Menghadapi era perdagangan bebas Asia Tenggara, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, Indonesia sudah saatnya berhenti meributkan masalah penetapan sebaran upah bagi para tenaga kerja. Indonesia kini seharusnya lebih memikirkan upaya meningkatkan kemampuan dan keterampilan para pekerja agar mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara pesaing.
"Sudah saatnya kita keluar dari isu soal UMP atau KHL (kebutuhan hidup layak), tetapi sekarang lebih kepada program untuk meningkatkan produktivitas dan skill para pekerja," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani dalam diskusi Menciptakan Buruh Berkualitas Hadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 di Sekretariat Apindo, Jakarta, Selasa (17/12/2013).
Di era perdagangan bebas Asia Tenggara nanti, negara-negara yang turut serta didalamnya akan mengutamakan keterampilan dan serta kepemilikan sertifikasi para pekerjanya untuk menerima para pekerja dari negara lain.
"Dalam MEA nanti akan banyak bicara soal skill, sehingga yang namanya sertifikasi itu menjadi sangat penting," ujar Franky.
Dengan kondisi ini, pemerintah dinilai memiliki pekerjaan rumah jangka pendek di sektor tenaga kerja terutama dalam mendorong tumbuhnya lembaga sertifikasi profesi (LSP). Kebutuhan ini mendesak dilakukan karena banyak profesi di tanah air yang bisa dimasuki pekerja dari negara lain.
"Ini untuk memastikan bahwa lulusan-lulusan terbaik dari universitas-universitas yang ada mendapatakan space kerja dari industri yang ada. Atau untuk tenaga kerja pengelas, SPG (sales promotion girl), jadi banyak profesi yang berpotensi untuk dimasukan pekerjanya dari negara lain," katanya.
Diakui APINDO, upaya mempersiapkan tenaga kerja bukan hanya menjadi tugas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tetapi juga kementerian lain.
"Di Filipina, bahasa Inggris menjadi wajib tetapi di Indonesia malah dihapuskan," jelasnya.
Tak hanya soal pendidikan, Franky juga menyayangkan perkembangan positif masuknya arus investasi asing yang justru tak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. APINDO mencatat penyerapa tenaga kerja dalam satu tahun terakhir hanya mencapai 200 ribu orang, lebih rendah dari sebelumnya 350 ribu orang. (Dny/Shd)
"Sudah saatnya kita keluar dari isu soal UMP atau KHL (kebutuhan hidup layak), tetapi sekarang lebih kepada program untuk meningkatkan produktivitas dan skill para pekerja," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani dalam diskusi Menciptakan Buruh Berkualitas Hadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 di Sekretariat Apindo, Jakarta, Selasa (17/12/2013).
Di era perdagangan bebas Asia Tenggara nanti, negara-negara yang turut serta didalamnya akan mengutamakan keterampilan dan serta kepemilikan sertifikasi para pekerjanya untuk menerima para pekerja dari negara lain.
"Dalam MEA nanti akan banyak bicara soal skill, sehingga yang namanya sertifikasi itu menjadi sangat penting," ujar Franky.
Dengan kondisi ini, pemerintah dinilai memiliki pekerjaan rumah jangka pendek di sektor tenaga kerja terutama dalam mendorong tumbuhnya lembaga sertifikasi profesi (LSP). Kebutuhan ini mendesak dilakukan karena banyak profesi di tanah air yang bisa dimasuki pekerja dari negara lain.
"Ini untuk memastikan bahwa lulusan-lulusan terbaik dari universitas-universitas yang ada mendapatakan space kerja dari industri yang ada. Atau untuk tenaga kerja pengelas, SPG (sales promotion girl), jadi banyak profesi yang berpotensi untuk dimasukan pekerjanya dari negara lain," katanya.
Diakui APINDO, upaya mempersiapkan tenaga kerja bukan hanya menjadi tugas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tetapi juga kementerian lain.
"Di Filipina, bahasa Inggris menjadi wajib tetapi di Indonesia malah dihapuskan," jelasnya.
Tak hanya soal pendidikan, Franky juga menyayangkan perkembangan positif masuknya arus investasi asing yang justru tak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. APINDO mencatat penyerapa tenaga kerja dalam satu tahun terakhir hanya mencapai 200 ribu orang, lebih rendah dari sebelumnya 350 ribu orang. (Dny/Shd)