Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Bali kali ini menjadi ujung tombak penentu kesepakatan perdagangan global sekaligus nasib organisasi tersebut.
Pasalnya, setelah lebih dari sepuluh tahun terlibat diskusi dalam naungan WTO, para negosiator dari berbagai negara tak berhasil melahirkan kesepakatan utuh yang mengatur regulasi perdagangan dunia.
Seperti dikutip dari New Zealand Herald, Rabu (4/12/2013). Pertemuan tersebut sekaligus menjadi peluang terakhir bagi WTO untuk memenuhi janjinya menyumbang US$ 1 triliun untuk ekonomi dunia tapi juga dapat berarti akhir dari relevansi WTO sebagai forum negosiasi.
Para menteri perdagangan bahkan didesak untuk mengambil langkah yang tak biasa guna menyelesaikan berbagai negosiasi yang hasilnya masih menggantung hingga sekarang.
Negosiasi dalam putaran Doha yang berisi tentang perubahan regulasi, pajak dan subsidi perdagangan sebenarnya dapat menguntungkan negara-negara berpendapatan rendah.
Maka para menteri dalam pertemuan tersebut sebaiknya mulai menyimpulkan perjanjian dan bukan hanya sekadar melakukan negosiasi teknis. Sehingga di hari terakhir, sejumlah perjanjian dagang dapat ditandatangani.
"Meskipun masih mungkin, kemungkinan mencapai kesepakatan (dalam konferensi di Bali) tampak kecil," ungkap pakar perdagangan global di Asian Development Bank Institute Matthias Helble.
Tujuan dari negosiasi sebelumnya adalah untuk menciptakan aturan terpadu bagi 159 negara anggota WTO. Peraturan tersebut berupa penurunan pajak impor pada sejumlah barang dan pembatasan subsidi guna mendistorsi pasar untuk produk pertanian.
Selain itu juga mendorong terciptanya satu standar prosedur bea cukai guna mempermudah pergerakan barang antar negara.
Namun aturan tersebut menuai kritik karena dapat menghalangi setiap negara untuk menetapkan prioritasnya sendiri.
Selain itu, hak-hak pekerja dan keamanan pangan pun tak bisa ditetapkan sendiri oleh setiap anggota WTO.
"Kami tahu ini bukan tugas yang mudah, tapi kami sekarang di sini untuk melakukan sesuatu. Kami bersedia melakukan usaha terbaik kami di Bali untuk melahirkan paket aturan yang dapat diterapkan di berbagai negara," ungkap Menteri Luar Negeri Brasil Luiz Figueiredo Machado Alberto. (Sis/Ahm)
Pasalnya, setelah lebih dari sepuluh tahun terlibat diskusi dalam naungan WTO, para negosiator dari berbagai negara tak berhasil melahirkan kesepakatan utuh yang mengatur regulasi perdagangan dunia.
Seperti dikutip dari New Zealand Herald, Rabu (4/12/2013). Pertemuan tersebut sekaligus menjadi peluang terakhir bagi WTO untuk memenuhi janjinya menyumbang US$ 1 triliun untuk ekonomi dunia tapi juga dapat berarti akhir dari relevansi WTO sebagai forum negosiasi.
Para menteri perdagangan bahkan didesak untuk mengambil langkah yang tak biasa guna menyelesaikan berbagai negosiasi yang hasilnya masih menggantung hingga sekarang.
Negosiasi dalam putaran Doha yang berisi tentang perubahan regulasi, pajak dan subsidi perdagangan sebenarnya dapat menguntungkan negara-negara berpendapatan rendah.
Maka para menteri dalam pertemuan tersebut sebaiknya mulai menyimpulkan perjanjian dan bukan hanya sekadar melakukan negosiasi teknis. Sehingga di hari terakhir, sejumlah perjanjian dagang dapat ditandatangani.
"Meskipun masih mungkin, kemungkinan mencapai kesepakatan (dalam konferensi di Bali) tampak kecil," ungkap pakar perdagangan global di Asian Development Bank Institute Matthias Helble.
Tujuan dari negosiasi sebelumnya adalah untuk menciptakan aturan terpadu bagi 159 negara anggota WTO. Peraturan tersebut berupa penurunan pajak impor pada sejumlah barang dan pembatasan subsidi guna mendistorsi pasar untuk produk pertanian.
Selain itu juga mendorong terciptanya satu standar prosedur bea cukai guna mempermudah pergerakan barang antar negara.
Namun aturan tersebut menuai kritik karena dapat menghalangi setiap negara untuk menetapkan prioritasnya sendiri.
Selain itu, hak-hak pekerja dan keamanan pangan pun tak bisa ditetapkan sendiri oleh setiap anggota WTO.
"Kami tahu ini bukan tugas yang mudah, tapi kami sekarang di sini untuk melakukan sesuatu. Kami bersedia melakukan usaha terbaik kami di Bali untuk melahirkan paket aturan yang dapat diterapkan di berbagai negara," ungkap Menteri Luar Negeri Brasil Luiz Figueiredo Machado Alberto. (Sis/Ahm)