Liputan6.com, Jakarta - Suatu hari pada pengujung musim 2002-03, Arsene Wenger mengumpulkan semua penggawa Arsenal. Di hadapan mereka, dia menanyakan penyebab kegagalan mempertahankan gelar juara Premier League. Bek Martin Keown berkata, "Itu kesalahan Anda. Anda membebani kami tekanan mahabesar. Ide menjuarai liga tanpa kekalahan begitu membebani kami. Itu sesuatu yang mustahil."
Mendengar tudingan itu, Wenger menjawab, "Dengar... Saya berkata demikian karena yakin kalian mampu melakukannya. Tapi, kalian harus benar-benar menginginkannya. Akan jadi prestasi istimewa bila bisa menjadi tim pertama yang melakukan hal itu."
Wenger punya keyakinan kuat terhadap skuatnya. Dia melihat sesuatu yang istimewa dari armada yang dipimpinnya itu. Musim 2003-04, The Gunners akhirnya mampu mewujudkan harapan The Professor, juara tanpa mengalami kekalahan.
Bagi Wenger, keyakinan terhadap diri sendiri adalah hal penting. Dalam kehidupan yang seperti jalan searah di lorong gelap gulita, keyakinan memang pelita yang memandu agar tak ragu melangkah. Keyakinan itulah yang membuat langkah Wenger selalu pasti.
Orang lain boleh-boleh saja menilai dia terantuk-antuk dan tak tentu arah, namun keyakinan di dalam jiwa Wenger tak pernah padam. Keyakinan itu pulalah yang menuntun dia merebut prestasi gemilang sebagai pelatih.
Ujian terhadap keyakinan The Professor terjadi saat Arsenal memasuki masa trophyless (tak pernah juara) sejak 2006. Sindiran, cibiran, hingga hujatan menghujaninya. Tapi, dia tetap bergeming. Dia tetap yakin dirinya berada di jalur yang benar. Dia juga selalu yakin timnya bisa juara.
Dua musim terakhir, keyakinan itu berbuah. Arsenal menjuarai Piala FA. Itu otomatis mendongkrak keyakinan para pemain dan fans The Gunners. Jika sebelumnya ada pesimisme yang bersemayam, kini mereka lebih percaya diri. Apalagi ada beberapa catatan penting yang ditorehkan musim lalu.
"Kemenangan atas Manchester City, sesuatu yang tak diduga oleh banyak orang, juga kemenangan atas Manchester United di Piala FA adalah momen penting kami musim lalu. Kedua momen itu makin menguatkan keyakinan di dalam tim saya," ulas The Professor.
Musim ini, keyakinan itu terlihat di lapangan. Meski menjalani start tak bagus, Arsenal sanggup mengoleksi 26 poin pada pekan ke-12, sama dengan Man. City yang memuncaki klasemen. Robert Pires, eks penggawa The Gunners yang masih rajin berlatih bersama Mikel Arteta dkk., mengendus mental juara. Menurut dia, atmosfer di dalam tim sangat bagus dan para pemain begitu menikmati permainan.
Saling Berkorban
Prestasi dalam 12 pekan, seperti sempat dikatakan Wenger, tentu saja tak bisa dijadikan patokan. Pada pekan ke-12 musim 2013-14, Arsenal malah memuncaki klasemen dan unggul empat angka atas rival terdekat. Namun, pada akhir musim, mereka tetap saja gagal juara.
Meski demikian, musim ini para pendukung Arsenal patut optimistis dan tak perlu cemas akan terjebak dalam harapan palsu. Musim ini penuh ketidakpastian. Buktinya, lihat saja keberadaan Leicester City di 3-besar sementara Chelsea, sang juara bertahan, terseok-seok di papan bawah. Lihat juga kedigdayaan West Ham United yang sanggup menang atas "big boys", Arsenal, Liverpool, Man. City, dan Chelsea.
Dalam musim seperti itu, berlaku prinsip Der Ball ist Rund, ungkapan terkenal dari Sepp Herberger, eks pelatih timnas Jerman. Karena bulat, bola gampang sekali bergulir ke segala arah. Segala kemungkinan sangat terbuka. Tak terkecuali kemungkinan Arsenal menjuarai Premier League, hal yang selalu gagal dilakukan dalam sepuluh musim terakhir.
John Barnes, eks penggawa Liverpool dan timnas Inggris, bahkan meyakini musim ini adalah saat terbaik bagi Arsenal. Kemunduran Chelsea, salah satu pesaing kuat, akan memotivasi The Gunners. Apalagi, menurut Barnes, Man. City biasanya tersendat saat memasuki Maret.
Di samping itu, Arsenal musim ini juga jauh lebih padu. Indikasi paling mudah, lihat saja Mesut Özil yang kian aktif terlibat dalam mendukung sistem pertahanan. Lalu, Olivier Giroud tak mengeluh meski kerap dicadangkan. Dia justru terlecut.
