Sukses

Kolom: Brasil, Burung Kenari yang Sakit

Simak ulasan Asep Ginanjar soal kegagalan Brasil lolos ke perempat final Copa America.

Liputan6.com, Jakarta - Lemas tak berdaya. Begitulah para penggawa Brasil usai laga kontra Peru yang berakhir pahit, 13 Juni silam. Mereka kalah oleh gol tunggal yang dicetak Raul Ruidiaz dengan tangannya. Gara-gara gol itu, Canarinho ‘si Kenari Kecil’ pun harus mengepak koper, pulang lebih awal dari perhelatan Copa America Centenario di Amerika Serikat.

Baca Juga

  • Suporter Bikin Onar Lagi di Laga Rusia Vs Slovakia
  • Mengenal Galang, Calon Murid Valentino Rossi Asal Indonesia
  • Cristiano Ronaldo Bermental Tempe?

Tersingkir di putaran pertama Copa America adalah aib bagi Brasil. Terakhir kali itu dialami pada 1987. Setelah itu, dalam 11 gelaran Copa America, Canarinho selalu mampu lolos ke babak berikutnya. Bahkan, tujuh kali menembus final dan lima kali di antaranya menjadi campeao atau juara.

Sudah barang tentu, kegagalan itu merupakan pertanda ada yang salah di timnas Brasil. Untuk membedahnya, cukuplah menengok ke dalam tubuh Canarinho di perhelatan Copa America kali ini.

Tengoklah skuat yang dibawa pelatih Carlos Dunga. Skuat Canarinho bukanlah kumpulan pemain-pemain terbaik. Tak ada Neymar yang memang hanya disiapkan untuk tim olimpiade, tak ada pula Roberto Firmino dan Oscar. Lalu, sebagian lain macam Luiz Gustavo dan Douglas Costa absen karena cedera.

Pada akhirnya, Dunga terpaksa membawa pemain-pemain semenjana. Maka tak heran bila Brasil hanya bisa menjebol gawang Haiti. Sementara itu, saat melawan Ekuador dan Peru, gol menjadi hal yang langka. Tak terlalu mengejutkan pula bila mereka akhirnya tersisih lebih awal. Ibaratnya, dengan skuat yang dibawa Dunga, Brasil memang sudah bersiap untuk gagal total.

Peru menyingkirkan Brasil dengan skor 1-0 di penyisihan grup Copa America 2016, Senin (13/6/2016). (Winslow Townson-USA TODAY Sports)

Dunga terpaksa berpaling kepada pemain-pemain semenjana karena memang hanya itulah yang tersedia. Brasil sekarang bukanlah Brasil yang penuh bintang seperti beberapa tahun silam. Jika dulu ada Cafu, Roberto Carlos, Ronaldinho, Kaka, Rivaldo, dan Ronaldo, kini Canarinho hanya punya Neymar.

Saat ini, hanya Neymar yang langsung terlintas di kepala ketika ada yang bertanya tentang sosok bintang asal Brasil. Neymar sendirian, persis Cristiano Ronaldo di Portugal. Beda halnya jika pertanyaan itu soal bintang asal Argentina. Segera saja nama Lionel Messi, Gonzalo Higuain, Sergio Aguero, dan Angel Di Maria berkelebatan. Bahkan, sangat mungkin nama Paulo Dybala pun ikut terlintas.

Kekurangan Bintang

Jairzinho, bintang Brasil era 1970-an sudah merasakan hal tersebut jelang Piala Dunia 2014. "Saya bisa katakan, sekarang ini sepak bola Brasil kekurangan bintang," ujar dia. "Pada 1970, praktis kami memiliki 11 bintang di lapangan. Kamilah satu-satunya tim di dunia yang bermain dengan lima no. 10 secara bersamaan."

Kondisi ini, apalagi setelah dihajar 1-7 oleh Jerman di semifinal Piala Dunia 2014, membuat Brasil tak lagi ditakuti tim-tim lain. Jika dulu lawan sudah dihantui kekalahan bahkan sebelum wasit meniup peluit kick off, kini mereka tak lagi minder. Mereka yakin bisa menaklukkan Canarinho.

Secara spesifik, Roberto Rivellino, rekan seangkatan Jairzinho, mengeluhkan ketiadaan striker istimewa. "Demi Tuhan... Kenapa Brasil tak mampu menghasilkan pencetak gol ulung?" keluh dia. Faktanya, sejak Grafite 2008-09, tak ada lagi striker Brasil yang menjadi pencetak gol terbanyak di Premier League, Divisi Primera, Serie-A, dan Bundesliga 1.

Pemain Brasil, Willian, berebut bola dengan pemain Peru, Yoshimar Yotun, pada laga Grup B Copa America Centenario. Kekalahan ini membuat Brasil berada pada posisi ketiga klasemen Grup B. (AFP/Hector Retamal)

Sementara itu, Rivaldo, salah satu bintang Brasil di Piala Dunia 2002, mengeluhkan ketiadaan playmaker mumpuni. Dia mengaku terganggu melihat pemilik kostum no. 10, Lucas Lima, hanya menjadi cadangan. Itu bukan sebuah kebiasaan di Canarinho.

