PT Pertamina (Persero) disarankan untuk tetap menjalankan rencananya menaikkan harga elpiji non subsidi ukuran 12 kilogram (kg) meski pada 2014 memasuki tahun pemilihan umum (Pemilu).
Pengamat Energi Refomainer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pemilu merupakan kegiatan yang sudah rutin yang menjadi urusan pemerintah. Hal ini dinilai sebaiknya tidak mengganggu keberlangsungan bisnis perusahaan.
"Pemilu urusan pemerintah, kalau Pertamina bisnis," kata Komaidi saat berbicang dengan Liputan6.com, seperti dikutip di Jakarta, Selasa (10/12/2013).
Komaidi menilai jika pemerintah melarang Pertamina menaikan elpiji non subsidi pada tahun depan, seharusnya pemerintah menanggung kerugian atas penjualan elpiji non subsidi ukuran 12 kg tersebut. Pilihan lain dengan mencari cara untuk mengurangi beban kerugian Pertamina.
"Kalau nggak boleh pemerintah harus menutup kekurangannya, kalau nggak mau ya harus mengurangi dividen atau pajak. Pemerintah harus beri solusi," ungkap dia.
Sementara itu, Kepala Operasional Agen Gas PT Andhira Marsa Herman mengungkapkan penolakan masyarakat atas rencana Pertamina yang ingin kembali menaikan harga elpiji 12 kg.
Menurut dia, Pertamina sebenarnya tidak perlu menaikkan elpiji 12 kg karena sudah memilki produk gas lain yaitu Bright Gas. Ini bisa menjadi pilihan lain Pertamina untuk mengurangi kerugian yang selama ini ditanggung dari menjual elpiji 12 kg.
"Sebenarnya kurang setuju, sekarang Bright gas ada semacam pilihan, untuk kenaikan sendiri berat," tuturnya.
Pertamina sebelumnya menyebutkan kerugian atas penjualan elpiji ukuran 12 kilogram (kg) semakin meningkat menjadi Rp 9.000 per kg dari sebelumnya Rp 5.600 per kg. Jika dikalkulasikan, Pertamina harus menanggung kerugian Rp 108 ribu dari penjualan elpiji 12 kg.
Vice President LPG dan Gas Product Pertamina Gigih Wahyu mengaku, terjadi kenaikan harga bahan baku elpiji seiring kondisi perokonomian global yang tidak kondusif. "Sekarang kan CP Aramco sudah tinggi sekali, karena tergantung kondisi dunia," pungkas Gigih. (Pew/Nrm)
Pengamat Energi Refomainer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pemilu merupakan kegiatan yang sudah rutin yang menjadi urusan pemerintah. Hal ini dinilai sebaiknya tidak mengganggu keberlangsungan bisnis perusahaan.
"Pemilu urusan pemerintah, kalau Pertamina bisnis," kata Komaidi saat berbicang dengan Liputan6.com, seperti dikutip di Jakarta, Selasa (10/12/2013).
Komaidi menilai jika pemerintah melarang Pertamina menaikan elpiji non subsidi pada tahun depan, seharusnya pemerintah menanggung kerugian atas penjualan elpiji non subsidi ukuran 12 kg tersebut. Pilihan lain dengan mencari cara untuk mengurangi beban kerugian Pertamina.
"Kalau nggak boleh pemerintah harus menutup kekurangannya, kalau nggak mau ya harus mengurangi dividen atau pajak. Pemerintah harus beri solusi," ungkap dia.
Sementara itu, Kepala Operasional Agen Gas PT Andhira Marsa Herman mengungkapkan penolakan masyarakat atas rencana Pertamina yang ingin kembali menaikan harga elpiji 12 kg.
Menurut dia, Pertamina sebenarnya tidak perlu menaikkan elpiji 12 kg karena sudah memilki produk gas lain yaitu Bright Gas. Ini bisa menjadi pilihan lain Pertamina untuk mengurangi kerugian yang selama ini ditanggung dari menjual elpiji 12 kg.
"Sebenarnya kurang setuju, sekarang Bright gas ada semacam pilihan, untuk kenaikan sendiri berat," tuturnya.
Pertamina sebelumnya menyebutkan kerugian atas penjualan elpiji ukuran 12 kilogram (kg) semakin meningkat menjadi Rp 9.000 per kg dari sebelumnya Rp 5.600 per kg. Jika dikalkulasikan, Pertamina harus menanggung kerugian Rp 108 ribu dari penjualan elpiji 12 kg.
Vice President LPG dan Gas Product Pertamina Gigih Wahyu mengaku, terjadi kenaikan harga bahan baku elpiji seiring kondisi perokonomian global yang tidak kondusif. "Sekarang kan CP Aramco sudah tinggi sekali, karena tergantung kondisi dunia," pungkas Gigih. (Pew/Nrm)