Pemerintah menaikkan bea keluar (BK) ekspor mineral mentah secara bertahap hingga 60% sampai periode akhir 2016. Kebijakan ini menyusul keluarnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) serta mendorong proses pengolahan dan pemurnian bijih mineral di dalam negeri.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengungkapkan, kebijakan pengenaan BK ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang sudah terbit per 11 Januari 2014. Artinya seluruh perusahaan pertambangan wajib meningkatkan proses pemurnian dalam kapasitas penuh (100%) pada tahun ketiga sejak saat ini.
"Nanti barang mineral harus sudah jadi barangnya kalau mau ekspor. Jika tidak dipenuhi, akan dikenakan BK progresif 60% pada 2016. Jadi sudah masuk pemurnian di 2017," terang dia kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Senin (13/1/2014).
Chatib mengatakan, BK komoditas hingga 60% seharusnya sudah melebihi keuntungan (profit) dari perusahaan pertambangan. Kondisi ini pada akhirnya akan memaksa produsen tak melakukan ekspor mineral tanpa melalui proses pengolahan.
"Mana ada profit (margin) perusahaan yang bisa sampai 60% karena keuntungan paling besar itu cuma dihasilkan oleh restoran padang, sedangkan yang lain tidak ada. Kalau BK di atas profit, tidak akan ada lagi ekspor karena dipaksa melakukan pemurnian bernilai tambah di sini," jelasnya.
Dia menambahkan, selama ini BK ekspor mineral mentah ditetapkan sebesar 20%. Namun pemerintah, menurutnya, tak bisa memberlakukan BK tinggi secara langsung sebesar 60%. "Pengenaan BK dilakukan secara bertahap setiap tahun terbagi dalam dua semester," ujarnya.
Di samping itu, Chatib mengakui, pemerintah pun tak berani menaikkan BK sampai 100% mengingat ada beleid Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2008 yang menegaskan pengenaan BK maksimal sebesar 60%.
"Tidak mungkin bisa mengenakan BK 100%, sehingga pemberlakuan pajak tahun ini mulai dari kenaikan menjadi 25% sampai 60% hingga semester II-2016. Dan setiap semester, BK akan naik karena kami tidak mau mineral Indonesia dikeruk terus tanpa ada nilai tambah," tuturnya.
Kebijakan ini, sambung dia, merupakan komitmen pemerintah sebagai tindak lanjut penerapan Undang-undang (UU) Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yang melarang ekspor ore mulai 12 Januari 2014.
"Jangan sekadar dibuat perjanjian (memorandum of understanding/MoU) saja tapi tidak jadi-jadi. Kami ingin ada nilai tambah misalnya pengolahan bauksit untuk ke aluminium bisa sampai 19 kali lipat, dan 20 kali lipat untuk produk aluminium yang disulap jadi alumina," cetus Chatib.(Fik/Shd)
Baca Juga
Menteri Keuangan Chatib Basri mengungkapkan, kebijakan pengenaan BK ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang sudah terbit per 11 Januari 2014. Artinya seluruh perusahaan pertambangan wajib meningkatkan proses pemurnian dalam kapasitas penuh (100%) pada tahun ketiga sejak saat ini.
"Nanti barang mineral harus sudah jadi barangnya kalau mau ekspor. Jika tidak dipenuhi, akan dikenakan BK progresif 60% pada 2016. Jadi sudah masuk pemurnian di 2017," terang dia kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Senin (13/1/2014).
Chatib mengatakan, BK komoditas hingga 60% seharusnya sudah melebihi keuntungan (profit) dari perusahaan pertambangan. Kondisi ini pada akhirnya akan memaksa produsen tak melakukan ekspor mineral tanpa melalui proses pengolahan.
"Mana ada profit (margin) perusahaan yang bisa sampai 60% karena keuntungan paling besar itu cuma dihasilkan oleh restoran padang, sedangkan yang lain tidak ada. Kalau BK di atas profit, tidak akan ada lagi ekspor karena dipaksa melakukan pemurnian bernilai tambah di sini," jelasnya.
Dia menambahkan, selama ini BK ekspor mineral mentah ditetapkan sebesar 20%. Namun pemerintah, menurutnya, tak bisa memberlakukan BK tinggi secara langsung sebesar 60%. "Pengenaan BK dilakukan secara bertahap setiap tahun terbagi dalam dua semester," ujarnya.
Di samping itu, Chatib mengakui, pemerintah pun tak berani menaikkan BK sampai 100% mengingat ada beleid Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2008 yang menegaskan pengenaan BK maksimal sebesar 60%.
"Tidak mungkin bisa mengenakan BK 100%, sehingga pemberlakuan pajak tahun ini mulai dari kenaikan menjadi 25% sampai 60% hingga semester II-2016. Dan setiap semester, BK akan naik karena kami tidak mau mineral Indonesia dikeruk terus tanpa ada nilai tambah," tuturnya.
Kebijakan ini, sambung dia, merupakan komitmen pemerintah sebagai tindak lanjut penerapan Undang-undang (UU) Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yang melarang ekspor ore mulai 12 Januari 2014.
"Jangan sekadar dibuat perjanjian (memorandum of understanding/MoU) saja tapi tidak jadi-jadi. Kami ingin ada nilai tambah misalnya pengolahan bauksit untuk ke aluminium bisa sampai 19 kali lipat, dan 20 kali lipat untuk produk aluminium yang disulap jadi alumina," cetus Chatib.(Fik/Shd)
Baca Juga
Cegah PHK di Sektor Tambang, Pemerintah Terbitkan PP Minerba
RI Rela Duit Melayang daripada Bijih Mineral Diekspor Gila-gilaan
Harga Nikel dan Tembaga Naik Jelang Larangan Ekspor Mineral
Stop Ekspor Bijih Mineral, RI Tahan 10 Kapal China
Mulai 12 Januari Pukul 00.00 WIB, Bea Cukai Cegah Ekspor Mineral
[VIDEO] Larangan Ekspor Mineral, Lebih Banyak Untung atau Rugi?