Bank Dunia menilai Indonesia memiliki tiga mitos utama yang dapat berdampak positif sekaligus negatif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Tiga mitos itu tersebut Penanaman Modal Asing (PMA), laju impor serta konsumsi domestik.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop mengatakan, negara ini menghadapi beban defisit neraca transaksi berjalan yang berimbas pada perlambatan ekonomi Indonesia di tahun ini dan masa depan.
"Defisit neraca transaksi berjalan membawa beban bagi penyesuaian makro Indonesia meski nilainya diperkirakan turun dari 3,5% terhadap PDB di 2013 menjadi 2,6% pada 2014," ujarnya di acara Indonesia Economic Quarterly Launch di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Senin (16/12/2013).
Untuk menambal defisit tersebut, tambah Diop, Indonesia membutuhkan lebih banyak aliran PMA. Bank Dunia menganggap PMA sebagai mitos karena selama ini Indonesia dinilai mempunyai basis PMA cukup besar. Namun pada kenyataannya, nilai PMA di Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding China.
"Nilai PMA terhadap PDB Indonesia masih sangat rendah, bahkan kurang dari separuhnya nilai PMA di China walaupun Indonesia kebanjiran investasi asing dua atau tiga tahun terakhir ini," lanjutnya.
Jika Indonesia dapat meningkatkan PMA hingga dua kali lipat, menurut dia, negara ini tak perlu khawatir terhadap pengurangan stimulus (tapering off) dari bank sentral Amerika Serikat (AS). Sebab Indonesia akan mempunyai cadangan devisa cukup besar untuk membiayai defisit tersebut.
Diop berharap, pemerintah melalui paket kebijakan jilid I dan langkah-langkah kemudahan berinvestasi oleh BKPM dapat menarik PMA masuk ke Indonesia di tengah ketidakpastian regulasi yang selama ini menjadi hambatan investasi asing.
Mitos kedua, Diop menyebut, Indonesia dinilai sebagai negara ketergantungan impor karena nilai dan volume impor yang terlalu besar. Realitanya, sambung dia, impor Indonesia dibandingkan negara-negara berkembang masih terlalu rendah dari PDB.
"Padahal penekanan impor dapat berisiko menurunkan pertumbuhan, terutama barang-barang modal dan bahan baku yang digunakan kembali untuk industri manufaktur," ucapnya.
Sedangkan mitos ketiga, Diop bilang, Indonesia terkenal dengan basis konsumsi domestik cukup kuat sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataannya, konsumsi domestik di India jauh lebih tinggi dari Indonesia.
"Tapi dengan konsumsi tinggi, ekonomi India justru turun karena investasi merosot drastis. Sedangkan Indonesia punya konsumsi stabil dan memberikan daya tahan cukup kuat dengan perkiraan kontribusi 3%-4% di tahun depan," tutur Diop.
Menanggapi pernyataan Diop, Kepala BKPM Mahendra Siregar mengungkapkan, pihaknya tak mempermasalahkan persentase antara PMA dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
"Jika ekonominya lebih tinggi, lalu pertumbuhan PMDN ikut naik maka kami menyambut baik di samping kami optimistis investasi dari asing akan masuk lebih tinggi. Terpenting nilai investasi bagus dan investasi yang masuk adalah yang berkualitas," pungkas dia.(Fik/Shd)
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop mengatakan, negara ini menghadapi beban defisit neraca transaksi berjalan yang berimbas pada perlambatan ekonomi Indonesia di tahun ini dan masa depan.
"Defisit neraca transaksi berjalan membawa beban bagi penyesuaian makro Indonesia meski nilainya diperkirakan turun dari 3,5% terhadap PDB di 2013 menjadi 2,6% pada 2014," ujarnya di acara Indonesia Economic Quarterly Launch di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Senin (16/12/2013).
Untuk menambal defisit tersebut, tambah Diop, Indonesia membutuhkan lebih banyak aliran PMA. Bank Dunia menganggap PMA sebagai mitos karena selama ini Indonesia dinilai mempunyai basis PMA cukup besar. Namun pada kenyataannya, nilai PMA di Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding China.
"Nilai PMA terhadap PDB Indonesia masih sangat rendah, bahkan kurang dari separuhnya nilai PMA di China walaupun Indonesia kebanjiran investasi asing dua atau tiga tahun terakhir ini," lanjutnya.
Jika Indonesia dapat meningkatkan PMA hingga dua kali lipat, menurut dia, negara ini tak perlu khawatir terhadap pengurangan stimulus (tapering off) dari bank sentral Amerika Serikat (AS). Sebab Indonesia akan mempunyai cadangan devisa cukup besar untuk membiayai defisit tersebut.
Diop berharap, pemerintah melalui paket kebijakan jilid I dan langkah-langkah kemudahan berinvestasi oleh BKPM dapat menarik PMA masuk ke Indonesia di tengah ketidakpastian regulasi yang selama ini menjadi hambatan investasi asing.
Mitos kedua, Diop menyebut, Indonesia dinilai sebagai negara ketergantungan impor karena nilai dan volume impor yang terlalu besar. Realitanya, sambung dia, impor Indonesia dibandingkan negara-negara berkembang masih terlalu rendah dari PDB.
"Padahal penekanan impor dapat berisiko menurunkan pertumbuhan, terutama barang-barang modal dan bahan baku yang digunakan kembali untuk industri manufaktur," ucapnya.
Sedangkan mitos ketiga, Diop bilang, Indonesia terkenal dengan basis konsumsi domestik cukup kuat sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataannya, konsumsi domestik di India jauh lebih tinggi dari Indonesia.
"Tapi dengan konsumsi tinggi, ekonomi India justru turun karena investasi merosot drastis. Sedangkan Indonesia punya konsumsi stabil dan memberikan daya tahan cukup kuat dengan perkiraan kontribusi 3%-4% di tahun depan," tutur Diop.
Menanggapi pernyataan Diop, Kepala BKPM Mahendra Siregar mengungkapkan, pihaknya tak mempermasalahkan persentase antara PMA dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
"Jika ekonominya lebih tinggi, lalu pertumbuhan PMDN ikut naik maka kami menyambut baik di samping kami optimistis investasi dari asing akan masuk lebih tinggi. Terpenting nilai investasi bagus dan investasi yang masuk adalah yang berkualitas," pungkas dia.(Fik/Shd)