Sulawesi, pulau yang memiliki berjuta keindahan di dalamnya, mulai dari keindahan alam, sumber daya yang melimpah, adat istiadat yang menyimpan misteri, hingga kekayaan keanekaragaman hayati yang dimilikinya.
Burung Maleo atau Macrocephalon Maleo adalah salah satu kekayaan itu, sebagai hewan endemik Sulawesi, secara fisik tinggi Maleo dewasa mencapai 55-60 cm, dengan warna tubuh didominasi hitam dan perut putih kemerahanjambuan, Maleo memiliki panjang ekor sedang sampai panjang.
Sepanjang hidupnya Maleo menghabiskan banyak waktunya di atas pohon, dan hanya turun ke darat pada saat bertelur saja di daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan daerah-daerah yang hangat dari panas bumi untuk menetaskan telurnya yang berukuran besar.
Berukuran mencapai lima kali lebih besar dari telur ayam atau sekitar 270 gram per butirnya yang akan menetas setelah selama 45 hari di dalam tanah atau pasir. Setelah menetas, anak Maleo menggali jalan keluar dari dalam tanah dan bersembunyi ke dalam hutan. Anak Maleo ini sudah dapat terbang, dan harus mencari makan sendiri dan menghindari predatornya.
Selain sebagai satwa endemik Maleo merupakan burung yang unik, keunikannya mulai dari struktur tubuh, habitat, hingga tingkah lakunya yang salah satunya adalah anti poligami, yang hanya mempunyai satu pasangan dan tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.
Â
Dari sisi pakan, Maleo kerap disebut sebagai pemakan kemiri, namun Maleo juga memakan aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang serta berbagai jenis hewan kecil.
Saat ini Maleo tinggal di beberapa bagian Pulau Sulawesi, menurut catatan kami maleo dapat ditemui di Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Kotamobagu, dan Taman Nasional Bakiriang Luwuk dan Pantai Taima di desa Desa Taima, wilayah Tompotika Sulawesi Tengah.
Karena keunikan habitatnya yang khas yang pada akhirnya dapat mempercepat kepunahan populasinya, banyak hal yang menyebabkan berkurangnya Maleo, mulai dari hewan predator seperti biawak atau yang kerap disebut soa-soa, babi hutan dan yang menyedihkan adalah besarnya andil manusia sebagai predator. Di mana manusia merampas hutan dan pantai tempat mereka tinggal, manusia merampas telur-telur dengan cara yang tidak bijaksana.
Berbicara Maleo tidaklah lepas dari adat istiadat yang mengikat di dalamnya, Adat Malabot Tumpe, sebuah upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Kota Banggai (Kabupaten Banggai Kepulauan) dan masyarakat Kecamatan Batui (Kabupaten Banggai) yang menggunakan telur maleo sebagai bagian utama dari acara ini.
Sebagaimana dituturkan oleh Aris Apok, seorang Bosanyo atau Ketua adat dari desa Batui. Menurut Aris, Tumpe adalah upacara adat pengiriman telur burung Maleo yang bertelor pertama kali (pada musim pertama). Prosesi Adat Tumpe dimulai dengan pengumpulan telur burung Maleo oleh perangkat Adat Batui sebanyak 160 butir. Untuk kemudian dibawa ke kepulauan Banggai dan dipersembahkan sebagi wujud penghormatan kepada Kerajaan Banggai.
Sebuah adat yang memiliki nilai luhur, memegang amanat dan kejujuran, sebuah contoh kearifan lokal yang harus tetap dipelihara hingga kini. Hanya saja sayangnya saat ini sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan telur burung Maleo yang dulu ribuan jumlahnya di Batui. Sulitnya mendapatkan telur Maleo menyadarkan kita bahwa pelestarian Maleo sudah sangat terlambat.
Rendahnya kesadaran sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab telah merampas hutan tempat tinggal Maleo, telah mengambil hak hidup Maleo. Oleh karenanya banyak upaya telah dilakukan, baik oleh Pemerintah daerah hingga Perusahaan yang berada di Sulawesi untuk melestarikan Maleo. Salah satunya adalah peran aktif PT Pertamina EP, yang dengan gigihnya sejak tahun 2010 menjadi pioner pelestarian Maleo.
