Sukses

Pekerja Indonesia di Hong Kong Merasa Diperlakukan Seperti Budak

"Kami pekerja biasa. Kami bukan budak," protes ribuan buruh dan para pendukungnya sambil berjalan menujuk pusat pemerintahan Hong Kong.

Harapan para tenaga kerja Indonesia (TKI) meraih kehidupan yang lebih baik di negara lain tak sepenuhnya dilalui dengan mulus. Aksi kekerasan dan penyiksaan Kondisi kerapa mewarnai perjalanan hidup para TKI. Dalam kasus yang lebih parah, para TKI yang mengadu nasib di Hong Kong bahkan merasa telah diperlakukan seperti budak.

Seperti dikutip dari Reuters, Senin (20/1/2014), ribuan orang turun ke jalanan Hong Kong pada Minggu (19/1/2014) untuk menuntut keadilan. Aksi ini muncul setelah seorang pembantu Indonesia dipukul secara keji oleh majikannya di negara tersebut. Pihak kepolisian saat ini tengah melakukan investigasi guna menyingkap kasus kekerasan yang lagi-lagi menimpa pekerja asal Indonesia.

Kekerasan pada pekerja asing di Asia dan Timur Tengah seperti Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan Dubai memang telah menjadi masalah yang seolah tak kunjung usai. Kasus penyiksaan terhadap pembantu kembali mengundang perhatian dari komunitas tenaga kerja asing di Hong Kong.

"Kami pekerja biasa. Kami bukan budak," protes ribuan buruh dan para pendukungnya sambil berjalan menujuk pusat pemerintahan Hong Kong.

Beberapa demonstran terlihat melambaikan bendera merah putih sementara lainnya membawa sejumlah foto wajah dan tubuh Erwiana Sulistyaningsih yang babak belur penuh lebam,. Erwina adalah pembantu berusia 23 tahun yang mengalami kekerasan dari majikannya.

"Kita harus mengakhiri perbudakan modern seperti ini," tegas Ila Hasan (32), TKI asal Jawa yang memakai ikat kepala bertuliskan `Justice`(keadilan).

Dia sangat menyesalkan aksi keji yang menimpa TKI lain saat sedang mencoba mencari kehidupan yang lebih baik di Hong Kong. "Majikannya bukan manusia. Semua penyiksaan seperti ini seharusnya jangan pernah terjadi," sesalnya.

Hong Kong saat ini tercatat menampung 300 ribu pembantu dari luar negeri dengan jumlah terbanyak berasal dari Filipina dan Indonesia. Sayangnya, kebijakan-kebijakan Hong Kong membuat para pembantu enggan melaporkan tindak kekerasan yang menimpanya. Sebagian besar merasa takut kehilangan lumbung uangnya dan khawatir dideportasi ke Tanah Air.

TKI lain, Susi, juga menerima perlakuan kejam dari majikannya. Dia seringkali dipukul dan disiksa saat tengah menjalani pekerjaannya sebagai pembantu.

Sementara itu, hingga saat ini, tak ada hukuman apapun yang dijatuhkan pada pihak keluarga yang menyiksa Erwiana. Bahkan majikannya tersebut mengancam akan membunuh dia dan keluarga jika berani melaporkan aksi kejamnya ke pihak berwajib.

"Saya ingin setiap orang yang menyiksa anak saya dihukum seberat-beratnya dan keadilan ditegakkan," ujar Ayah Erwiana, Rohmad Saputra.