"Secara mental, kami jauh lebih kuat musim ini. Kami semua berjuang untuk satu sama lain. Kami memiliki kebersamaan luar biasa dan ingin meraih pencapaian besar bersama-sama,” terang Giroud. "Kami semua ingin berkontribusi dan menunjukkan kemampuan terbaik dalam partai-partai besar. Kami menatap ke arah yang sama dan tahu persis perlu selalu tampil 100% dalam setiap pertandingan."
Arsenal musim ini mengingatkan pada Bayern München musim 2012-13 yang berhasil meraih tiga gelar. Özil mengingatkan ke pada Franck Ribéry dan Arjen Robben yang seperti fullback tambahan bagi Bayern. Lalu, sikap Giroud setara dengan pengorbanan Mario Mandžukić yang rela melupakan gelar pencetak gol terbanyak.
"Saya katakan kepada para pemain, 'Kalau tak menyadari bahwa kita harus bekerja sebagai tim, bila tak bekerja lebih keras, dan jika tidak lebih lapar akan kesuksesan, kita juga tak akan mendapatkan apa pun tahun depan.' Pola pikir mereka berubah. Para pemain yang tak pernah belajar kerjasama mampu mengatasi egoisme mereka. Bahkan Arjen Robben dan Franck Ribéry tiba-tiba saja mau mengambil tanggung jawab dalam bertahan," Kisah Jupp Heynckes, eks pelatih Bayern.
Kemauan berkorban dari seluruh pemain seperti yang diungkapkan Giroud sangat penting bagi Arsenal. Itu adalah modal utama dalam mengatasi problem akut, badai cedera pemain yang tetap saja mendera. Semangat kebersamaan dan kerja bahu-membahu akan mereduksi beban saat pilar-pilar tertentu absen.
Advertisement
Skuat Sempurna
Jangan lupakan pula, komposisi Arsenal saat ini terbilang ideal menurut ukuran Wenger. Setelah pembelian Özil dan Alexis Sanchez, perekrutan Petr Cech musim ini menyempurnakan skuat The Gunners.
Pada 2003-04, Wenger sempat ditanya tentang usia optimal bagi para pesepak bola berdasarkan posisi. Pria asal Prancis itu menjawab, "Kiper antara 30 dan 35 tahun, bek tengah antara 26 dan 34 tahun, pemain tengah antara 26 dan 32 tahun, dan striker antara 24 dan 30 tahun. Itu adalah usia-usia puncak."
Dia pun lantas memberikan kualifikasi khusus yang harus dimiliki para pemain di tiap posisi. "Untuk pemain belakang, hal terpenting adalah konsentrasi. Di tengah, hal utama adalah kemampuan teknis, sedangkan di depan adalah kecepatan."
Ozil memenuhi kriteria gelandang ideal Wenger. Selain memiliki skill sangat apik, Özil pada tahun ini memasuki usia yang kian matang, 27 tahun. Musim ini, dia mencetak sejarah sebagai pemain pertama yang membuat assist dalam enam pertandingan beruntun di Premier League.
"(Usia) Ini adalah masa awal kemunculan kesadaran bahwa hal yang penting bukan hanya bermain, melainkan memenanginya juga," kata Wenger.
Alexis yang direkrut pada 2014-15 sesuai persyaratan striker ideal walaupun sejatinya bukan bomber klasik. Seperti Thierry Henry dan Nicolas Anelka, Alexis memiliki kecepatan apik. Umurnya pun berada di rentang ideal. Dia akan berulang tahun ke-27 pada 19 Desember nanti. Kedatangannya dari Barcelona secara nyata meningkatkan daya gedor dan variasi serangan The Gunners.
Sementara itu, Cech yang diakui sebagai salah satu kiper terbaik dunia, pada saat ini berumur 33 tahun. Kontribusinya langsung terlihat jelas. Dalam 12 laga awal saja, dia mampu mempersembahkan enam clean sheet. Sejak milenium baru, ini adalah catatan terbaik. Sebelumnya, Arsenal paling banter tak kebobolan dalam lima pertandingan.
Cech tak ubahnya bonus luar biasa bagi Arsenal. Selain mumpuni dalam membentengi gawang, pemain asal Republik Ceko itu juga pemimpin di lapangan dan berpengalaman menjuarai Premier League. Cech adalah sosok kiper istimewa yang tak dimiliki The Gunners sepeninggal Jens Lehmann pada 2008.
Peran vital Cech diakui Per Mertesacker, deputi kapten The Gunners. "Anda tahu bahwa jika lawan mendapatkan peluang bersih, Petr bisa menghadapinya dengan baik. Dia seorang yang selalu bisa menyelamatkan Anda. Itu mengangkat moral semua orang, bukan hanya empat pemain belakang," jelas bek jangkung asal Jerman itu.
Keyakinan terhadap diri sendiri yang makin tinggi, kekompakan tim yang tambah apik, dan skuat yang kian lengkap adalah modal luar biasa. Andai ketiga hal itu bisa terus dipelihara hingga Mei nanti, tak ada yang tak mungkin. Arsenal harus yakin, inilah saatnya mengakhiri penantian panjang.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.