Para ekonom Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) meminta Indonesia untuk terus mempercepat laju perputaran ekonominya sebagai persiapan menghadapi penarikan dana stimulus atau tapering oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (16/12/2013), lesunya investasi, lemahnya permintaan eksternal, dan tingginya suku bunga diprediksi IMF membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat antara 5%-5,5% tahun ini. Padahal tahun sebelumnya Indonesia mampu tumbuh di level 6,2%.
IMF juga memproyeksi kemungkinan pembengkakkan defisit transaksi berjalan sebesar 3,5% dari produk domestik bruto (PDB). Sementara pada 2012, defisit transaksi berjalan yang dialami Indonesia masih berada di level 2,8% dari PDB. Menurut IMF, nilai defisit Indonesia dapat menyempit menjadi 3,2% pada 2014.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mendapat hantaman terparah saat Gubernur The Fed Ben Bernanke untuk pertama kalinya mengumumkan rencananya memperlambat laju pembelian obligasinya pada 22 Mei lalu. Setelah pengumuman tersebut, sejumlah investor langsung menarik dananya ke luar Indonesia.
Menghadapinya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo meningkatkan suku bunga acuannya (BI rate) hingga lima kali sejak Juni. Langkah tersebut diambil sebagai usahanya untuk mengatasi defisit transaksi berjalan guna mendorong rupiah bangkit kembali. Rupiah memang menjadi mata uang Asia dengan penurunan terparah tahun ini.
"Volatilitas pasar belakangan ini dan hilangnya banyak cadangan devisa menunjukkan pentingnya mengatasi ketidakseimbangan makro ekonomi dan berbagai risiko stabilitas finansial," ungkap salah satu ekonom IMF dalam laporannya.
Dia juga mengungkapkan, penundaan tapering The Fed yang tengah menanti pemulihan ekonomi AS menyediakan peluang bagi Indonesia untuk memperkuat basis kebijakannya dan meningkatkan kepercayaan diri para pelaku pasar.
Menurut laporan tersebut, kebijakan moneter Indonesia sebaiknya fokus pada penahan inflasi dan pengurangan tekanan neraca pembayaran. Selain itu, IMF juga menyarankan agar kebijakan fiskal di tanah air mendukung kebijakan moneter dalam reformasi pemberian subsidi dan ketentuan pajak.
Sementara itu, imbal hasil obligasi dan tingkat pertukaran uang harus mencerminkan kondisi pasar guna menyiapkan diri menghadapi pergeseran ekonomi global. Badan keuangan yang berbasis di Washington ini mengungkapkan, tingkat nilai tukar rupiah bergerak seiring dengan landasan kebijakan negara. (Sis/Ahm)
Seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (16/12/2013), lesunya investasi, lemahnya permintaan eksternal, dan tingginya suku bunga diprediksi IMF membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat antara 5%-5,5% tahun ini. Padahal tahun sebelumnya Indonesia mampu tumbuh di level 6,2%.
IMF juga memproyeksi kemungkinan pembengkakkan defisit transaksi berjalan sebesar 3,5% dari produk domestik bruto (PDB). Sementara pada 2012, defisit transaksi berjalan yang dialami Indonesia masih berada di level 2,8% dari PDB. Menurut IMF, nilai defisit Indonesia dapat menyempit menjadi 3,2% pada 2014.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mendapat hantaman terparah saat Gubernur The Fed Ben Bernanke untuk pertama kalinya mengumumkan rencananya memperlambat laju pembelian obligasinya pada 22 Mei lalu. Setelah pengumuman tersebut, sejumlah investor langsung menarik dananya ke luar Indonesia.
Menghadapinya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo meningkatkan suku bunga acuannya (BI rate) hingga lima kali sejak Juni. Langkah tersebut diambil sebagai usahanya untuk mengatasi defisit transaksi berjalan guna mendorong rupiah bangkit kembali. Rupiah memang menjadi mata uang Asia dengan penurunan terparah tahun ini.
"Volatilitas pasar belakangan ini dan hilangnya banyak cadangan devisa menunjukkan pentingnya mengatasi ketidakseimbangan makro ekonomi dan berbagai risiko stabilitas finansial," ungkap salah satu ekonom IMF dalam laporannya.
Dia juga mengungkapkan, penundaan tapering The Fed yang tengah menanti pemulihan ekonomi AS menyediakan peluang bagi Indonesia untuk memperkuat basis kebijakannya dan meningkatkan kepercayaan diri para pelaku pasar.
Menurut laporan tersebut, kebijakan moneter Indonesia sebaiknya fokus pada penahan inflasi dan pengurangan tekanan neraca pembayaran. Selain itu, IMF juga menyarankan agar kebijakan fiskal di tanah air mendukung kebijakan moneter dalam reformasi pemberian subsidi dan ketentuan pajak.
Sementara itu, imbal hasil obligasi dan tingkat pertukaran uang harus mencerminkan kondisi pasar guna menyiapkan diri menghadapi pergeseran ekonomi global. Badan keuangan yang berbasis di Washington ini mengungkapkan, tingkat nilai tukar rupiah bergerak seiring dengan landasan kebijakan negara. (Sis/Ahm)