Selain minyak mentah, defisit transaksi berjalan Indonesia yang bernilai triliunan rupiah ternyata juga ikut terganggu oleh sektor asuransi nasional. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan defisit terjadi akibat ketimpangan antara jumlah premi asuransi yang disebar ke luar negeri dengan pembayaran premi reasuransi ke luar negeri.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non-Bank OJK, Firdaus Djaelani mengungkapkan, kontribusi defisit dari bisnis asuransi pada 20 tahun yang lalu hanya berkisar Rp 250 miliar. Seiring berjalan waktu, defisit tersebut semakin melebar.
"Memang tidak terlalu banyak yang dikerjakan pemerintah untuk menurunkan defisit ini, sehingga angkanya semakin meningkat sekitar Rp 7,5 triliun-8 triliun pada 2013. Sedangkan premi keluar reasuransinya lebih besar lagi sampai Rp 15 triliun," jelas dia di Jakarta, Jumat (24/1/2014).
Diakui Firdaus, sektor asuransi nasional memang terus menyumbang defisit pada neraca transaksi berjalan Indonesia. Kondisi sempat berubah menjadi surplus ketika Indonesia dilanda kerusuhan masal pada 1998-1999.
"Surplus justru bisa dicapai saat kerusuhan karena lebih banyak klaimnya dibanding preminya. Tapi setelah itu, kita mengalami defisit," ujarnya.
Penyebab defisit dipicu kondisi Indonesia yang tak memiliki kapasitas perusahaan reasuransi yang besar. Bahkan Indonesia, hanya mempunyai empat perusahaan reasuransi.
"Makanya pemerintah berencana melahirkan sebuah perusahaan reasuransi yang merupakan hasil merjer antara BUMN asuransi dengan reasuransi yang ada saat ini," tutur dia.
Lewat merger, OJK berharap kapasitas perusahaan asuransi dan reasuransi Indonesia dapat meningkat sehingga mampu menurunkan angka defisit neraca transaksi berjalan di tahun-tahun mendatang.
"OJK juga ingin melakukan beberapa perubahan peraturan untuk mengurangi defisit sektor asuransinya dan memberikan perlindungan konsumen," pungkas Firdaus.(Fik/Shd)
Baca juga
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non-Bank OJK, Firdaus Djaelani mengungkapkan, kontribusi defisit dari bisnis asuransi pada 20 tahun yang lalu hanya berkisar Rp 250 miliar. Seiring berjalan waktu, defisit tersebut semakin melebar.
"Memang tidak terlalu banyak yang dikerjakan pemerintah untuk menurunkan defisit ini, sehingga angkanya semakin meningkat sekitar Rp 7,5 triliun-8 triliun pada 2013. Sedangkan premi keluar reasuransinya lebih besar lagi sampai Rp 15 triliun," jelas dia di Jakarta, Jumat (24/1/2014).
Diakui Firdaus, sektor asuransi nasional memang terus menyumbang defisit pada neraca transaksi berjalan Indonesia. Kondisi sempat berubah menjadi surplus ketika Indonesia dilanda kerusuhan masal pada 1998-1999.
"Surplus justru bisa dicapai saat kerusuhan karena lebih banyak klaimnya dibanding preminya. Tapi setelah itu, kita mengalami defisit," ujarnya.
Penyebab defisit dipicu kondisi Indonesia yang tak memiliki kapasitas perusahaan reasuransi yang besar. Bahkan Indonesia, hanya mempunyai empat perusahaan reasuransi.
"Makanya pemerintah berencana melahirkan sebuah perusahaan reasuransi yang merupakan hasil merjer antara BUMN asuransi dengan reasuransi yang ada saat ini," tutur dia.
Lewat merger, OJK berharap kapasitas perusahaan asuransi dan reasuransi Indonesia dapat meningkat sehingga mampu menurunkan angka defisit neraca transaksi berjalan di tahun-tahun mendatang.
"OJK juga ingin melakukan beberapa perubahan peraturan untuk mengurangi defisit sektor asuransinya dan memberikan perlindungan konsumen," pungkas Firdaus.(Fik/Shd)
Baca juga
Perang Tarif Premi Asuransi Diharapkan Berakhir
Kementerian BUMN Segera Tentukan Nasib Reasuransi Terbesar di RI
Baca Juga
Pembentukan Perusahaan Reasuransi Selesai Akhir Tahun 2013
Advertisement