Sukses

Kisah Salam Black Power yang Gemparkan Olimpiade 1968

Sosok atlet kulit putih ternyata punya andil besar dalam aksi protes tersebut.

Liputan6.com, Jakarta Dua atlet atletik Amerika Serikat (AS) keturunan Afrika (Afro-Amerika), Tommie Smith dan John Carlos Meg, membuat gempar Olimpiade 1968 yang berlangsung di Meksiko. Mereka rela kehilangan medali yang diraih demi menyampaikan protes ketidakadilan yang dialami warga AS berkulit hitam.

Di Negeri Sombrero, Smith berhasil merebut emas dari cabang olahraga lari 200 meter. Sedangkan rekannya, Carlos Meg, menggondol perunggu. Namun Komite Olimpiade Meksiko belakangan mencabut gelar mereka karena keduanya dianggap telah berlaku rasial saat acara pengalungan medali.

Pemicunya tidak lain adalah gerakan tangan Smith dan Carlos di atas podium usai pengalungan medali. Keduanya mengangkat satu tangan ke udara sembari mengepalkan tinju. Smith dengan tangan kanan dan Carlos tangan kiri. Masing-masing terbungkus sarung tangan. Wajah kedua atlet keturunan Afrika tersebut tampak tertunduk seperti menyimpan rasa takut akan perbuatannya.

Gerakan kedua pemain ini diidentifikasi sebagai bentuk salam Black Power, gerakan perlawanan terhadap politik Amerika Serikat yang membedakan perlakuan bagi warga berkulit hitam dan putih. Belakangan diketahui bahwa Smith mengangkat tangan kanannya sebagai simbol bagi kekuatan orang-orang Afro-Amerika, sedangkan tangan kiri Carlos sebagai bentuk dari persatuan ras tersebut.

"Jika menang, saya dianggap orang Amerika seutuhnya, bukan orang Afro-Amerika. Tapi kalau saya melakukan sesuatu yang buruk, maka mereka menyebut kami seorang negro," kata Smith kala itu. 

"Kami memang berkulit hitam dan kami bangga menjadi seperti itu," ucap Smith.

2 dari 2 halaman

Peran Peter Norman

Komite Olimpiade Internasional menganggap aksi ini mencederai semangat Olimpiade. KOI kemudian memulangkan kedua atlet tersebut ke negaranya. Meski demikian, tidak sedikit yang justru mendukung aksi tersebut. Bahkan, atlet kulit putih yang merebut perak saat itu, Peter Norman, belakangan justru jadi sosok penting yang mendorong Smith dan Carlos melancarkan asksi mereka.

Seperti dilansir BBC belum lama ini, usai lomba, Smith dan Carlos menemui Norman dan memberitahukan rencana mereka. Norman yang berangkat dari Bala Keselamatan tanpa pikir panjang langsung mendukungnya. Pelari asal Australia itu bahkan bersedia mengenakan lencana Olympic Project for Human Rights (OPHR) saat pengalungan medali. Norman juga yang menyarankan agar Smith dan Carlos mengenakan sarung tangan saat mengepalkan tinju ke udara.  

Di AS, tidak sedikit yang mencibir Smith dan Carlos. Namun banyak juga yang menganggap keduanya sebagai pahlawan. Sebab, gerakan mereka di Olimpiade telah menginspirasi banyak pihak. 

Teman dekat Smith yang bekerja sebagai dosen di Universitas San Jose State, Harry Edwards, mengungkapkan alasan Smith dan John Carlos nekat memperagakan salam Black Power di podium kemenangan. Menurutnya, mereka tidak mau orang kulit hitam dikerdilkan di kawasan Amerika.

Edwards menyebut Smith dan John Carlos menuntut Hak Asasi Manusia di Olimpiade 1968, bukan medali yang mereka incar. "Orang Afro-Amerika menolak dimanfaatkan sebagai 'binatang pertunjukan' dalam arena," kata pria yang memiliki gelar profesor tersebut.

Olimpiade tak hanya menghasilkan rekor-rekor pencapaian manusia dalam menembus batas-batas kemampuannya. Sejarah multievent empat tahunan tersebut juga penuh intrik bernuansa politis. Podium penyerahan medali beberapa kali bahkan berubah fungsi menjadi mimbar untuk menyampaikan pesan-pesan yang justru menyimpang jauh dari urusan pertandingan.

Video Terkini