Sejak bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Facilitation/WTO) 10 tahun lalu, Indonesia terus mengandalkan komoditas beras dari impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini menyusul aturan WTO yang melarang pembatasan impor sehingga Indonesia harus memasok produk pangan dari luar negeri.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah tetap harus menjaga kepentingan nasional termasuk dalam persoalan impor pangan.
"Setiap negara punya kepentingan masing-masing terkait pangan, sama dengan Indonesia. Kalau beras misalnya digelontorkan bebas masuk ke sini, petani kita bisa tergeletak semua," tutur dia di Jakarta, Selasa (26/11/2013).
Oleh sebab itu, kata Hatta, pemerintah Indonesia tak akan membiarkan produk impor merajalela di pasar dalam negeri. Artinya ada batasan-batasan kapan harus membuka keran impor dan menutupnya kembali demi kepentingan nasional.Â
"Kalau impor terus karena harga lebih murah, bagaimana lagi. Karena ini menyangkut kepentingan jutaan rakyat," tandasnya.
Sebelumnya, Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme (Gerak Lawan) mendesak Indonesia keluar dari keanggotaan WTO. Sebab organisasi ini hanya akan berdampak pada meluasnya praktik impor pangan.
Dalam catatanya, pada tahun 2012, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lain yang pada akhirnya memperparah kehidupan rakyat, utamanya perempuan.
Akibat dari maraknya impor pangan, khususnya di sektor perikanan,telah menyebabkan industri perikanan indonesia sedikit menyerap tenaga kerja. Kurun 2009-2011 industri pengolahan ikan hanya mampu menyerap sekitar 250 ribu jiwa.
Tidak hanya itu, WTO juga telah menempatkan Indonesia pada posisi lemah hingga tidak berdaulat berhadapan dengan
bangsa-bangsa di dunia. (Fik/Ndw)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah tetap harus menjaga kepentingan nasional termasuk dalam persoalan impor pangan.
"Setiap negara punya kepentingan masing-masing terkait pangan, sama dengan Indonesia. Kalau beras misalnya digelontorkan bebas masuk ke sini, petani kita bisa tergeletak semua," tutur dia di Jakarta, Selasa (26/11/2013).
Oleh sebab itu, kata Hatta, pemerintah Indonesia tak akan membiarkan produk impor merajalela di pasar dalam negeri. Artinya ada batasan-batasan kapan harus membuka keran impor dan menutupnya kembali demi kepentingan nasional.Â
"Kalau impor terus karena harga lebih murah, bagaimana lagi. Karena ini menyangkut kepentingan jutaan rakyat," tandasnya.
Sebelumnya, Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme (Gerak Lawan) mendesak Indonesia keluar dari keanggotaan WTO. Sebab organisasi ini hanya akan berdampak pada meluasnya praktik impor pangan.
Dalam catatanya, pada tahun 2012, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lain yang pada akhirnya memperparah kehidupan rakyat, utamanya perempuan.
Akibat dari maraknya impor pangan, khususnya di sektor perikanan,telah menyebabkan industri perikanan indonesia sedikit menyerap tenaga kerja. Kurun 2009-2011 industri pengolahan ikan hanya mampu menyerap sekitar 250 ribu jiwa.
Tidak hanya itu, WTO juga telah menempatkan Indonesia pada posisi lemah hingga tidak berdaulat berhadapan dengan
bangsa-bangsa di dunia. (Fik/Ndw)