Liputan6.com, Jakarta - Teka-teki soal pelabuhan baru Josep Pep Guardiola akhirnya terkuak tepat pada awal bulan ini. Senin (1/2/2016), oleh manajemen Manchester City, Guardiola diumumkan sebagai manajer baru yang akan menangani Raheem Sterling cs musim depan. Kontraknya berdurasi tiga musim.
Baca Juga
- Rossi Yakin Stoner Ingin Balapan Lagi
- Disodori Kontrak Baru, Gaji Vardy Masih Seperlima Guardiola
- Cuplikan Barcelona Gilas Valencia 7 Gol Tanpa Balas
Itu bukanlah sebuah kejutan. Pep berkiprah di Inggris adalah keniscayaan. Sejak lama, dia jatuh hati pada atmosfer sepak bola Inggris yang memang luar biasa. Berkali-kali dia mengutarakan keinginan melatih di Premier League. Salah satunya pada Januari 2013. Dia mengaku tergoda untuk menangani klub Premier League.
Hal serupa diungkapkannya lagi pada Januari silam. "Mengapa Inggris? Saya ingin merasakan gairah (para fansnya) dan menikmati stadion-stadionnya. Saya menginginkan pengalaman baru. Dalam umur 44 tahun, saya rasa inilah saat terbaik untuk pergi ke Inggris," kata dia.
Klub-klub Inggris pun begitu meminatinya. Saat Guardiola memutuskan istirahat selama semusim pada 2012-13, beberapa klub Inggris melamarnya. Salah satunya Manchester United yang kebetulan digandrungi pria asal Katalonia tersebut.
Saat Pep Guardiola memutuskan tak memperpanjang kontraknya di Bayern München, klub-klub Inggris kembali mengantre. Selain Man. United, Chelsea dan Manchester City pun menggebu untuk mendapatkan tanda tangannya.
Soal pilihan yang akhirnya jatuh kepada ManCity, itu juga sudah terprediksi. Begitu dipastikan hengkang dari Bayern, Guardiola paling santer dirumorkan bakal berlabuh di Stadion Etihad. Media-media massa Spanyol bahkan sangat yakin akan hal itu.
Isyarat memilih Man. City juga sudah diberikan kepada Karl-Heinz Rummenigge, Chief Executive Bayern, dalam pesta Natal pada 5 Desember 2015. Begitu Guardiola menyampaikan putusan tak memperpanjang kontrak, Rummenigge bertanya, "Kamu mau ke Manchester United?" Guardiola menjawab, "Tidak." Mendengar itu, Rummenigge berseloroh, "Kalau begitu, Manchester City?" Kali ini, Guardiola hanya menjawab dengan senyuman.
Advertisement
Pilihan terhadap The Citizens juga tak bisa dipisahkan dari dua sosok yang pernah bekerjasama dengannya di Barcelona, yakni Chief Executive Ferran Soriano dan Direktur Olahraga Txiki Begiristain. Sejak awal, perekrutan Soriano dan Begiristain memang ditengarai sebagai bagian dari misi mendatangkan Guardiola. Bahkan, itu diyakini sebagai janji keduanya kepada para petinggi ManCity.
Ketika The Citizens tak sanggup menggapai trofi pada musim lalu, seperti diungkapkan Gary Neville kepada Manchester Evening News, tekanan besar mengarah kepada keduanya. Ini dipercaya membuat mereka lebih intensif membujuk Guardiola. Sayangnya, karena Guardiola masih terikat kontrak dengan Bayern, ManCity terpaksa harus mempertahankan Manuel Pellegrini.
TANTANGAN MENARIK
Terlepas dari hal itu, The Citizens sesuai dengan kriteria Guardiola. Saat mengatakan butuh tantangan baru, Guardiola terkesan klise. Namun bila diamati, Man. City memang tantangan menarik. Lebih dari itu, The Citizens adalah proyek mahabesar.
Sejak diakuisisi oleh konsorsium asal Abu Dhabi pada 1 September 2008, ManCity mengalami transformasi luar biasa. Itu tak terlepas dari visi sang bos besar, Syekh Mansour bin Zayed Al Nahyan.
Sejak awal, dia berambisi membuat ManCity sebagai klub terbesar. Bukan hanya di Inggris dan Eropa, dia membayangkan sebuah dominasi global seperti Barcelona dalam beberapa tahun ini.
Tanda-tanda terlihat pada 2010-11 lewat keberhasilan menjuarai Piala FA. Itu adalah trofi pertama sejak Piala Liga 1976. Sayangnya, The Citizens belum mampu menunjukkan konsistensi. Selain musim lalu, mereka juga nirtrofi pada 2012-13. Ini tentu meresahkan karena tak sejalan dengan misi dominasi global.
