Liputan6.com, Jakarta Di sepak bola, ketika sebuah tim meraih kemenangan dan kejayaan, pemainlah yang dihujani pujian. Namun, kala sebuah tim mengalami kegagalan atau tak sanggup memenuhi ekspektasi, pelatihlah yang selalu disalahkan.
Maka tak heran bila Louis van Gaal dihujani kritik dari segala arah usai laga pamungkas fase grup Liga Champions menghadapi VfL Wolfsburg, Rabu (9/12/2015) WIB. Kekalahan 2-3 dari runner-up Bundesliga itu membuat Manchester United hanya bisa melanjutkan kiprah di Liga Europa.
“Saat ini, saya tak bisa membela diri karena kami tersisih dari Liga Champions,” ungkap Van Gaal usai pertandingan. Sebelumnya, pada bulan lalu, dia berujar, “Kritik dari para fans tidak pernah tidak adil. Itulah perasaan mereka dan saya tidak bisa mengkritik perasaan para fans.”
Van Gaal tahu persis, ketika menerima tawaran menangani Red Devils, dia akan menghadapi tekanan berat. Seperti halnya Bayern München yang ditanganinya pada 2009 hingga 2011, banyak mantan pemain Man. United yang menjadi analis di media massa.
Sebut saja Rio Ferdinand, Owen Hargreaves, Paul Parker, Paul Scholes, hingga Gary Neville yang kini menangani Valencia. Setiap kali Man. United bermain buruk, para eks pemain itu akan dengan mudah melancarkan kritik.
Meski terkesan santai, Van Gaal tidak tunduk kepada kritik. Begitu tersisih dari Liga Champions, dia meminta semua pihak melihat fakta secara keseluruhan, bukan hanya di satu kompetisi. Dia menegaskan, timnya tampil lebih baik dari musim lalu. Faktanya, mereka mampu berada di papan atas meski direpotkan oleh laga-laga di fase grup Liga Champions dan lolos hingga perdelapan final Piala Liga.
Kepada para fans yang tak nyaman melihat permainan Red Devils, Van Gaal meminta untuk memahami dari dua sisi. Menurut dia, para fans tak bisa menilai Wayne Rooney dkk. tak tampil menawan hanya karena irit dalam mencetak gol dan tak konsisten mendulang kemenangan. Dia meminta mereka juga menganalisis permainan para lawan.
Sang Jenderal Tulip yakin berada di jalur yang tepat dan sesuai dengan misi yang diembannya. Eks kiper Red Devils, Peter Schmeichel, memahami hal itu. “Target Van Gaal pada musim pertama adalah membawa tim ini kembali ke Liga Champions. Dia berhasil melakukan hal itu. Musim ini, targetnya adalah mencapai hal yang lebih baik dan timnya bermain lebih baik,” terang dia.
Memadukan prestasi dengan permainan menawan tentu saja bukan perkara gampang. Dalam pandangan pria asal Denmark tersebut, Van Gaal masih dalam masa transisi. Untuk itu, dia meminta para fans Man. United tak perlu terlalu gelisah dan buru-buru menghujat sang manajer. “Berilah Van Gaal waktu,” kata dia.
TANPA KATALISATOR
Sebuah perubahan memang perlu waktu untuk menampakkan hasil. Di Man. United, waktu yang diperlukan Van Gaal rupanya lebih banyak. Pasalnya, dalam menanamkan falsafah sepak bola yang dianutnya, dia menghadapi resistensi sangat besar. Para pemain tak akomodatif terhadap perubahan yang dibawa sang manajer.
Mereka mengeluhkan pertemuan-pertemuan tim sesudah pertandingan serta pendekatan saat latihan yang menekankan analisis video dan pembahasan taktik. Mereka juga seperti tak mau beranjak dari cara main lama yang menekankan pada serangan bergelombang nan cepat, penuh tenaga, dan penuh semangat.
Resistensi serupa ditunjukkan para suporter dan eks penggawa Red Devils. Para suporter sempat meneriakkan, “Attack, attack, attack!” Adapun sejumlah eks pemain, di antaranya Ferdinand, mengutuk possession football yang coba diterapkan sang manajer.
“Falsafah saat ini sepertinya ‘Kami akan menguasai bola lebih sering dibanding kalian. Kalian tak akan nyaman menguasai bola. Penguasaan bola adalah cara awal kami bertahan.’ Para pendukung Man. United kini harus terbiasa melihat klubnya bermain dengan cara berbeda,” papar Ferdinand.
Ini menjadi handicap sangat besar. Padahal, kata Schmeichel, Man. United seharusnya menerima Van Gaal secara utuh. “Ketika kami memilih seseorang seperti Louis van Gaal yang memiliki personalitas dan ego sangat besar, kami juga memilih falsafah sepak bolanya. Sangat jelas bahwa untuk jangka waktu tertentu, kami harus menerima tim tak mengusung gaya main Manchester United,” terang dia.