Komitmen tersebut, diwujudkan dengan melakukan pelepasan Maleo di Suaka Margasatwa Bakiriang, Kecamatan Moelong, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah Senin 7 Oktober 2013, yang dihadiri oleh Exploration & New Discovery Project Director Pertamina EP Doddy Priambodo, Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Sidharto, VP Legal & Relation Pertamina EP Aji Prayudi, General Manager Matindok Gas Development Project Medianto Budi Satyawan dan stakeholder lainnya.
Menurut Doddy, pembangunan penangkaran Maleo oleh Pertamina EP dipesisir pantai Bakiriang merupakan wujud kepedulian Pertamina EP terhadap lingkungan hidup. Hal ini sehubungan dengan burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi yang hampir punah karena telur burung Maleo menjadi buruan masyarakat.
"Selain telur yang diburu, semakin sedikitnya jumlah burung Maleo juga disebabkan karena banyaknya penebangan hutan di kawasan hutan Sulawesi. Sehingga burung tersebut bergeser ke lokasi lain untuk kemudian semakin sedikit jumlahnya. Padahal ini satwa endemik masyarakat Sulawesi yang harus dilestarikan dan jangan sampai punah," tambah Doddy.
Sementara itu, Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Sudharto mengapresiasi langkah Pertamina EP melestarikan burung Maleo di Sulawesi. "Pertamina adalah salah satu pahlawan pelestarian burung Maleo," puji Sudharto.
Upaya ini tentunya adalah wujud nyata PT Pertamina EP dalam menyandingkan dan menyelaraskan pertumbuhan suatu daerah dengan kearifan lokal yang telah terpatri dalam kehidupan masyarakat Banggai.
Bahwa adat istiadat ada untuk melestarikan kehidupan, bukan menghancurkannya atau bahkan merusaknya tak bersisa. Adat istiadat mengajarkan pada kita bahwa Maleo telah ada berabad-abad yang lalu berdampingan harmonis dengan adat Malabot Tumpe.
Modernisasi dan pembangunan yang tak arif-lah yang membuatnya hilang tak bersisa. Oleh karenanya, upaya pelestarian Maleo dilakukan bukan hanya untuk menghantarnya sebagai warisan bagi anak cucu semata, namun lebih dari itu, manifestasi kecintaan kita pada budaya, budaya yang menghantarkan kita sebagai Bangsa yang besar. (Tyo/Ndw)
Burung Maleo atau Macrocephalon Maleo adalah salah satu kekayaan itu, sebagai hewan endemik Sulawesi, secara fisik tinggi Maleo dewasa mencapai 55-60 cm, dengan warna tubuh didominasi hitam dan perut putih kemerahanjambuan, Maleo memiliki panjang ekor sedang sampai panjang.
Sepanjang hidupnya Maleo menghabiskan banyak waktunya di atas pohon, dan hanya turun ke darat pada saat bertelur saja di daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan daerah-daerah yang hangat dari panas bumi untuk menetaskan telurnya yang berukuran besar.
Berukuran mencapai lima kali lebih besar dari telur ayam atau sekitar 270 gram per butirnya yang akan menetas setelah selama 45 hari di dalam tanah atau pasir. Setelah menetas, anak Maleo menggali jalan keluar dari dalam tanah dan bersembunyi ke dalam hutan. Anak Maleo ini sudah dapat terbang, dan harus mencari makan sendiri dan menghindari predatornya.
Selain sebagai satwa endemik Maleo merupakan burung yang unik, keunikannya mulai dari struktur tubuh, habitat, hingga tingkah lakunya yang salah satunya adalah anti poligami, yang hanya mempunyai satu pasangan dan tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.
Â
Dari sisi pakan, Maleo kerap disebut sebagai pemakan kemiri, namun Maleo juga memakan aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang serta berbagai jenis hewan kecil.
Saat ini Maleo tinggal di beberapa bagian Pulau Sulawesi, menurut catatan kami maleo dapat ditemui di Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Kotamobagu, dan Taman Nasional Bakiriang Luwuk dan Pantai Taima di desa Desa Taima, wilayah Tompotika Sulawesi Tengah.
Karena keunikan habitatnya yang khas yang pada akhirnya dapat mempercepat kepunahan populasinya, banyak hal yang menyebabkan berkurangnya Maleo, mulai dari hewan predator seperti biawak atau yang kerap disebut soa-soa, babi hutan dan yang menyedihkan adalah besarnya andil manusia sebagai predator. Di mana manusia merampas hutan dan pantai tempat mereka tinggal, manusia merampas telur-telur dengan cara yang tidak bijaksana.
