Sukses

Harga Elpiji 12 Kg Korban Politik Jelang Pemilu 2014?

Elpiji 12 kg milik Pertamina merupakan produk komersial yang sesuai ketentuan BUMN dibebaskan untuk mencari keuntungan.

PT Pertamina (Persero) beberapa waktu lalu memutuskan untuk menaikkan harga jual elpiji non subsidi 12 kilogram (kg) sebesar Rp 3.959 per kg.

Namun hal itu langsung menuai protes mulai dari kalangan masyarakat hingga para pemangku kebijakan layaknya instansi pemerintahan. Alhasil kenaikan harga gas elpiji 12 kg direvisi menjadi Rp 1000 per kg.

Menurut mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu, revisi kenaikan harga elpiji 12 kg tersebut merupakan bagian dari bentuk korban politik menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.

"Kemarin sebelum Pertamina menaikkan kelihatannya kan pemerintah anteng-anteng saja seolah mereka setuju, tapi begitu naik, seolah langsung memalingkan muka masing-masing," kata Said di Jakarta, Selasa (14/1/2014).

Tak hanya seolah memalingkan muka, Said juga mengkritisi tindakan para pejabat yang turut berkomentar dan menolak kenaikan harga elpiji yang dinilai hanya sebagai ajang cari muka di mata masyarakat.

"Menurut saya beberapa pejabat pemerintah yang berkomentar bahwa elpiji 12 kg itu tidak boleh naik hanya cari muka saja," tegas dia.

Menurut Said bisnis elpiji 12 kg milik Pertamina merupakan produk komersial yang sesuai ketentuan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dibebaskan untuk mencari keuntungan.

"Ada dua tugas fungsi BUMN pertama penugasan dari pemerintah dan kegiatan komersil. Nah elpiji 12 kg ini komersil yang sesungguhnya produk bisnis yang harus untung," kata Said.

Lebih lanjut ia menyebut, seharusnya pro kontra penaikan elpiji 12 kg tidak perlu terjadi mengingat masyarakat telah disediakan elpji 3 kg yang telah disubsidi pemerintah. "Namun lantaran banyak yang cari muka situasinya justru Pertamina yang dipojokkan," ujar Said.

Senada dengan Said Didu, Vice President  Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir menyayangkan hal tersebut merupakan campur tangan politik ke dalam komoditas ekonomi.

"Ini persis seperti lempar mercon ketika sudah meledak semua lari. Ini repotnya kalau komoditas ekonomi jadi komoditas politik," kata Ali. (Yas/Nrm)