Sukses

Lima Pemain yang Sempat Bersinar, Kemana Mereka Sekarang?

Siapa saja pemain yang kariernya meredup?

Liputan6.com, Jakarta Semua berawal dari sebuah bola dan balita. Sensasi kaget karena melihat bola menggelinding karena mendapat sentuhan dari si balita menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Ratusan bahkan ribuan simulasi tendang menendang menjadi kegiatan harian yang tak asing baginya. Tak butuh waktu lama, cinta kepada olahraga indah ini kian besar dan banyak talenta-talenta luar biasa yang akhirnya memutuskan untuk masuk ke ranah profesional.

Namun saat berada di level tertinggi, mereka khilaf. Terbuai rayuan uang, wanita, obat-obatan, alkohol mayoritas menjadi perusak karier mereka. Di luar faktor-faktor tersebut, ada juga faktor keapesan karena cedera dan pilihan klub yang buruk membuat mereka tak bisa memaksimalkan potensinya. Imbasnya meski dulu mendapat sorotan dari media karena popularitasnya, kini mereka hanya menjadi pengisi daftar Wikipedia saja.

Siapa saja mereka? Simak daftar yang sudah disusun oleh redaksi Liputan6.com ini

2 dari 6 halaman

1

Kiki Musampa 

Dikenal sebagai pemain sayap yang memiliki lari yang sangat cepat, Kiki Musampa hanya butuh klub untuk memaksimalkan potensinya.

Dalam satu pertandingan, pemandu bakat Ajax Amsterdam kesengsem dengan pria yang berasal dari Republik Kongo itu. Tak butuh waktu lama bagi Kiki untuk menunjukkan talenta, selama dua musim bersama tim muda Ajax, ia bermain sebanyak 31 kali dan mencetak enam gol.

Setelah sempat bermain di Eredivisie dan mencicipi Ligue 1 bersama Bordeaux, Kiki hijrah ke Malaga di mana ia menjadi pemain kunci tapi empat tahun kemudian dia pindah ke Atletico Madrid.

Awal kariernya di Vicente Calderon menjadi pengalaman yang indah bagi pria yang membela timnas Belanda U-19 sampai U-21 itu. Namun dengan kehadiran César Ferrando, status tim inti yang sempat digenggam Kiki lepas dan selama setahun dia hanya bermain delapan kali.

Kiki pun berupaya untuk membangkitkan kariernya dengan Manchester City pada bursa transfer musim dingin 2005. Bersama The Citizens, dia dikenal sebagai pemain yang berjasa karena mencetak gol voli spektakuler ke gawang Liverpool di menit-menit akhir. Kemenangan ini kian manis karena ini merupakan tiga poin perdana yang didapat manajer City, Stuart Pearce kala itu.

Meski kerap menjadi penentu hasil akhir laga, Kiki kembali mengalami kesulitan karena kerap kali diposisikan sebagai gelandang tengah. Tak tahan diperlakukan seperti itu, ia akhirnya memilih "pensiun" lebih cepat dengan pindah ke klub Turki, Trabzonspor. Di akhir-akhir kariernya, Kiki sempat membela AZ Alkmaar, FC Seoil dan gantung sepatu di Willem II.

3 dari 6 halaman

2

Francesco Coco

Tumbal, itu mungkin menjadi kata yang cukup memberikan rasa trauma kepada Francesco Coco. Lahir di Paterno, Italia bagian selatan, Coco muda hijrah ke utara dengan masuk ke akademi AC Milan.

Tujuh tahun berada di Milanello, Coco sempat dipinjamkan ke Vicenza, Torino, bahkan sempat membela Barcelona, tapi ia benar-benar dilepas Rossoneri di tahun 2002. Semua berawal dari keinginan manajemen klub terhadap Clarence Seedorf dari pesaing mereka, Internazionale.

Pria yang kini berusia 38 tahun itu akhirnya menjadi tumbal transfer Seedorf seharga € 28 juta. Semasa berada di Appiano Gentile, pria yang berposisi di bek kiri itu memang sempat mengantarkan Inter ke semifinal Liga Champions 2002/2003 tapi setelah itu waktunya lebih banyak dihabiskan di meja operasi.

Bahkan pada November 2003, Coco sempat menyebut tim medis Inter melakukan malpraktik kepadanya. Awalnya ia diberitahu proses penyembuhan cedera pasca operasi hanya berlangsung sebulan tapi nyatanya ia absen selama dua tahun.

Seperti pemain lainnya, Coco berusaha mengumpulkan serpihan kariernya yang remuk dengan menjalani trial bersama Manchester City di tahun 2007. Akan tetapi klub Inggris itu tiba-tiba mengubah pikirannya, media-media menyebut kalau Coco datang ke sesi latihan sembari mengisap rokok. Di level internasional, Coco sempat membela timnas Italia di Piala Dunia 2002 tetapi usai pensiun, dia bekerja sebagai agen real estate.

