Rencana merger antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dan anak usaha PT Pertamina (Persero), PT Pertagas dikhawatirkan justru membuat perseroan itu semakin tidak efisien.
Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia, Iwa Garniwa menilai kinerja Pertamina selama ini tak sebaik dibandingkan dengan perusahaan migas milik negara di negara lain yang umurnya lebih muda.
“Pertamina seberapa besar keberhasilan mereka menunjang industri migas ini?. Kemajuannya memprihatinkan dibandingkan dengan negara lain yang umurnya lebih muda,” kata Iwa dalam keterangannya, Rabu (29/1/2014).
Saat ini, menurut dia, Pertamina hanya bisa dianggap broker tanpa mampu membangun ladang-ladang minyak baru. Yang ada hanya kerja sama dengan pihak luar sehingga target lifting minyak tidak tercapai.
Iwa menilai Pertamina saat ini menjadi agen pembangunan yang tergantung pada investor asing. Pemerintah bisa memberikan petroleum fund kepada Pertamina untuk mampu membangun infrastruktur serta mampu mengekploitasi ladang baru atau lama.
Yang kemudian menjadi janggal, Iwa menegaskan, terkait wacana Pertamina mengakuisisi PGN. Dikatakan langkah ini akan semakin tidak efisien bagi Pertamina.
"Menurut saya lebih tepat bahwa Pertamina mengurusi minyak, PGN mengurusi gas, PLN mengurusi Listrik dan di bawah naungan kementrian BUMN dan ESDM bersinergi demi kepentingan bangsa dan sebagai agent pembangunan," tandas dia.
Tentang akuisisi itu, Iwa juga menilai sebagai hal yang aneh karena tidak menyelesaikan persoalan utamanya yakni ketergantungnan Indonesia terhadap impor minyak dan BBM yang menguras devisa negara dan membebani APBN.
Ini terjadi karena lifting minyak terus menurun dan tak ada pembangunan kilang yang memproduksi BBM sejak 1994. “Pertamina harusnya kan fokus ke situ,” tambah dia.
Dia menjelaskan, Indonesia punya gas tapi tidak bisa dinikmati rakyat Indonesia, kenapa tidak bisa karena infrastrukturnya tidak terbangun.
Infrastruktur sulit terbangun, karena adanya aturan open access serta unbundling di mana terdapat lebih dari 60 broker gas ingin menggunakan infrastruktur yang ada tidak berniat membangun infrastruktur.
"Akhirnya lebih senang ekspor dan akhirnya kebutuhan dalam negeri tidak berkembang, yang menikmati negara lain," kata Iwa.
Pada akhirnya ketika melihat persoalan itu, menurut dia, bukan Undang-Undang (UU) dan atau peraturan yang dikaji kembali atau diperbaiki, hal yang dilakukan lebih kepada perusahaannya. (Pew/Nrm)
Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia, Iwa Garniwa menilai kinerja Pertamina selama ini tak sebaik dibandingkan dengan perusahaan migas milik negara di negara lain yang umurnya lebih muda.
“Pertamina seberapa besar keberhasilan mereka menunjang industri migas ini?. Kemajuannya memprihatinkan dibandingkan dengan negara lain yang umurnya lebih muda,” kata Iwa dalam keterangannya, Rabu (29/1/2014).
Saat ini, menurut dia, Pertamina hanya bisa dianggap broker tanpa mampu membangun ladang-ladang minyak baru. Yang ada hanya kerja sama dengan pihak luar sehingga target lifting minyak tidak tercapai.
Iwa menilai Pertamina saat ini menjadi agen pembangunan yang tergantung pada investor asing. Pemerintah bisa memberikan petroleum fund kepada Pertamina untuk mampu membangun infrastruktur serta mampu mengekploitasi ladang baru atau lama.
Yang kemudian menjadi janggal, Iwa menegaskan, terkait wacana Pertamina mengakuisisi PGN. Dikatakan langkah ini akan semakin tidak efisien bagi Pertamina.
"Menurut saya lebih tepat bahwa Pertamina mengurusi minyak, PGN mengurusi gas, PLN mengurusi Listrik dan di bawah naungan kementrian BUMN dan ESDM bersinergi demi kepentingan bangsa dan sebagai agent pembangunan," tandas dia.
Tentang akuisisi itu, Iwa juga menilai sebagai hal yang aneh karena tidak menyelesaikan persoalan utamanya yakni ketergantungnan Indonesia terhadap impor minyak dan BBM yang menguras devisa negara dan membebani APBN.
Ini terjadi karena lifting minyak terus menurun dan tak ada pembangunan kilang yang memproduksi BBM sejak 1994. “Pertamina harusnya kan fokus ke situ,” tambah dia.
Dia menjelaskan, Indonesia punya gas tapi tidak bisa dinikmati rakyat Indonesia, kenapa tidak bisa karena infrastrukturnya tidak terbangun.
Infrastruktur sulit terbangun, karena adanya aturan open access serta unbundling di mana terdapat lebih dari 60 broker gas ingin menggunakan infrastruktur yang ada tidak berniat membangun infrastruktur.
"Akhirnya lebih senang ekspor dan akhirnya kebutuhan dalam negeri tidak berkembang, yang menikmati negara lain," kata Iwa.
Pada akhirnya ketika melihat persoalan itu, menurut dia, bukan Undang-Undang (UU) dan atau peraturan yang dikaji kembali atau diperbaiki, hal yang dilakukan lebih kepada perusahaannya. (Pew/Nrm)