidak bisa turun di level Rp 80 ribu sampai Rp 85 ribu per kg, itu harga normal yang baru.
Karena itu mengantisipasi terjadi anomali cuaca dari negara yang kita datangkan. Tapi kalau bicara kedelai lain soal terkait sangat rawan dengan cuaca di negara asal seperti Argentina, Brazil, AS, Paraguay dan Uruguay.
Jadi kalau bisa dibilang yang perlu direstruktrusasi di hulunya?
Saya rasa bapak dan ibu yang bisa menilai. Saya sangat sangat semangat mengurusi yang di hilir. (Nur/Ndw/*)