Liputan6.com, Jakarta: Tiga gol dan tiga assist di Liga Premier Inggris sebenarnya bukan statistik yang wah untuk pesepak bola berharga 54 juta pounds. Apalagi dia datang dengan status Pemain Terbaik Bundesliga berkat torehan 22 assist dan 10 gol pada musim lalu. Namun begitu, performa Kevin De Bruyne perlahan namun pasti kian krusial bagi Manchester City. Terakhir, dia menentukan kemenangan 2-1 atas Sevilla lewat gol saat injury time pada matchday III Liga Champions, Kamis (22/10) lalu.
Gol itu menegaskan ucapan De Bruyne sebelumnya tentang ketidakpantasan menggantungkan asa hanya pada segelintir pemain. “Tentu menjadi pukulan keras ketika harus kehilangan pemain sekualitas mereka. Tapi, kami perlu mempertahankan level permainan dan coba menangguk kemenangan tanpa mereka,” urai De Bruyne kepada Daily Mirror pada pekan lalu saat ditanya soal kehilangan Sergio Agüero dan David Silva yang cedera.
“Jika ingin merebut gelar juara, kami harus melakukannya dengan pemain-pemain yang ada, bukan lantas mengeluhkan para pemain yang tidak fit.”
Baca Juga
Sejak diturunkan sebagai starter untuk pertama kali oleh manajer Manuel Pellegrini saat The Citizens kalah 1-2 dari West Ham United pada 19 September silam, grafik De Bruyne terbilang menanjak. Bukan hanya di Premier League bersama Manchester City, di timnas Belgia dalam lanjutan kualifikasi Piala Eropa pun dia moncer.
Advertisement
Sejak laga kontra West Ham itu hingga tengah pekan lalu menghadapi Sevilla, dia menjalani delapan laga di pelbagai ajang bersama Man. City dan Belgia. Hebatnya, tak ada laga yang tak berhias gol atau assist-nya.
Tak ada pihak yang lebih senang dari Pellegrini saat melihat kemonceran De Bruyne saat ini. Sejak awal, dia melihat lulusan akademi KRC Genk itu sebagai tambahan kekuatan bagi timnya dalam mengarungi kompetisi musim 2015-16.
“Butuh pesepak bola spesial untuk meningkatkan skuat kami dan saya tak ragu bahwa Kevin adalah salah satunya. Dia memiliki mentalitas, fisik, pemahaman taktik, dan atribut teknis yang baik untuk cepat menyatu,” ujar dia saat menyambut kedatangan De Bruyne.
Man. City yang musim lalu hanya finis sebagai runner-up memang butuh tambahan kekuatan untuk bisa kembali merebut gelar juara, terutama di Premier League. Kekuatan itu hanya bisa didapatkan dari bintang baru. Selain De Bruyne, The Citizens juga berhasil mendapatkan Raheem Sterling yang bisa diandalkan dalam mendulang gol dan menggoyang pertahanan lawan.
Tak sedikit orang mencibir pembelian pemain-pemain bintang oleh klub-klub besar. Apalagi bila klub itu adalah Chelsea, Manchester City, dan Paris Saint-Germain yang didukung cukong berdompet tebal. Namun, tak bisa dimungkiri, tambahan bintang baru sangat penting dalam mengarungi kompetisi. Terutama mereka yang ingin berprestasi di banyak ajang.
Bahkan, Bayern München di Bundesliga tegas-tegas menggariskan keharusan mendatangkan setidaknya dua bintang baru setiap awal musim. Demikian pula dengan klub-klub besar lain macam Real Madrid dan Barcelona. Betapa pun dominan di kompetisi domestik, klub-klub itu tetap memandang penting perekrutan bintang anyar. Laju Barcelona yang tersendat musim ini juga tak bisa dilepaskan dari ketiadaan pemain baru pada awal musim karena sanksi tak boleh merekrut penggawa anyar hingga Januari 2016.
Arti Kehadiran Bintang Baru
Kehadiran bintang baru tak hanya berarti meningkatkan kualitas dan kekuatan. Ada arti penting lain bagi tim. Bintang baru secara otomatis berpengaruh terhadap atmosfer di ruang ganti. Karena dipandang sebagai elemen penting, mereka akan membuat skuat secara keseluruhan lebih optimistis dalam menatap musim baru.