Berbicara Maleo tidaklah lepas dari adat istiadat yang mengikat di dalamnya, Adat Malabot Tumpe, sebuah upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Kota Banggai (Kabupaten Banggai Kepulauan) dan masyarakat Kecamatan Batui (Kabupaten Banggai) yang menggunakan telur maleo sebagai bagian utama dari acara ini.
Sebagaimana dituturkan oleh Aris Apok, seorang Bosanyo atau Ketua adat dari desa Batui. Menurut Aris, Tumpe adalah upacara adat pengiriman telur burung Maleo yang bertelor pertama kali (pada musim pertama). Prosesi Adat Tumpe dimulai dengan pengumpulan telur burung Maleo oleh perangkat Adat Batui sebanyak 160 butir. Untuk kemudian dibawa ke kepulauan Banggai dan dipersembahkan sebagi wujud penghormatan kepada Kerajaan Banggai.
Sebuah adat yang memiliki nilai luhur, memegang amanat dan kejujuran, sebuah contoh kearifan lokal yang harus tetap dipelihara hingga kini. Hanya saja sayangnya saat ini sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan telur burung Maleo yang dulu ribuan jumlahnya di Batui. Sulitnya mendapatkan telur Maleo menyadarkan kita bahwa pelestarian Maleo sudah sangat terlambat.
Rendahnya kesadaran sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab telah merampas hutan tempat tinggal Maleo, telah mengambil hak hidup Maleo. Oleh karenanya banyak upaya telah dilakukan, baik oleh Pemerintah daerah hingga Perusahaan yang berada di Sulawesi untuk melestarikan Maleo. Salah satunya adalah peran aktif PT Pertamina EP, yang dengan gigihnya sejak tahun 2010 menjadi pioner pelestarian Maleo.
Komitmen tersebut, diwujudkan dengan melakukan pelepasan Maleo di Suaka Margasatwa Bakiriang, Kecamatan Moelong, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah Senin 7 Oktober 2013, yang dihadiri oleh Exploration & New Discovery Project Director Pertamina EP Doddy Priambodo, Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Sidharto, VP Legal & Relation Pertamina EP Aji Prayudi, General Manager Matindok Gas Development Project Medianto Budi Satyawan dan stakeholder lainnya.
Menurut Doddy, pembangunan penangkaran Maleo oleh Pertamina EP dipesisir pantai Bakiriang merupakan wujud kepedulian Pertamina EP terhadap lingkungan hidup. Hal ini sehubungan dengan burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi yang hampir punah karena telur burung Maleo menjadi buruan masyarakat.
"Selain telur yang diburu, semakin sedikitnya jumlah burung Maleo juga disebabkan karena banyaknya penebangan hutan di kawasan hutan Sulawesi. Sehingga burung tersebut bergeser ke lokasi lain untuk kemudian semakin sedikit jumlahnya. Padahal ini satwa endemik masyarakat Sulawesi yang harus dilestarikan dan jangan sampai punah," tambah Doddy.
Sementara itu, Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Sudharto mengapresiasi langkah Pertamina EP melestarikan burung Maleo di Sulawesi. "Pertamina adalah salah satu pahlawan pelestarian burung Maleo," puji Sudharto.
Upaya ini tentunya adalah wujud nyata PT Pertamina EP dalam menyandingkan dan menyelaraskan pertumbuhan suatu daerah dengan kearifan lokal yang telah terpatri dalam kehidupan masyarakat Banggai.
Bahwa adat istiadat ada untuk melestarikan kehidupan, bukan menghancurkannya atau bahkan merusaknya tak bersisa. Adat istiadat mengajarkan pada kita bahwa Maleo telah ada berabad-abad yang lalu berdampingan harmonis dengan adat Malabot Tumpe.
Modernisasi dan pembangunan yang tak arif-lah yang membuatnya hilang tak bersisa. Oleh karenanya, upaya pelestarian Maleo dilakukan bukan hanya untuk menghantarnya sebagai warisan bagi anak cucu semata, namun lebih dari itu, manifestasi kecintaan kita pada budaya, budaya yang menghantarkan kita sebagai Bangsa yang besar. (Tyo/Ndw)