Memahami metode Van Gaal memang tak mudah. Menurut Maarten Meijer, penulis biografi Van Gaal, hal tersulit bagi sang pelatih saat di Jerman adalah mengkomunikasikan ideologinya. “Hanya sedikit yang betul-betul memahami penjelasannya,” ucap Meijer.
Situasi di Manchester kian sulit karena Van Gaal tak memiliki katalisator. Saat ini, sangat mungkin dia mendambakan sosok Arjen Robben yang menjadi katalisator semasa di Bayern. Sebelum kedatangan Robben dari Real Madrid, Bayern tak berjalan di trek yang benar. Tiga laga awal di Bundesliga dilewati tanpa kemenangan.
Itu berubah ketika Robben datang. Robben yang juga berasal dari Belanda adalah jembatan dalam menerjemahkan falsafah sang pelatih kepada pemain-pemain lain di lapangan. Dia juga sosok yang bisa diandalkan untuk mengantar tim meraih kemenangan. Lalu, yang paling penting, kehadiran Robben membuat Van Gaal menemukan racikan terbaik.
Musim ini, Van Gaal sebenarnya menaruh harapan pada dua penggawa anyar, Bastian Schweinsteiger dan Memphis Depay. Keduanya diyakini bisa menjadi jembatan penghubung karena pernah ditangani Van Gaal. Namun, harapan tinggal harapan. Keduanya gagal menjadi katalisator.
Advertisement
MENIRU WOLFSBURG
Meski begitu, terlalu gegabah menyepakati Ferdinand yang memvonis Man. United tak akan meraih prestasi apa pun bersama Van Gaal. Kesuksesan bukan hanya ditentukan oleh tekad dan kemampuan, melainkan juga oleh kesempatan.
Musim ini, persaingan di kasta tertinggi sepak bola Inggris sungguh sukar diprediksi. Keberadaan Leicester City di puncak klasemen dan Jamie Vardy di puncak daftar pencetak gol terbanyak adalah buktinya. Tak ada lagi dominasi Chelsea dan Sergio Agüero. Bahkan Manchester City yang dinilai kandidat kuat juara pun terseok-seok.
Man. United perlu belajar dari Wolfsburg yang menyingkirkan mereka dari percaturan Liga Champions musim ini. Persaingan di Premier League musim ini mengingatkan pada Bundesliga musim 2008-09 ketika Wolfsburg juara.
Saat itu, Bundesliga dikejutkan oleh sensasi klub debutan, TSG 1899 Hoffenheim, dan strikernya, Vedad Ibisevic. Mereka merusak peta persaingan yang sebelumnya selalu dikuasai klub-klub tradisional macam Bayern, Borussia Dortmund, SV Werder Bremen, VfB Stuttgart, Bayer Leverkusen, dan FC Schalke 04.
Wolfsburg mampu memanfaatkan “kekacauan” itu dengan baik. Mengendap-endap selama putaran pertama, mereka menggebrak saat putaran kedua. Apalagi pada saat yang bersamaan, Hoffenheim menukik gara-gara cedera yang menghantam Ibisevic. Dalam 17 laga paruh kedua, Die Wolfe hanya tiga kali gagal meraih kemenangan.
Memang benar, kesuksesan kala itu sangat ditentukan oleh polesan pelatih Felix Magath serta kehebatan trio Zvjezdan Misimovic, Grafite, dan Edin Dzeko yang disebut The Magic Triangle. Namun, keterpurukan para pesaing utama juga menjadi faktor yang tak bisa diabaikan. Bayern, Dortmund, Hamburg, Schalke, dan Leverkusen tak mulus menjalani transisi setelah pergantian pelatih pada awal musim.
Kemampuan memanfaatkan kesempatan itu kembali diperlihatkan pada musim lalu. Di tengah keterpurukan Dortmund, Die Wolfe mengambil alih posisi sebagai pesaing utama Bayern. Mereka bahkan sanggup menjadi yang terbaik di DFB Pokal.
Untuk meniru jejak Wolfsburg, Van Gaal tak boleh terperangkap dalam ambisi mewujudkan prestasi dengan permainan yang sesuai falsafahnya. Dia perlu menengok pengalaman musim 2009-10 di Bayern. Keberhasilan Die Roten merebut dua gelar dan menembus final Liga Champions tidak diraih dengan superioritas dan permainan indah. Beberapa kali mereka tersandung.
Bila Van Gaal mampu membuat Man. United berjalan seperti Wolfsburg yang mengendap-endap pada putaran pertama dan lantas juara pada akhir musim, niscaya semua pengkritik akan diam. Bagaimanapun, trofi adalah obat paling mujarab untuk membungkam semua keraguan.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.