Undang-undang Mineral Batu Bara (UU Minerba) yang telah digaungkan sejak 2009 ternyata tak mempan untuk mendorong para pengusaha tambang mineral mentah segera membangun smelter di Tanah Air.Â
Ketua Satgas Hilirisasi Mineral Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Didie Suwondo mengungkapkan rendahnya jumlah investor asing yang ingin membenamkan modalnya di Indonesia merupakan kendala utama.
"Ya karena tidak ada investor strategis. Waktu 2009 itu kan berdekatan dengan krisis finansial global 2008. Jadinya tidak ada investor strategis yang mau investasi di Indonesia. Kalau yang investasi ramai, pasti kita ajak buat bangun smelter," jelas Didie di Jakarta, Sabtu (18/1/2014).
Selain itu, kata dia, pemerintah tak kunjung memberikan peraturan atau pedoman yang bisa menggiring para pengusaha untuk membangun smelter. Selain itu, petunjuk pelaksanaan pembangunan smelter juga baru dikeluarkan pada 2012.
Belum lagi, proses pencarian investor juga terhitung menelan waktu cukup lama sementara pemerintah tidak mampu membantu menyediakan dana untuk pembangunan smelter.
"Peraturan-peraturannya masih tidak jelas, juklaknya pun baru keluar 2012. Cari investor juga susah, mau ke pemerintah, tapi pemerintahnya tak ada duit," papar Didie.
Akibat kelalaian para pengusaha mengabaikan anjuran untuk membangun smelter sejak 2009, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.6/2014 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar barang mineral sebesar 20%. Pajak tersebut bersifat progresif dan akan terus meningkat hingga 60% pada 2017.
Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto menyesalkan pemberlakuan bea keluar tersebut karena dianggap tidak efisien dan kurang tepat.
"Peraturan ini kurang pas karena menurut hemat kami, kalau nilai tambahnya semakin kecil, pajaknya semakin besar. Dan kalau nilai tambahnya semakin besar maka pajaknya seharusnya semakin kecil. Lagipula 20% itu kan sudah punishment, kenapa harus ditambah-tambah lagi,"Â ungkapnya.
Menurut Suryo, pemerintah juga sebaiknya tidak memukul rata jumlah pajak dan harus disesuaikan dengan kapasitas produksi dan pengiriman perusahaan. Pihak dari Kadin dan sejumlah perwakilan asosiasi pengusaha tambang mengaku akan segera menanyakan lebih lanjut perihal pemberlakuan aturan tersebut pada pemerintah. (Sis/Nrm)
Ketua Satgas Hilirisasi Mineral Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Didie Suwondo mengungkapkan rendahnya jumlah investor asing yang ingin membenamkan modalnya di Indonesia merupakan kendala utama.
"Ya karena tidak ada investor strategis. Waktu 2009 itu kan berdekatan dengan krisis finansial global 2008. Jadinya tidak ada investor strategis yang mau investasi di Indonesia. Kalau yang investasi ramai, pasti kita ajak buat bangun smelter," jelas Didie di Jakarta, Sabtu (18/1/2014).
Selain itu, kata dia, pemerintah tak kunjung memberikan peraturan atau pedoman yang bisa menggiring para pengusaha untuk membangun smelter. Selain itu, petunjuk pelaksanaan pembangunan smelter juga baru dikeluarkan pada 2012.
Belum lagi, proses pencarian investor juga terhitung menelan waktu cukup lama sementara pemerintah tidak mampu membantu menyediakan dana untuk pembangunan smelter.
"Peraturan-peraturannya masih tidak jelas, juklaknya pun baru keluar 2012. Cari investor juga susah, mau ke pemerintah, tapi pemerintahnya tak ada duit," papar Didie.
Akibat kelalaian para pengusaha mengabaikan anjuran untuk membangun smelter sejak 2009, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.6/2014 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar barang mineral sebesar 20%. Pajak tersebut bersifat progresif dan akan terus meningkat hingga 60% pada 2017.
Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto menyesalkan pemberlakuan bea keluar tersebut karena dianggap tidak efisien dan kurang tepat.
"Peraturan ini kurang pas karena menurut hemat kami, kalau nilai tambahnya semakin kecil, pajaknya semakin besar. Dan kalau nilai tambahnya semakin besar maka pajaknya seharusnya semakin kecil. Lagipula 20% itu kan sudah punishment, kenapa harus ditambah-tambah lagi,"Â ungkapnya.
Menurut Suryo, pemerintah juga sebaiknya tidak memukul rata jumlah pajak dan harus disesuaikan dengan kapasitas produksi dan pengiriman perusahaan. Pihak dari Kadin dan sejumlah perwakilan asosiasi pengusaha tambang mengaku akan segera menanyakan lebih lanjut perihal pemberlakuan aturan tersebut pada pemerintah. (Sis/Nrm)