Liputan6.com, Jakarta: Entah mimpi apa Rafael Benitez saat pergantian tahun, pekan lalu. Hanya empat hari memasuki 2016, kenyataan pahit harus diterima pelatih berumur 55 tahun tersebut. Senin (4/1/2016), sehari berselang dari hasil imbang 2-2 yang dituai Real Madrid dalam laga kontra Valencia, Presiden Florentino Perez menyudahi tugas Benitez sebagai entrenador Los Blancos.
Sungguh nahas dan malang nasib Benitez. Begitulah kesan yang timbul dari pemecatan itu. Namun, bukan tidak mungkin, justru itulah harapan yang dirapalkan Benitez saat malam pergantian tahun. Bagaimanapun, melihat perkembangan yang ada, eks pelatih Napoli itu tentu tahu persis bahwa pemecatan dirinya adalah sebuah keniscayaan. Itu hanya soal waktu.
Aroma pemecatan itu pun kian menguat pada bulan lalu ketika Perez melakukan poling tentang sosok yang diinginkan para pemegang tiket terusan untuk menjadi pelatih berikutnya. Apalagi saat sang presiden meminta pendapat para pemain soal Zinedine Zidane, nama yang muncul dari poling itu.
Sebagai Madridista, melatih Madrid adalah impian yang menjadi kenyataan bagi Benitez. Karena cintanya yang begitu besar dan tulus bagi Madrid, Benitez mengira perkawinannya dengan Los Blancos adalah sebuah perkawinan yang sempurna. Namun, faktanya, selama tujuh bulan menjadi pelatih Los Blancos, dia tak ubahnya berada di neraka.
Di Santiago Bernabeu, dia menghadapi deretan pemain yang seperti tak lagi punya ambisi setelah merebut La Decima pada dua musim lalu. Sebagian dari mereka bahkan tak bisa menerima kehadirannya. Tak terkecuali sang superstar, Cristiano Ronaldo. Ketidaksukaan juga ditunjukkan sebagian Madridistas dan ada pula di hati kecil Perez.
Bisa dikatakan, Benitez tak memiliki kontrol terhadap timnya sendiri. Bagi seorang pelatih, ini adalah petaka.Seperti diungkapkan Arsene Wenger dalam The Manager karya Mike Carson, seorang manajer atau pelatih harus memegang kontrol secara penuh. Tanpa itu, manajer atau pelatih tak akan bisa berbuat apa-apa.
Baca Juga
Kisah Benitez mirip dengan Jose Mourinho yang lebih dulu dipecat Chelsea. Musim ini, The Special One tak mampu lagi mengendalikan ruang ganti. Dia bahkan tak ragu menyebut para pemain telah mengkhianatinya dengan bermain buruk dan membuat The Blues terpuruk.
Jadi, ketika akhirnya pemecatan datang, itu sebuah takdir baik bagi Benitez. Pemecatan itu membebaskan dia dari 'siksaan'. Dia tidak lantas ke surga, namun setidaknya keluar dari neraka.
Advertisement
PILIHAN PALING AMAN
Dari sudut pandang Perez, pemecatan Benitez adalah solusi. Setidaknya, dengan mendepak pelatih yang sempat menjuarai La Liga bersama Valencia itu, dia sudah menyingkirkan satu masalah. Bagaimanapun, bila Benitez bertahan, sulit berharap harmoni tercipta di ruang ganti.
Berbeda dengan Carlo Ancelotti yang memiliki pendekatan antarpersona sangat baik, Benitez adalah tipe pelatih yang memegang prinsip tim adalah segalanya. Menurut Steven Gerrard dalam biografinya, Steven Gerrard: My Liverpool Story, Benitez selalu menjaga jarak dengan pemain. Di matanya, superstar dan debutan sama saja. Perubahan inilah yang membuat beberapa bintang Los Blancos tak nyaman.
