Bank Indonesia (BI) menilai pelemahan nilai tukar rupiah yang masih betah di level Rp 12.000 per dolar Amerika Serikat (AS) karena dua faktor. Salah satunya adalah terkait suplai dolar yang tidak seimbang dengan jumlah permintaan.
Hal ini menunjukkan bahwa ada penyebab lain yang memberi tekanan pada pergerakan nilai tukar meskipun Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan tiga bulan berturut-turut sejak Oktober-Desember 2013. Totalnya mencapai US$ 2,3 miliar.
Gubernur BI, Agus Martowardojo mengungkapkan, penyebab pertama karena investor ataupun orang masih khawatir terhadap perekonomian global, termasuk negara-negara berkembang.
"Gejolak ekonomi dari pasar negara berkembang masih memberikan sentimen tersendiri walaupun kita sudah lebih baik dalam menangani gejolak ini dibandingkan negara lain. Jadi rupiah pasti berpengaruh," ujarnya di Jakarta, seperti ditulis Jumat (7/2/2014).
Penyebab kedua, dia mempertanyakan ketersediaan dolar AS di perbankan Tanah Air. Pasalnya permintaan terhadap mata uang negara Adidaya itu sejak akhir tahun lalu cukup tinggi untuk pembayaran utang luar negeri, dan sebagainya.
"Meski ekspor surplus, tapi apakah dolar di dalam sistem perbankan kita cukup untuk memenuhi permintaan dolar AS? Inilah yang membuat rupiah terus bergejolak, dan masih berada di angka Rp 12.000," jelasnya.
Saat ini BI, kata Agus, masih akan memberlakukan pengetatan moneter untuk mengimbangi tekanan global dari sisi domestik. Kebijakan ini fokus pada mempersempit defisit neraca transaksi berjalan supaya bisa berada di bawah 3% pada kuartal IV 2014.
"Kita juga akan fokus pada capital account yaitu mendorong investasi dengan menjaga portofolio supaya tetap masuk, sehingga kita bisa menjaga stabilitas sistem keuangan kita. Aliran investasi asing tetap masuk walaupun pertumbuhannya cukup lambat dan bisa menutupi defisit transaksi berjalan," tegasnya.
Dari data Bloomberg Dollar Index, rupiah dibuka 0,28% ke Rp 12.160 per dolar AS kemarin (6/2/2014) atau menguat dibanding saat penutupan Rabu (5/2/2014) yang bertengger di Rp 12.194 per dolar AS. (Fik/Ndw)
Hal ini menunjukkan bahwa ada penyebab lain yang memberi tekanan pada pergerakan nilai tukar meskipun Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan tiga bulan berturut-turut sejak Oktober-Desember 2013. Totalnya mencapai US$ 2,3 miliar.
Gubernur BI, Agus Martowardojo mengungkapkan, penyebab pertama karena investor ataupun orang masih khawatir terhadap perekonomian global, termasuk negara-negara berkembang.
"Gejolak ekonomi dari pasar negara berkembang masih memberikan sentimen tersendiri walaupun kita sudah lebih baik dalam menangani gejolak ini dibandingkan negara lain. Jadi rupiah pasti berpengaruh," ujarnya di Jakarta, seperti ditulis Jumat (7/2/2014).
Penyebab kedua, dia mempertanyakan ketersediaan dolar AS di perbankan Tanah Air. Pasalnya permintaan terhadap mata uang negara Adidaya itu sejak akhir tahun lalu cukup tinggi untuk pembayaran utang luar negeri, dan sebagainya.
"Meski ekspor surplus, tapi apakah dolar di dalam sistem perbankan kita cukup untuk memenuhi permintaan dolar AS? Inilah yang membuat rupiah terus bergejolak, dan masih berada di angka Rp 12.000," jelasnya.
Saat ini BI, kata Agus, masih akan memberlakukan pengetatan moneter untuk mengimbangi tekanan global dari sisi domestik. Kebijakan ini fokus pada mempersempit defisit neraca transaksi berjalan supaya bisa berada di bawah 3% pada kuartal IV 2014.
"Kita juga akan fokus pada capital account yaitu mendorong investasi dengan menjaga portofolio supaya tetap masuk, sehingga kita bisa menjaga stabilitas sistem keuangan kita. Aliran investasi asing tetap masuk walaupun pertumbuhannya cukup lambat dan bisa menutupi defisit transaksi berjalan," tegasnya.
Dari data Bloomberg Dollar Index, rupiah dibuka 0,28% ke Rp 12.160 per dolar AS kemarin (6/2/2014) atau menguat dibanding saat penutupan Rabu (5/2/2014) yang bertengger di Rp 12.194 per dolar AS. (Fik/Ndw)