Itu pula yang dirasakan Yaya Toure saat ini. Melihat kontribusi apik De Bruyne dan Sterling, dia tak ragu menyebut skuat musim ini adalah yang terkuat dalam sejarah Man. City. “Dapatkah kami menjadi salah satu tim paling menarik di Eropa saat ini? Jujur saja, saya pikir iya. Kredit penuh kepada petinggi klub yang membuat hal ini terjadi,” ungkap dia.
Efek lainnya adalah menjaga atmosfer persaingan di dalam tim. Ini penting dalam mencegah para bintang lama dari sikap berpuas diri. Kedatangan bintang baru secara otomatis akan membuat para bintang lama tak nyaman, merasa terancam.
Bagi pelatih, pemain baru meningkatkan fleksibilitas dalam menyusun taktik dan strategi. Bisa jadi, para bintang baru malah merupakan potongan puzzle penyempurna. Simak saja Francesc Fabregas dan Diego Costa di Chelsea musim lalu. Keduanya punya peran besar terhadap keberhasilan The Blues menjuarai Premier League.
Fleksibilitas ini juga akan membuat tim tetap sukar diraba oleh lawan. Banyaknya opsi yang dimiliki akan membuat lawan selalu bertanya-tanya, tak mudah membuat counter strategy. Ini berbeda bila tim hanya bertumpu pada pemain yang itu-itu saja. Lawan sudah paham cara meredam mereka dengan bercermin pada performa musim sebelumnya.
Advertisement
Blunder Chelsea
Prestasi Chelsea musim ini bisa menjadi contoh paling sahih terkait betapa pentingnya menghadirkan pemain bintang baru dalam tim. Keberadaan The Blues di papan tengah klasemen Liga Inggris hingga pekan ke-9 tak terlepas dari blunder yang dilakukan pada awal musim. Di bursa transfer, manajer Jose Mourinho gagal mendatangkan bintang baru. Asmir Begovic, Abdul Rahman Baba, dan Papy Djilobodji bukanlah pemain world class yang diyakini meningkatkan kualitas tim.
Memang ada Radamel Falcao yang dipinjam dari AS Monaco. Namun, dia datang di tengah performa yang menurun drastis selepas cedera. Musim lalu, dia tak bisa berbuat banyak bersama Manchester United. Koreksi memang terjadi pada pengujung masa transfer dengan pembelian Pedro Rodriguez dari Barcelona. Sayangnya, itu tak diikuti pembelian bintang lainnya.
Blunder di bursa transfer inilah yang membuat Mourinho kesulitan saat The Blues oleng. Dia tak punya cukup banyak opsi untuk melakukan perubahan. Secara implisit, dia pada akhir September lalu mengakui hal tersebut. Kala itu, dia mengeluhkan mentalitas para pemainnya dengan menyebut Chelsea tak memiliki cukup banyak pemain juara. Dia juga mengancam akan "menyingkirkan" pilar-pilar lama dan memainkan pemain-pemain muda.
Mourinho memegang kata-katanya. Dia tak segan mencadangkan kapten John Terry, Oscar, hingga Eden Hazard, pemain terbaiknya musim lalu. Namun, itu bukan panasea apalagi serbuk ajaib. Tanpa bintang setara yang mampu mengisi peran mereka dengan baik, kondisi tak segera membaik. Mereka tetap inkonsisten. Posisi Mourinho pun jadi lemah di depan para pemainnya. Andai saja terjadi pembangkangan dari sekelompok pemain utama, habislah dia.
Di sudut hatinya, Mourinho pasti tak akan memungkiri blunder yang dilakukan di bursa transfer lalu. Namun, hingga bursa transfer kembali dibuka pada Januari mendatang, tak ada pilihan baginya kecuali memanfaatkan pemain-pemain yang ada. Bila tak mau, tak perlu lagi dia berkeras mengklaim masih sebagai sosok terbaik bagi The Blues.
Mourinho bisa menengok langkah Lucien Favre. Meski terbilang sukses dan mendapat dukungan penuh manajemen, dia tak sungkan meletakkan jabatan pelatih ketika Borussia Mönchengladbach terpuruk di Bundesliga pada awal musim ini. Hasilnya, meski hanya ditangani caretaker tanpa nama besar, Andre Schubert, Mönchengladbach bangkit.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Salah satunya rutin di football insight Berita Satu TV. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di tabloid soccer.