Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) akan segera berlangsung pada 3-6 Desember 2013. Namun Indonesia dan negara lain belum juga menyepakati hasil perundingan yang menjadi poin-poin penting dalam perdagangan internasional.
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan mengatakan, masih ada dua poin penting yang belum mencapai titik temu antara negara maju dan berkembang, yakni mengenai isu fasilitas perdagangan (Trade Facilitation/TF) dan pertanian tentang paket G33 yang dipelopori oleh India.
"Tinggal dua hal yang belum disepakati, antara lain isu pertanian dan TF. Di isu pertanian, tinggal paket G33 terkait kapasitas negara berkembang untuk melakukan subsidisasi terhadap produk pertanian. Sedangkan TF tunggu tanggal mainnya," ujarnya usai rapat koordinator WTO di Jakarta, Selasa (26/11/2013).
Terkait perundingan soal subsidi pertanian, menurut Gita, negara-negara berkembang menyuarakan supaya prosentase subsidi pertanian mendapat ukuran yang lebih besar. Artinya jatah subsidi tersebut tidak dibatasi.
"Kalau bisa prosentase subsidi pertanian tidak dibatasi 10%, tapi bisa meningkat 15% dari output nasional. Melakukan subsidisasi berdasarkan harga tiga tahun terakhir bukan harga tahun 1986-1988," tegasnya.
Komitmen ini, lanjut dia, akan diperjuangkan dalam KTM WTO di Bali, mengingat isu ini mengedepankan semangat maju bersama antara negara maju, berkembang dan negara-negara miskin.
"Kita tidak akan maju tanpa melakukan subsidi di sektor pertanian. Jadi mekanisme pembatasan jatah subsidi harus diubah karena sudah 12 tahun tidak juga disepakati," jelasnya.
Di samping itu, Gita mengatakan, poin-poin yang awalnya belum disepakati sebanyak 700 item di bagian I kini telah berkurang menjadi satu item saja. Sedangkan pada bagian II, tinggal 9 item dari 30 item dalam perjanjian.
"Ini aspirasi negara maju termasuk AS supaya barang yang dikirim lewat udara tidak ada batasan nilai dan berat. Namun bagi negara berkembang jika tidak memiliki pelaku usaha yang piawai dalam hal tersebut, maka tidak bisa mendapat keuntungan," terangnya.
Meski begitu, dia bilang, perundingan WTO telah menyepakati enam pokok bahasan dalam Paket Bali terkait dengan LDCs atau negara-negara miskin, antara lain, monitoring mecanism, service waiver dan rules of origin tinggal mengenai kapas dan Duty Free Quota Free.
"Kepentingan negara miskin dan berkembang sudah dipenuhi negara maju. Namun ini merupakan aspirasi dari Afrika dan negara-negara di Asia. Kami mendukung produk kapas mereka (Afrika) supaya ini tidak dikenakan kuota khususnya di negara-negara maju," pungkas Gita. (Fik/Ndw)
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan mengatakan, masih ada dua poin penting yang belum mencapai titik temu antara negara maju dan berkembang, yakni mengenai isu fasilitas perdagangan (Trade Facilitation/TF) dan pertanian tentang paket G33 yang dipelopori oleh India.
"Tinggal dua hal yang belum disepakati, antara lain isu pertanian dan TF. Di isu pertanian, tinggal paket G33 terkait kapasitas negara berkembang untuk melakukan subsidisasi terhadap produk pertanian. Sedangkan TF tunggu tanggal mainnya," ujarnya usai rapat koordinator WTO di Jakarta, Selasa (26/11/2013).
Terkait perundingan soal subsidi pertanian, menurut Gita, negara-negara berkembang menyuarakan supaya prosentase subsidi pertanian mendapat ukuran yang lebih besar. Artinya jatah subsidi tersebut tidak dibatasi.
"Kalau bisa prosentase subsidi pertanian tidak dibatasi 10%, tapi bisa meningkat 15% dari output nasional. Melakukan subsidisasi berdasarkan harga tiga tahun terakhir bukan harga tahun 1986-1988," tegasnya.
Komitmen ini, lanjut dia, akan diperjuangkan dalam KTM WTO di Bali, mengingat isu ini mengedepankan semangat maju bersama antara negara maju, berkembang dan negara-negara miskin.
"Kita tidak akan maju tanpa melakukan subsidi di sektor pertanian. Jadi mekanisme pembatasan jatah subsidi harus diubah karena sudah 12 tahun tidak juga disepakati," jelasnya.
Di samping itu, Gita mengatakan, poin-poin yang awalnya belum disepakati sebanyak 700 item di bagian I kini telah berkurang menjadi satu item saja. Sedangkan pada bagian II, tinggal 9 item dari 30 item dalam perjanjian.
"Ini aspirasi negara maju termasuk AS supaya barang yang dikirim lewat udara tidak ada batasan nilai dan berat. Namun bagi negara berkembang jika tidak memiliki pelaku usaha yang piawai dalam hal tersebut, maka tidak bisa mendapat keuntungan," terangnya.
Meski begitu, dia bilang, perundingan WTO telah menyepakati enam pokok bahasan dalam Paket Bali terkait dengan LDCs atau negara-negara miskin, antara lain, monitoring mecanism, service waiver dan rules of origin tinggal mengenai kapas dan Duty Free Quota Free.
"Kepentingan negara miskin dan berkembang sudah dipenuhi negara maju. Namun ini merupakan aspirasi dari Afrika dan negara-negara di Asia. Kami mendukung produk kapas mereka (Afrika) supaya ini tidak dikenakan kuota khususnya di negara-negara maju," pungkas Gita. (Fik/Ndw)