Hasil dari survei yang dilakukan oleh Manulife Investor Sentiment Index (MISI) menunjukkan sekitar 20% responden yang berusia di atas 48 tahun berencana untuk mengandalkan anak-anaknya, untuk mendukung keuangan mereka guna menutupi kekurangan tabungan masa pensiun.
" Sekitar 1 dari 5 responden mengandalkan bantuan finansial dari anak-anak mereka untuk mendukung keuangan mereka," ujar Vice President Director-Chief Agency, Employees Benefits and Shariah Officer PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia Nelly Husnayati di Jakarta, Kamis (14/11/2013).
Sementara itu, 33% responden di bawah usia 48 tahun mengungkapkan, mereka diharapkan untuk turut membantu secara finansial setelah orang tuanya pensiun.
Menurut Nelly, hal ini karena kultur budaya di Indonesia yang menganggap seorang anak harus membakti kepada orang tuanya. Salah satunya dengan cara ikut bertanggungjawab terhadap kehidupan orang tuanya setelah pensiun.
"Ini tidak salah, karena secara kultur kita yang masih memegang adat ketimuran. Namun hal ini juga akan membebani anak-anaknya. Bila anaknya 10 orang mungkin akan lebih ringan, tetapi bagaimana dengan yang hanya memiliki 2 anak," lanjutnya.
Kondisi serupa ditemukan di banyak wilayah Asia, para responden yang menjadi generasi uang disebut 'sandwich generation', di mana mereka harus membiayai anak mereka sekaligus membayar biaya pensiun orang tuanya sehingga tidak mampu menabung untuk pensiun mereka sendiri.
"Dengan usia harapan hidup yang lebih panjang, ada kecenderungan yang semakin tinggi bagi investor untuk membiayai orang tua mereka yang semakin tua dan pada saat yang sama menyisihkan sebagian pendapatan untuk masa pensiun mereka pula," katanya.
Hal ini jauh berbeda dengan kondisi di negara barat, di mana masyarakatnya cenderung telah mempersiapkan masa pensiunnya sejak jauh hari sehingga seorang anak hanya akan fokus terhadap kebutuhan dirinya sendiri.
"Kalau di sana telah ada pemisahan yang jelas. Sehingga orang tua sudah mempunyai tabungan untuk masa pensiunnya, sedangkan anak-anak tidak memiliki kewajiban untuk menanggungnya," jelas dia. (Dny/Ndw)
" Sekitar 1 dari 5 responden mengandalkan bantuan finansial dari anak-anak mereka untuk mendukung keuangan mereka," ujar Vice President Director-Chief Agency, Employees Benefits and Shariah Officer PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia Nelly Husnayati di Jakarta, Kamis (14/11/2013).
Sementara itu, 33% responden di bawah usia 48 tahun mengungkapkan, mereka diharapkan untuk turut membantu secara finansial setelah orang tuanya pensiun.
Menurut Nelly, hal ini karena kultur budaya di Indonesia yang menganggap seorang anak harus membakti kepada orang tuanya. Salah satunya dengan cara ikut bertanggungjawab terhadap kehidupan orang tuanya setelah pensiun.
"Ini tidak salah, karena secara kultur kita yang masih memegang adat ketimuran. Namun hal ini juga akan membebani anak-anaknya. Bila anaknya 10 orang mungkin akan lebih ringan, tetapi bagaimana dengan yang hanya memiliki 2 anak," lanjutnya.
Kondisi serupa ditemukan di banyak wilayah Asia, para responden yang menjadi generasi uang disebut 'sandwich generation', di mana mereka harus membiayai anak mereka sekaligus membayar biaya pensiun orang tuanya sehingga tidak mampu menabung untuk pensiun mereka sendiri.
"Dengan usia harapan hidup yang lebih panjang, ada kecenderungan yang semakin tinggi bagi investor untuk membiayai orang tua mereka yang semakin tua dan pada saat yang sama menyisihkan sebagian pendapatan untuk masa pensiun mereka pula," katanya.
Hal ini jauh berbeda dengan kondisi di negara barat, di mana masyarakatnya cenderung telah mempersiapkan masa pensiunnya sejak jauh hari sehingga seorang anak hanya akan fokus terhadap kebutuhan dirinya sendiri.
"Kalau di sana telah ada pemisahan yang jelas. Sehingga orang tua sudah mempunyai tabungan untuk masa pensiunnya, sedangkan anak-anak tidak memiliki kewajiban untuk menanggungnya," jelas dia. (Dny/Ndw)