Sukses

[Kolom] 'Sepeda Tua' Leicester City

Leicester berhasil menginspirasi banyak pihak untuk meninjau ulang karakter rakus belanja.

Liputan6.com, Jakarta - Di saat sepakbola sedang dibuai alunan musik "you get what you pay for", tiba-tiba Leicester City menekan tombol pause. Entah karena idealis atau realistis, The Foxes menyentak dengan antitesis yang semakin langka di lapangan hijau: smart money.

Di kompleks saya ada sekumpulan bapak-bapak yang hobi sepeda. Layaknya hobi yang mengarah menjadi gaya hidup, Sabtu pagi adalah showtime. Beradu kemampuan gowes melahap track panjang nan sulit, dan diam-diam berlomba upgrade sepeda, sparepart, sampai aksesorisnya. Seru!

Baca Juga

  • Terungkap, Bintang Juventus Tolak Inter
  • Tabrak Pembatas, Manor Racing Bikin Mobil Baru untuk Rio Haryanto
  • Presiden Jokowi Minta Menpora Revisi Kajian Pengaktifan PSSI

Saya tak mau ketinggalan meski hanya bisa cengar-cengir jika mereka mulai masuk topik belanja sepeda. Toh Simbah, nickname sepeda yang saya naiki saking tua dan kunonya, masih gagah dan bisa eksis di antara puluhan sepeda yang kalau dihitung-hitung bisa puluhan bahkan ratusan kali lebih mahal.

Semua track, tanjakan, turunan pun medan berlumpur masih bisa dilewati dengan nyaris sempurna. Kadang dengan meninggalkan cucu-cucu Simbah jauh di belakang yang terengah-engah.

It’s not about the gun, but man behind it…

Sepak terjang Simbah pastilah tak ada apa-apanya dibandingkan Leicester City. The Foxes mengacak-acak tatanan mapan Liga Inggris. Musim lalu terseok-seok di papan bawah dan nyaris degradasi, sampai tulisan ini ditulis masih bertengger gagah di puncak klasemen dengan selisih 2 poin!

Baru 3 kali kalah sepanjang musim, Leicester konsisten menjaga jarak dari kejaran nama-nama besar sekelas duo Manchester, Chelsea, Liverpool ataupun Arsenal. Di daftar top scorer sementara, Jamie Vardy memimpin dengan 19 gol. Plus Riyad Mahrez (14 gol) membuat klub asuhan Claudio Ranieri ini satu-satunya klub yang punya 2 pemain dalam top ten top scorer.

Kenapa saya sebut mengacak-acak? Karena secara teori seharusnya klub-klub yang punya bujet belanja cukup lah yang kini ketat bersaing berebut takhta juara. Sebutlah City yang menghabiskan 233,6 juta pound, MU (198,5 juta pounds) atau Chelsea (197,2 juta pounds). Bukan malah Leicester yang hanya sanggup mengeluarkan 22,7 juta pound (!) untuk bersaing di salah satu liga terbaik di dunia ini.

Tiga pilar Leicester harganya sangat murah! Jamie Vardy, yang mulai masuk timnas Inggris, dibeli 1 juta pounds dari Fleetwood. Riyad Mahrez hanya butuh 350 ribu pounds ketika ditarik dari Le Havre. Shinji Okazaki didapatkan dari Mainz seharga 7 juta pounds.

Rekrutmen lain yang dianggap brilian adalah N’Golo Kante dari Caen (5,6 juta pounds), Marc Albrighton didapatkan secara free dari Aston Villa, serta peminjaman Nathan Dyer dari Swansea City.

Leicester konsisten menjaga jarak dan juga menaklukkan nama-nama besar sekelas duo Manchester, Chelsea, Liverpool. (AFP/Andrew Yates)
Otak di balik tim tangguh bermodalkan pemain biasa itu adalah Steve Walsh, sang asisten manajer. Dia tidak memulai dari nama besar yang diinginkan, tetapi apa yang paling dibutuhkan tim. Dia menentukan posisi dan style seperti apa yang dibutuhkan, mencari pemain yang masuk dalam bujet belanja, lantas – ini yang paling penting – mempelajari secara cermat dan lama statistik sang pemain.  

Sambil melakukan approach, Walsh mempelajari kemampuan pemain dari video analisis yang disediakan oleh Wyscout – penyedia ribuan cuplikan pertandingan dari seluruh dunia. Dan, mempelajari serta kemudian membuat prediksi berdasarkan simulasi menggunakan software khusus bagaimana sang pemain akan memberi impact kepada tim jika benar-benar berada di dalam tim.

Rata-rata 1 pemain yang akan dikontrak butuh waktu antara 1 sampai 1,5 tahun analisis sebelum benar-benar dibeli. Kesabaran yang berbuah manis. Leicester menjelma menjadi kandidat juara berkat bantuan analisa data statistik. Bukan melulu terbuai oleh nama besar dan mahalnya seorang bintang.  

Boleh jadi Leicester melakukannya bukan karena idealisme melawan arus modal yang mendominasi. Melainkan sikap realistis minimnya dana sehingga dipaksa keluar dari batas-batasnya untuk menemukan solusi cerdas.

Bahwa kemudian taktik dan strateginya membangkitkan kembali paradigma yang sudah dianggap usang di tengah dominasi money power, itu bonus yang tak ternilai harganya.

Paling tidak Leicester berhasil menginspirasi banyak pihak untuk meninjau ulang karakter rakus belanja, dan mulai melihat kembali opsi belanja yang efektif dan efisien tanpa kehilangan kapabilitas bersaing dan bertumbuh di tengah kepungan raksasa bermodal tak terbatas…

Seinspiratif Simbah yang membuat sepeda-sepeda tua lain mulai berani turun gunung meramaikan tur-tur kecil kelompok kami. Tidak lagi minder melihat sepeda-sepeda canggih, namun tertantang mengeluarkan kemampuan terbaiknya dengan sepeda yang ada…

Kalau yang ada masih bagus, kenapa harus ganti? Kalau yang ada masih bisa dimaksimalkan, kenapa harus cari yang baru? Kalaupun harus beli, kenapa harus yang mahal? Kenapa tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan kita?
Membeli sepeda dan pemain, menurut saya, sama saja prinsipnya…Â