Mano Menezes, pelatih yang sempat menangani Brasil pada 2010 hingga 2012, menuntut revitalisasi akademi sepak bola. Dia mengakui adanya penurunan kualitas pemain di Brasil. "Teknik para pemain kami saat ini lebih buruk. Kontrol bola mereka buruk, demikian pula umpan-umpan mereka. Lalu, orang-orang kerap menganggap kemampuan juggling sama dengan kemampuan sepak bola. Padahal, itu dua hal berbeda," urai pelatih yang mengemuka saat menangani Corinthians tersebut.

Menezes mengakui, Brasil tidak kekurangan bakat alam. Hal yang menjadi masalah adalah ketidakmampuan mengembangkan bakat-bakat itu dengan baik. Dia mengimbau Brasil berpaling ke negara-negara Eropa yang sudah jauh lebih berkembang dalam penanganan sepak bola.

Secara tak langsung, Menezes menilai Brasil masih terlena oleh berkat Tuhan yang selalu menurunkan para pemain hebat di tanah mereka. Dari Artur Friedenreich, Leonidas, Garrincha, Pele, Vava, Socrates, Zico, Romario, hingga Ronaldo, Rivaldo, Ronaldinho, Kaka, dan Neymar, bintang hebat selalu lahir disana.

Sepertinya Brasil masih terjebak pada pemikiran bahwa pemain hebat lahir dengan sendirinya. Padahal, hujan saja pasti ada redanya. Pemain-pemain spesial tidak lahir setiap tahun. Brasil harus mulai berpikir untuk mencetak bintang, bukan hanya menunggu kelahirannya. Kegagalan sejumlah wonderkid macam Keirisson, Kerlon, hingga Alexandre Pato mengemuka di Eropa seharusnya membangunkan mereka.

Pelatih Brasil, Dunga menyaksikan anak asuhnya berlaga melawan Ekuador pada partai pembuka Copa Amerika 2016 di Stadion Rose Bowl, Pasadena, California, Amerika Serikat, (5/6/2016) WIB. (AFP/Robyn Beck)

2 dari 2 halaman

Gonta-ganti Pelatih

Masalah lain yang bisa dilihat dari skuat di Copa America adalah sosok Dunga. Enam tahun lalu, Dunga digantikan Menezes karena dianggap gagal di Piala Dunia 2010. Setelah itu, dia juga mengalami kegagalan saat semusim menangani Internacional pada 2012-13. Anehnya, saat Scolari diturunkan usai Piala Dunia 2014, Confederacao Brasileira de Futebol (CBF) kembali berpaling kepadanya.

Kembali berpaling kepada eks pelatih adalah pertanda Brasil kekurangan juru racik taktik nan mumpuni. Dunga bukan satu-satunya. Sejak milenium baru, ada dua sosok lain yang juga sempat kembali ke Canarinho. Mereka adalah Carlos Alberto Parreira pada 2002-2006 dan Scolari (2012-2014). Sebelumnya, Parreira menangani Brasil pada 1991-1994. Adapun Scolari pada 2001-2002.

Anehnya, di tengah keterbatasan pelatih bagus, CBF selalu menjadikan pelatih sebagai kambing hitam. Setiap kali hasil buruk dialami, pelatih timnas langsung dilengserkan.

Itu pula yang menimpa Dunga usai kepastian Canarinho tersingkir di fase grup Copa America Centenario. Posisinya digantikan Adenor Leonardo Bacchi "Tite", pelatih Corinthians. Dalam satu dekade terakhir, itu adalah pergantian kelima.

Menurut Menezes, ini adalah penyakit lain sepak bola Brasil. Bukan hanya timnas, klub-klub pun begitu doyan gonta-ganti pelatih. Sebuah riset yang dilakukan El Economista pada 2014 mengungkapkan, rata-rata pelatih klub-klub Brasil hanya menjalani 15 laga. Dari sepuluh liga yang dijadikan sampel, Brasil berada di posisi terbawah. Tren ini pun rupanya masih berlangsung hingga saat ini.

Kecenderungan buru-buru mengganti pelatih ini tentu saja berdampak buruk. Tak terkecuali dalam upaya pengembangan pemain. Bagaimanapun, setiap pelatih memiliki pemikiran berbeda. Termasuk ide dalam penanganan para pemain muda.Pergantian metode yang terlalu sering tentu saja bisa berdampak negatif terhadap proses pengembangan pemain.

Mano Menezes (SIA KAMBOU / AFP)

Budaya terburu-buru inilah yang harus dienyahkan. Brasil harus mendengar bagian dari kata-kata terakhir Dunga sebagai pelatih Canarinho. “Jerman saja perlu 14 tahun untuk merevitalisasi diri. Tapi, Brasil menginginkannya dalam waktu yang cepat,” kata dia.

Brasil memang tak perlu meniru Jerman. Tapi, perbaikan yang menyangkut kultur tak bisa dilakukan seperti membalik telapak tangan. Perlu proses yang memakan waktu. Tite, sang pelatih anyar Canarinho, memang diakui sebagai cahaya yang menjanjikan. Namun, tanpa kesabaran, cahaya terang itu pun akan cepat redup dan mati.

*Penulis adalah jurnalis, pengamat sepak bola dan komentator. Tanggapi kolom ini @seppginz.