Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan menjadi salah satu menteri yang diundang menghadiri pertemuan World Economic Forum di Davos Swiss yang berlangsung pada 22-25 Januari 2014.
Gita pun bercerita hal menarik saat menjadi pembicara pada salah satu panel pada pertemuan yang membahas tentang apakah tenaga manusia bisa digantikan dengan teknologi.
Pada panel debat ini Gita ditemani Erik Brynjolfsson, Professor Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology USA, Lawrence H Summers, Charles W Eliot University Professor Harvard University USA dan Philip J Jennings, General Secretary UNI Global Union.
Pada awal debat Gita mengaku tak sepakat dengan pandangan tersebut. "Itu lucu sebab di awal debat disuruh debat jika teknologi tak bisa disubtitusi human," ujar dia memulai cerita saat berkunjung ke Redaksi Liputan6.com, Kamis (30/1/2014).
Pernyataan Gita ini pun ternyata hanya didukung 30 dari 137 negara yang menghadiri pertemuan yang dihadiri miliarder dan kepala negara tersebut. Negara pendukung sebagian besar berasal dari negara berkembang seperti Amerika Latin dan negara di kawasan Asia.
Gita mengaku memiliki pendapat tersebut karena mengacu pada pandangan jika manusia tak bisa digantikan dengan teknologi karena menyangkut kondisi sosial, politik dan lainnya, terutama terkait ketersediaan lowongan pekerjaan.
Dia menyampaikan pandangan jika manusia secara total digantikan teknologi seperti tenaga robot maka akan menciptakan ketidakseimbangan. Apalagi saat ini, jumlah pengangguran khususnya dari kaum muda di dunia sedemikian besar.
Padahal seorang pemimpin dinilai harus bisa mencari solusi atas hal yang terjadi seperti masalah pekerjaan bagi kaum muda.
"Jika apapun dibikin dengan robot, pemimpin pemerintah sana (pendukung) di sana bisa tidak menjamin kalau anak muda bisa dapat pekerjaan. Sebab kita tahu jika unemployment di UE tinggi sekali hingga 50% lebih," tutur dia.
Tak disangka argumen Gita tersebut ternyata diamini sebagian negara yang sebelumnya tak mendukung pernyataannya jika teknologi tak bisa menggantikan manusia. "Kemudian polling penonton yang dari 137 negara bergerak dari semula 20% ke 49,7%," pungkas dia. (Nrm)
Gita pun bercerita hal menarik saat menjadi pembicara pada salah satu panel pada pertemuan yang membahas tentang apakah tenaga manusia bisa digantikan dengan teknologi.
Pada panel debat ini Gita ditemani Erik Brynjolfsson, Professor Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology USA, Lawrence H Summers, Charles W Eliot University Professor Harvard University USA dan Philip J Jennings, General Secretary UNI Global Union.
Pada awal debat Gita mengaku tak sepakat dengan pandangan tersebut. "Itu lucu sebab di awal debat disuruh debat jika teknologi tak bisa disubtitusi human," ujar dia memulai cerita saat berkunjung ke Redaksi Liputan6.com, Kamis (30/1/2014).
Pernyataan Gita ini pun ternyata hanya didukung 30 dari 137 negara yang menghadiri pertemuan yang dihadiri miliarder dan kepala negara tersebut. Negara pendukung sebagian besar berasal dari negara berkembang seperti Amerika Latin dan negara di kawasan Asia.
Gita mengaku memiliki pendapat tersebut karena mengacu pada pandangan jika manusia tak bisa digantikan dengan teknologi karena menyangkut kondisi sosial, politik dan lainnya, terutama terkait ketersediaan lowongan pekerjaan.
Dia menyampaikan pandangan jika manusia secara total digantikan teknologi seperti tenaga robot maka akan menciptakan ketidakseimbangan. Apalagi saat ini, jumlah pengangguran khususnya dari kaum muda di dunia sedemikian besar.
Padahal seorang pemimpin dinilai harus bisa mencari solusi atas hal yang terjadi seperti masalah pekerjaan bagi kaum muda.
"Jika apapun dibikin dengan robot, pemimpin pemerintah sana (pendukung) di sana bisa tidak menjamin kalau anak muda bisa dapat pekerjaan. Sebab kita tahu jika unemployment di UE tinggi sekali hingga 50% lebih," tutur dia.
Tak disangka argumen Gita tersebut ternyata diamini sebagian negara yang sebelumnya tak mendukung pernyataannya jika teknologi tak bisa menggantikan manusia. "Kemudian polling penonton yang dari 137 negara bergerak dari semula 20% ke 49,7%," pungkas dia. (Nrm)