Di tengah rapat koordinasi (Rakor) Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) Tahun 2009, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik justru meninggalkan rapat demi sebuah acara.
Padahal agenda rakor ini salah satunya membahas soal kelanjutan kebijakan larangan ekspor bahan mineral mentah dan kewajiban perusahaan tambang membangun smelter. Selama ini, banyak kalangan pengusaha tambang mengeluhkan UU Minerba yang dianggap bakal mengganggu bisnis perusahaan.
Dari pantauan Liputan6.com, rakor berlangsung mulai pukul 08.00 WIB. Selain Jero, hadir Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Chatib Basri, Menteri Perindustrian MS Hidayat dan sejumlah menteri lainnya.
"Kami sedang membahas bagaimana melaksanakan UU minerba secara baik tapi tetap harus mempertimbangkan kepentingan nasional," ujar Jero di Kantor Kemenko, Jakarta, Selasa (16/12/2013).
Jero meminta kepada seluruh pihak untuk memberi kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan yang terbaik bagi kepentingan nasional. "Rapat belum selesai, tapi saya harus pergi karena harus menyerahkan DIPA jam 10.00 di kantor," tukas dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah akan memberikan tenggat waktu kepada perusahaan pertambangan untuk mengejar dan merealisasikan pembangunan smelter dalam pelaksanaan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
"Kami konsisten dengan UU sehingga 12 Januari 2014, tidak boleh lagi ekspor (bahan mentah). Diberikan waktu lima tahun untuk menjalankannya walaupun seharusnya semua sudah wajib membangun smelter. Makanya yang belum dipercepat," ungkap dia.
Diakui pemerintah, sebuah keputusan yang dikeluarkan pasti mengandung risiko di dalamnya. Inilah yang sudah dipikirkan secara matang oleh pemerintah bahwa ada potensi kehilangan penerimaan negara dari ekspor barang mentah mencapai US$ 4 miliar.
"Dengan membangun smelter, ada peluang ekspor dari barang mineral setelah proses pengolahan (processing) senilai US$ 5 miliar, sedangkan tanpa proses (unprocessing) sebesar US$ 4 miliar. Unporcessing ini akan hilang mendadak, tapi ekspor US$ 5 miliar akan naik dengan harga lebih mahal karena sudah diproses," tegas Hatta.
Vakumnya ekspor barang minerba mentah, menurut Hatta akan menyebabkan neraca perdagangan Indonesia masih defisit hingga tahun 2015. Setelah itu, kembali bangkit dengan kinerja surplus.
"Kalau ada defisit itu karena kekurangan US$ 4 miliar tadi sampai 2015. Tapi kan bisa ditambal dari penggunaan campuran biodiesel pada solar yang memberi kontribusi penghematan US$ 4 miliar di tahun depan. Namun neraca perdagangan bisa surplus sekitar US$ 1,8 miliar pada 2016," jelasnya.(Fik/Shd)
Padahal agenda rakor ini salah satunya membahas soal kelanjutan kebijakan larangan ekspor bahan mineral mentah dan kewajiban perusahaan tambang membangun smelter. Selama ini, banyak kalangan pengusaha tambang mengeluhkan UU Minerba yang dianggap bakal mengganggu bisnis perusahaan.
Dari pantauan Liputan6.com, rakor berlangsung mulai pukul 08.00 WIB. Selain Jero, hadir Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Chatib Basri, Menteri Perindustrian MS Hidayat dan sejumlah menteri lainnya.
"Kami sedang membahas bagaimana melaksanakan UU minerba secara baik tapi tetap harus mempertimbangkan kepentingan nasional," ujar Jero di Kantor Kemenko, Jakarta, Selasa (16/12/2013).
Jero meminta kepada seluruh pihak untuk memberi kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan yang terbaik bagi kepentingan nasional. "Rapat belum selesai, tapi saya harus pergi karena harus menyerahkan DIPA jam 10.00 di kantor," tukas dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah akan memberikan tenggat waktu kepada perusahaan pertambangan untuk mengejar dan merealisasikan pembangunan smelter dalam pelaksanaan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
"Kami konsisten dengan UU sehingga 12 Januari 2014, tidak boleh lagi ekspor (bahan mentah). Diberikan waktu lima tahun untuk menjalankannya walaupun seharusnya semua sudah wajib membangun smelter. Makanya yang belum dipercepat," ungkap dia.
Diakui pemerintah, sebuah keputusan yang dikeluarkan pasti mengandung risiko di dalamnya. Inilah yang sudah dipikirkan secara matang oleh pemerintah bahwa ada potensi kehilangan penerimaan negara dari ekspor barang mentah mencapai US$ 4 miliar.
"Dengan membangun smelter, ada peluang ekspor dari barang mineral setelah proses pengolahan (processing) senilai US$ 5 miliar, sedangkan tanpa proses (unprocessing) sebesar US$ 4 miliar. Unporcessing ini akan hilang mendadak, tapi ekspor US$ 5 miliar akan naik dengan harga lebih mahal karena sudah diproses," tegas Hatta.
Vakumnya ekspor barang minerba mentah, menurut Hatta akan menyebabkan neraca perdagangan Indonesia masih defisit hingga tahun 2015. Setelah itu, kembali bangkit dengan kinerja surplus.
"Kalau ada defisit itu karena kekurangan US$ 4 miliar tadi sampai 2015. Tapi kan bisa ditambal dari penggunaan campuran biodiesel pada solar yang memberi kontribusi penghematan US$ 4 miliar di tahun depan. Namun neraca perdagangan bisa surplus sekitar US$ 1,8 miliar pada 2016," jelasnya.(Fik/Shd)