Belum lagi kegagalan berbicara di pentas antarklub Eropa. ManCity masih tertatih-tatih saat berkompetisi dengan klub-klub teras Benua Biru. Prestasi tertinggi mereka hanyalah menembus perempat final Liga Europa 2008-09. Di Liga Champions, dalam empat musim terakhir, Yaya Toure dkk. dua kali tersingkir di babak 16 besar dan dua kali tersisih di fase grup.
Guardiola adalah sosok yang dipercaya bisa membenahi hal itu. Di Barcelona dan Bayern, dia terbukti sanggup menghadirkan gelar demi gelar secara kontinu. Adapun di kancah antarklub Eropa, dalam enam musim, Guardiola tak pernah gagal menembus semifinal Liga Champions. Dia malah dua kali membawa Blaugrana juara.
Misi menghadirkan konsistensi di kompetisi domestik dan "naik kelas" di kompetisi regional itu akan jadi tantangan menarik bagi Guardiola mengingat belakangan ini beberapa pelatih top justru mandeg di Premier League. Lihat saja kiprah Louis van Gaal di Manchester United. Juga Jurgen Klopp di Liverpool. Sentuhan emas keduanya seolah menguap begitu menjejak tanah Inggris.
Klopp bahkan buru-buru memperingatkan bahwa Guardiola tak akan melenggang mulus. Menurut dia, Guardiola bersama The Citizens tak akan dengan mudahnya mendominasi Premier League. Itu karena tingkat persaingan yang jauh lebih ketat dibanding di Divisi Primera dan Bundesliga.
Tantangan lain yang akan dihadapi Guardiola tentu saja gaya main The Citizens. Saat ini, permainan Sterling dkk. belum mendekati falsafah yang diusungnya. Ini berbeda dengan Bayern. Saat dia datang, Die Roten sudah memiliki fondasi possession football berkat polesan Van Gaal. Secara khusus, di lini tengah, Man. City belum memiliki pemain yang fasih dalam menguasai dan mengalirkan bola.
Belum lagi skuat yang sudah uzur. Musim ini, dengan rata-rata 29,1 tahun, skuat The Citizens adalah yang tertua di Premier League. Dari 24 pemain, 11 di antaranya saat ini tergolong gaek, berumur 30 tahun atau lebih. Sementara itu, yang di bawah 25 tahun hanya empat orang.
Advertisement
MISI PRIBADI
Mengingat banyaknya tantangan yang harus dihadapi itu, sangat menarik untuk menantikan langkah awal yang akan dibuat oleh Guardiola. Bukan tidak mungkin, meski menyatakan tetap fokus pada tugasnya di Bayern, kapten La Furia Roja saat merebut medali emas Olimpiade 1992 itu sudah mulai membuat catatan-catatan kecil.
Itu penting karena Guardiola tentu tak ingin hanya menjadi penggembira di belantara Premier League. Sebaliknya, dia memanggul misi pribadi menaklukkan Inggris. Sebagai kompetisi yang dinilai paling glamor dan kompetitif, Premier League adalah arena pembuktian diri. Tanpa keberhasilan menaklukkan Premier League, tidak sah bagi seorang pelatih untuk mengklaim sebagai yang terbaik.
Meski tak pernah menyebut diri sebagai pelatih terbaik, di sudut hatinya, Guardiola pasti menginginkan hal itu. Bila Jose Mourinho menyebut diri sebagai The Special One, Klopp mengaku sebagai The Normal One, bisa jadi Guardiola ingin mengklaim sebagai The Best One.
Saat ini, Guardiola masih kalah dari Mourinho. Sepanjang kariernya sebagai pelatih, The Special One telah menaklukkan empat liga. Tiga di antaranya adalah Premier League, Serie-A, dan Divisi Primera yang termasuk empat liga terelite Eropa. Bandingkan dengan Guardiola yang baru bisa juara di Divisi Primera dan Bundesliga.
Di Liga Champions, koleksi gelar Mou dan Guardiola memang sama. Keduanya baru dua kali juara, kalah dari Carlo Ancelotti yang sudah mengoleksi tiga gelar juara. Bedanya, Mou juara bersama dua klub berbeda, FC Porto dan Internazionale, sedangkan Guardiola hanya juara bersama Blaugrana.
Itu artinya, dalam tiga musim ke depan, berjaya di Premier League dan Liga Champions bukan hanya penting bagi ManCity dalam upaya mewujudkan misi dominasi global. Bagi Guardiola, itu akan mengesahkan label The Best One.
Apalagi bila musim ini Pep Guardiola sanggup membawa Bayern juara Liga Champions. Hingga kini, belum ada pelatih yang sanggup mengantar tiga klub menjuarai kompetisi antaklub terelite di Eropa tersebut.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan kerap menjadi komentator di beberapa stasiun televisi swasta nasional. Penulis juga pernah bekerja di Tabloid Soccer.