Sukses

[KOLOM] Melihat 'Ahok' di Emirates Stadium

Sembilan belas setengah tahun membesut The Gunners, Wenger setia pada prinsipnya yang tidak umum.

Liputan6.com, Jakarta - “Melawan arus jelas bukan perkara mudah. Selain harus tetap bisa fokus pada tujuan akhir, kita dipaksa menguras tenaga menyibak arus penghambat perjalanan. Arsene Wenger mulai tampak terengah-engah membawa nama besar dan pasukannya melawan opini publik.”

Anomali.

Kata itu yang dipakai seorang penulis, sayang saya lupa namanya dan di mana membacanya, untuk mendiskripsikan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Politikus langka yang nyaris di keseluruhan sisinya membawa ketidaklaziman yang sangat memukau.

Jauh sebelum namanya terkenal, saya sudah jatuh cinta pada sosoknya yang langka. Entah jujur atau barangkali juga tidak lepas dari pencitraan, suami Veronica Tan ini digambarkan sebagai politikus bersahaja nan kontroversial yang mengutamakan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Paling tidak, sampai saat ini dia terlihat masih konsisten di jalur yang tak biasa itu. Membelot dari Golkar ke Gerindra untuk menjadi wakil Jokowi di Pilkada DKI, lalu dengan enteng memutuskan keluar dari partai yang mengusungnya itu ketika berbeda prinsip dengan kebijakan partai.

Di saat minta restu parpol besar membudaya, Pria kelahiran Manggar, Belitung ini menolak dukungan setengah hati PDI-P. Dengan risiko batal berlaga dan kehilangan kesempatan melanjutkan jabatannya, dia memilih jalur independen yang dimotori oleh Teman Ahok.

Bukan hanya kebijakan Ahok yang sarat kontroversi dan sering melawan main stream. Tindakan, perkataan dan bahkan pemikirannya pun kerap membuat publik, khususnya lawan-lawan politiknya yang merasa terusik atau kalah pamor, mengernyitkan dahi kebingungan.

Muncullah barisan ABA, Asal Bukan Ahok, yang semakin hari semakin membesar.

ABA yang semakin membahana juga bergema di Emirates Stadium, playground Arsenal. Asal Bukan Arsene (Wenger)! Gagal menang secara beruntun dalam 5 partai yang dijalani di semua ajang membuat Mr. Wenger dengan cepat kehilangan popularitas, dukungan, ketenangan bekerja.
Arsenal, kerap jadi kandidat juara yang selalu kehabisan nafas di etape-etape akhir.(AFP/Paul Ellis)
Usai menang 2-1 atas Leicester City – dan ditempatkan sebagai kandidat juara Liga Inggris, tiba-tiba performa melorot: diimbangi Hull di FA Cup, kalah dari El Barca di Liga Champions, dua kali takluk di Liga Inggris dari MU dan Swansea, dan hanya meraih satu poin dalam derby versus Spurs.

Kemenangan 4-0 atas Hull di replay Piala FA tak lantas menyingkirkan tekanan. Wenger, di mata fans dan pengamat, dianggap menunjukkan tanda-tanda collapse di saat-saat akhir seperti beberapa musim belakangan. Kandidat juara yang selalu kehabisan nafas di etape-etape akhir.

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Di sinilah saya menemukan anomalitas ala Ahok dalam diri Wenger. “Arsenal dibangun dengan value tertentu, jauh sebelum saya datang,” katanya. “Ketika klub meraih hasil buruk, seharusnya kita kembali melihat dan berpegang pada nilai-nilai dasar itu bersama-sama untuk bangkit. Bukan malah menyerah dan terpecah-belah ketika menjalani pertandingan dan hasil yang buruk.”



“Jangan pernah bermimpi menjadi unik, istimewa, luar biasa jika kita hanya pandai berenang mengikuti arus menuju tujuan. Seseorang menjadi tidak biasa karena mampu mengambil pilihan berbeda tanpa takut kehilangan kesamaan dengan kebanyakan orang.”


Sembilan belas setengah tahun membesut The Gunners, Wenger setia pada prinsipnya yang tidak umum dalam arus utama industri sepak bola. Mengembalikan jati diri pemain buangan seperti Henry dan Vieira yang dibuang klub sebelumnya, mengorbitkan pemain muda seperti Fabregas dan Ashley Cole, mengubah permainan ala Inggris yang monoton menjadi atraktif dengan umpan-umpan pendek dalam konfigurasi taktik menyerang dibalut visi permainan yang inovatif.

Dengan filosofi itu – plus data dan teknologi yang membuatnya dijuluki profesor dan dipakai banyak brand di banyak turnamen sebagai talent scout pun technical advisor, Arsenal pernah tak terkalahkan selama semusim , menyabet 3 gelar Liga, 6 FA Cup, plus selalu lolos ke Liga Champions!
Arsene Wenger mengubah permainan ala Inggris yang monoton menjadi atraktif dengan umpan-umpan pendek dalam konfigurasi taktik menyerang dibalut visi permainan yang inovatif.(Reuters/John Sibley)
Tapi, benar, dengan prinsip yang sama Wenger membuat fans menunggu sembilan musim sebelum meraih Piala FA 2014. Betul timnya kerap dianggap tak punya mental juara dan sekadar ingin main indah dan atraktif tanpa naluri membunuh. Tidak salah, gara-gara pria Perancis inilah harga tiket pertandingan klub asal London itu menjadi salah satu yang termahal di seluruh Inggris.

“Kita hidup di era yang menganggap penting efek samping sebuah peristiwa. Ketika Anda terbiasa dengan hal itu, maka Anda menjadi kebal dan kehilangan kemampuan memaknai yang penting dalam hidup. Tugas saya adalah memilah mana yang penting dan mana yang tidak,” kata Wenger.     

Anomali.

Di saat banyak pelatih dan manajer sering menyerah pada tekanan publik, Wenger selalu bisa keluar dari krisis hebat. Menolak sibuk mengurusi pendapat dan tekanan pihak lain, tetapi setia menjalani nilai-nilai yang dipercayainya adalah hal penting dalam keseluruhan karir dan hidupnya.

Wenger, juga Ahok, menjadi magnet karena keunikannya. Mereka berdua akan menjadi biasa saja dan kehilangan tempat jika menjadi sama dengan rekan sejawatnya. Konsistensi mereka menjalani otentitas pilihan-pilihan strategisnya itulah yang jadi kunci untuk tetap menjadi anomali.

Tak selamanya mereka baik, benar, lurus. Tugas kita, masyarakat pun suporter, menemani dan mengawal kembali ke track sesuai dengan apa yang diperjuangkan dan disepakati.

Yang pasti, bukan dengan mencemooh apalagi meninggalkan dan menggalang dukungan untuk melengserkan mereka seperti pilihan kebanyakan orang...

Beranikah kita menjadi anomali..?

@angrydebritto|Verdant Ville, 12/03/2016|di tengah malam buta

Video Terkini