Meski demikian, pemecatan Benitez tak serta-merta menjadi panasea bagi penyakit Madrid. Apalagi Zidane, sang pengganti, adalah pelatih yang masih hijau. Jorge Valdano, eks Direktur Olahraga Madrid, terang-terangan menyebut eks bintang Prancis itu sebagai sebuah perjudian karena pengalamannya yang sangat minim.
Perez tahu persis soal keraguan tersebut. Namun, saat ini, Zidane adalah pilihan terbaik sekaligus teraman. Setidaknya untuk dirinya sebagai presiden klub. Zidane sudah paham ruang ganti Los Blancos karena sempat menjadi asisten Ancelotti.
Karena pernah membela Madrid, Zizou pun paham tradisi dan nilai-nilai yang berlaku di Santiago Bernabeu. Dia tahu persis makna kemenangan, kejayaan, dan permainan menawan bagi Madridistas. Tak heran bila itulah yang dijanjikan Zidane dalam konferensi pers pertamanya.
Hal terpenting, Zidane adalah sosok yang diinginkan para Madridistas. Ini tameng tersendiri bagi Perez. Bila Madrid tak bangkit, Perez bisa berkelit menghindari tudingan dan amarah Madridistas. Dia tinggal berkilah, pemecatan Benitez dan penunjukan Zizou hanyalah mengikuti aspirasi mereka.
Advertisement
AKHIR PENANTIAN
Bagi Zidane, kepercayaan yang didapatkan dari Perez adalah akhir sebuah penantian. Sesungguhnya, ketika Ancelotti dipastikan pergi, dia merasa siap menjadi pengganti. Namun, Perez tak mau berjudi. Dia lebih memilih Benitez yang tak berprestasi pada musim terakhirnya di Napoli.
Sesungguhnya, menjadi pelatih bukan rencana Zidane. Saat pensiun, dia membayangkan hal lain. Namun, seiring perjalanan waktu, tumbuhlah hasrat untuk kembali merasakan tensi di lapangan hijau. Itu hanya bisa didapatkan dengan menjadi pelatih.
Zidane memang bukan Josep Guardiola yang semasa jadi pemain pun sudah tergila-gila dengan taktik. Namun, dia memiliki kemauan keras, selalu serius dalam melakukan apa pun, dan tak berhenti belajar. Dia punya dedikasi sangat tinggi terhadap pekerjaannya.
Di mata sebagian orang, Zidane juga punya aura oke. Salah satu yang berpandangan demikian adalah Jean-Louis Triaud, Presiden Girondins de Bordeaux. Sebelum akhirnya berpaling kepada Willy Sagnol, Triaud pada akhir musim 2013-14 sangat mempertimbangkan Zidane sebagai pelatih Bordeaux.
Triaud merasa Zidane akan seperti Laurent Blanc. Rencana itu kemudian batal karena Triaud tak sanggup memenuhi permintaan Zizou yang terlihat begitu ambisius menatap tugasnya sebagai pelatih.
Kini, seiring kepercayaan yang diberikan Perez, ada harapan besar yang tertumpah ke pundak Zizou. Harapan itu antara lain tercermin dari kehadiran 6.000 Madridistas saat dia menggelar sesi latihan pertamanya sebagai entrenador Los Blancos.
Kedatangan mereka bukan sekadar dukungan, melainkan juga beban. Bagaimanapun, mereka menginginkan Coach Zizou seperti Zidane sang pemain yang penuh imajinasi, trik, dan sentuhan-sentuhan ajaib. Mereka berharap Coach Zizou secara drastis mengubah Madrid dalam satu malam.
Seperti Benitez, sang pendahulu, Zizou tak punya banyak waktu. Dia tak bisa mencoba ini dan itu. Hasil instan adalah hal yang paling ditunggu. Tanpa itu, kisah Coach Zizou di Santiago Bernabeu mungkin akan berakhir prematur seperti sang pendahulu. Mari ditunggu, seberapa lama Zidane akan di Bernabeu.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.