4 dari 6 halaman

3

Julius Aghahowa

Tak seperti kebanyakan pemain profesional lainnya, Julius Aghahowa mengawali karier di klub bernama Police Machines, sebuah klub sepak bola yang berada di bawah kepemilikan tim kepolisian Nigeria.

Klub profesional pertamanya adalah Herning Fremad yang bermain di Liga Denmark, tapi di sana ia bermain sangat bagus dan akhirnya keinginan bergabung bersama tim lebih besar pun muncul. Julius alih-alih pindah ke Esperance, tim asal Tunisia dan kemudian di Shakhtar Donetsk.

Pemain yang dikenal memiliki lari cepat itu menjadi pahlawan The Miners lantaran menjadi pahlawan saat timnya berhadapan dengan Dynamo Kiev di ajang Kejuaraan Ukraina tahun 2006. Bosan berkarier di Eropa timur, ia pun pindah ke Wigan dan ini terbukti menjadi pilihan yang buruk.

Bersama The Latics, dia hanya bertahan semusim dan kemudian ditransfer ke Kayserispor. Aghahowa dikenal sebagai pemain yang melakukan selebrasi salto luar biasa saat merayakan golnya dan akhirnya pensiun bersama Donetsk pada April 2013. Saat ini, ia memfokuskan diri untuk mendukung anak perempuannya mengejar karier di dunia akting.

5 dari 6 halaman

4

Billy Kenny

Sempat dijuluki Paul Gascoigne-nya Goodison Park, Billy mendapat harapan dari publik Inggris bakal bersinar.

Akan tetapi mereka hanya bisa gigit jari karena pemain yang hanya membela dua klub yakni Everton dan Oldham Athletic ini pensiun di usia 21 tahun.

Apa sebabnya? Billy lebih suka mengisap kokain dan menenggak alkohol. Sempat coba ditolong oleh Graeme Sharp yang menjadi manajer Oldham tapi ternyata ia benar-benar tidak bisa diselamatkan.

"Saya sangat ketagihan kokain, saya membutuhkannya untuk melewati hari demi hari. Barang itu bahkan sempat membuat saya tidak tertarik apakah Everton menang atau kalah."

"Saya ingat di satu Senin, saya pulang ke rumah pada pukul empat atau lima dini hari, mengisap beberapa garis kokain, tidur selama sejam kemudian pergi ke tempat latihan dengan taksi. Kala itu kondisi saya benar-benar tidak karuan," curhat Billy kepada salah satu media Inggris.

6 dari 6 halaman

5

Ahn Jung Hwan

Jika anda bertemu dengan orang Italia dalam satu kesempatan, jangan sekali-sekali mengucapkan nama Ahn Jung Hwan. Bisa jadi orang Italia tersebut menjadi marah kepada anda. Loh kenapa? Di tahun 2002, Ahn mendapat sinisme luar biasa dari kebanyakan penduduk Italia. Pemain yang mengawali kariernya di Busan Daewoo itu menjadi peremuk hati warga negeri Pizza.

Di babak 16 besar Piala Dunia, pria yang kini berusia 39 tahun itu melompat lebih tinggi ketimbang Paolo Maldini dan Fabio Cannavaro dan memperdayai kiper nomor satu dunia, Gianluigi Buffon. Namun Ahn berada dalam posisi dan waktu yang salah. Golnya kala itu bermakna golden goal artinya kiprah Italia harus terhenti di detik itu juga.  

Menjadi pahlawan bagi negaranya, Ahn menjadi pesakitan di klubnya yakni Perugia berasal dari Italia! Tak lama setelah gol itu, pemilik Perugia, Luciano Gaucci mengeluarkan pernyataan kontroversial.

"Saya tidak tertarik membayar gaji kepada seseorang yang menghancurkan sepak bola Italia."

Komentar ini mengundang kecaman keras dan pada akhirnya I Grifoni melunak dan ingin memboyongnya kembali. Namun Ahn keburu sakit hati dan memilih pindah ke klub Jepang Shimizu S-Pulse.

"Saya tidak mau lagi mendiskusikan transfer ke Perugia yang menyerang karakter saya ketimbang mengucapkan selamat karena saya mencetak gol di Piala Dunia," balas pemain yang sempat bermain di level Universitas tersebut. 

Ahn kemudian hengkang ke Yokohama F. Marinos, Metz, Suwon Samsung Bluewings, Busan IPark dan terakhir klub Tiongkok Dalian Shide. Sebelum itu ia juga sempat mencicipi karier di Ligue 1 bersama Metz dan Duisburg di Bundesliga. Usai pensiun, dia bertindak sebagai komentator olahraga dan bintang TV serial Korea Selatan berjudul "Dad! Where Are We Going?"