Hingga akhir Desember, kondisi ekonomi Indonesia belum sepenuhnya aman dari goncangan perekonomian global. Masih terjadinya defisit neraca transaksi berjalan (current account) masih membutuhkan penanganan pemerintah terutama kebijakan mengurangi aktivitas impor.
Secara umum, Indonesia sebetulnya telah mengetahui pemicu tingginya defisit neraca transaksi berjalan yang dipicu importasi minyak mentah.
Keprihatian kondisi perekonomian nasional ini pula yang membuat sejumlah ekonomi berkumpul untuk mencari solusi mengatasi persoalan. Para ekonomi diantaranya Chief Econom PT Bank Mandiri Tbk, Destri Damayanti, Chief Econom dari Bank Iternational Indonesia (BII) Maybank Umar Juworo, menilai Indonesia bisa menyelesaikan permasalahan yang ada jika dua solusi ini bisa diselesaikan.
Destri mengatakan, solusi pertama untuk mengatasi persoalan ekonomi nasional adalah merevisi batas minimal pencampuran biodiesel pada Bahan Bakar Minyak (BBM). Destry meminta pemerintah meningkatkan konversi penggunaan biodisel sebaiknya direvisi dan ditingkatkan dari 10% menjadi 30%.
"Kenapa kita tidak mandatory 30% saja, itu bisa relatif lebih nendang. Itu lebih mudah daripada membangun kilang minyak, mencari cadangan, dan lainnya. Itu yang kayaknya di depan mata yang pantas kita maksimalkan," ungkap Destri di Jakarta, Senin (2/12/2013).
Indonesia sebagai negara yang produsen minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia itu, dianggap patut menerapkan kebijakan konversi BBM dengan bahan bakar biodiesel sebesar 30%.
Selama ini, lanjut Destri, para petani CPO dinilai sudah memiliki kemampuan untuk mengubah CPO ke biodisel. Persoalannya, permintaan biodiesel di pasar domestik masih sangat minim.
"Kebijakan yang sudah diumumkan pemerintah konversi biodisel 10% langkah bagus, tapi dampaknya masih kurang signifikan," tegasnya.
Sementara itu, Umar Juworo menyoroti prtlunya ketegasan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan penggunaan BBM non subsidi untuk seluruh mobil pribadi.
"Emang menaikkan BBM kemarin langkah yang bagus, tapi kenyataan impor masih tinggi, permintaan tidak berkurang, jadi lebih baik seluruh mobil pribadi pakai BBM non subsidi," jelasnya. (Yas/Shd)
Secara umum, Indonesia sebetulnya telah mengetahui pemicu tingginya defisit neraca transaksi berjalan yang dipicu importasi minyak mentah.
Keprihatian kondisi perekonomian nasional ini pula yang membuat sejumlah ekonomi berkumpul untuk mencari solusi mengatasi persoalan. Para ekonomi diantaranya Chief Econom PT Bank Mandiri Tbk, Destri Damayanti, Chief Econom dari Bank Iternational Indonesia (BII) Maybank Umar Juworo, menilai Indonesia bisa menyelesaikan permasalahan yang ada jika dua solusi ini bisa diselesaikan.
Destri mengatakan, solusi pertama untuk mengatasi persoalan ekonomi nasional adalah merevisi batas minimal pencampuran biodiesel pada Bahan Bakar Minyak (BBM). Destry meminta pemerintah meningkatkan konversi penggunaan biodisel sebaiknya direvisi dan ditingkatkan dari 10% menjadi 30%.
"Kenapa kita tidak mandatory 30% saja, itu bisa relatif lebih nendang. Itu lebih mudah daripada membangun kilang minyak, mencari cadangan, dan lainnya. Itu yang kayaknya di depan mata yang pantas kita maksimalkan," ungkap Destri di Jakarta, Senin (2/12/2013).
Indonesia sebagai negara yang produsen minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia itu, dianggap patut menerapkan kebijakan konversi BBM dengan bahan bakar biodiesel sebesar 30%.
Selama ini, lanjut Destri, para petani CPO dinilai sudah memiliki kemampuan untuk mengubah CPO ke biodisel. Persoalannya, permintaan biodiesel di pasar domestik masih sangat minim.
"Kebijakan yang sudah diumumkan pemerintah konversi biodisel 10% langkah bagus, tapi dampaknya masih kurang signifikan," tegasnya.
Sementara itu, Umar Juworo menyoroti prtlunya ketegasan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan penggunaan BBM non subsidi untuk seluruh mobil pribadi.
"Emang menaikkan BBM kemarin langkah yang bagus, tapi kenyataan impor masih tinggi, permintaan tidak berkurang, jadi lebih baik seluruh mobil pribadi pakai BBM non subsidi," jelasnya. (Yas/Shd)