Sukses

KOLOM: ManCity, Pilihan Gila Leroy Sane

Simak ulasan Asep Ginanjar soal Leroy Sane yang hijrah ke Manchester City saat masih berusia muda.

Liputan6.com, Jakarta - Cobalah merenungi hidup yang kita jalani ini barang sebentar. Bila dicermati, hidup ternyata melulu soal menentukan pilihan dan membuat keputusan. Disadari atau tidak, bahkan sejak bangun hingga tidur kembali, kita menentukan sekian banyak pilihan dan membuat sekian banyak putusan. Sebagai makhluk yang berkehendak, kita melakukan itu, dari yang remeh-temeh hingga yang rumit dan sangat penting.

Menariknya, pilihan atau putusan yang diambil kadang mengundang komentar dari orang lain. Bahkan, dalam hal-hal tertentu, bisa jadi menimbulkan polemik, mengundang perdebatan, memicu pro dan kontra. Apalagi di masyarakat yang sangat sensitif sehingga isu apa pun bisa menjadi sumber konflik.

Di kancah sepak bola, pada masa transfer saat ini pun tak sedikit putusan dan pilihan yang menimbulkan perdebatan. Pilihan Hulk dan Graziano Pelle bergabung dengan klub-klub Tiongkok dan mendapat gaji tinggi, putusan Gonzalo Higuain merapat ke Juventus, dan banderol sangat mahal Paul Pogba yang bakal memecahkan rekor pemain termahal bila jadi diangkut Manchester United adalah beberapa contohnya.

Perdebatan hangat juga muncul ketika Leroy Sane, winger muda FC Schalke04, memilih hijrah ke Manchester City dengan nilai transfer 50 juta euro. Itu pilihan insane atau ‘gila’ karena menjadikan dia sejajar dengan Mesut Oezil sebagai pemain Jerman termahal.

Gelandang Schalke 04 asal Jerman, Leroy Sane. (AFP/Patrik Stollarz)

Bagi sebagian orang, salah satunya Dietmar Hamann, langkah Sane sangatlah tepat. Selain akan makin tertempa oleh persaingan yang sangat ketat di Premier League, Sane juga akan kian terasah karena ditangani pelatih genius, Pep Guardiola. Hamann bahkan sangat yakin Sane akan menenggelamkan Raheem Sterling, bintang muda Inggris yang dinilainya stagnan.

Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, merapat ke Man. City dan Premier League bukanlah pilihan yang baik bagi Sane. Pasalnya, dia masih terlalu muda. Sangat mungkin dia seperti Samed Yesil yang layu sebelum berkembang atau Emre Can yang kesulitan mengemuka. Lothar Matthaeus terang-terangan menuding Sane lebih mengutamakan uang ketimbang kariernya.

“Sane akan mendapatkan gaji beberapa kali lipat dari yang didapatkannya di Schalke. Itulah yang menjadi dasar pilihannya. Saya tak bisa menemukan alasan lain,” ulas Matthaeus dalam kolomnya di SportBild.“Akan lebih baik baginya untuk setidaknya bertahan satu musim lagi. Dia akan kesulitan di City.”

Lebih lanjut, kapten Jerman saat juara Piala Dunia 1990 itu mengatakan, Guardiola bukan jaminan bagi Sane untuk lebih berkembang. Menurut dia, manajer asal Katalonia itu akan lebih sibuk menanamkan falsafah sepak bolanya. “Dia tak akan punya banyak waktu luang untuk memberi perhatian lebih bagi Sane bila ada hal yang tak sesuai rencana,” ujar dia.

Premier League pun memang bukan kompetisi yang mudah untuk pemain-pemain Jerman. Saat ini mungkin hanya Oezil yang bisa dikatakan sukses menjadi bintang. Itupun karena dia datang dengan label bintang Jerman dan Madrid. Sisanya kebanyakan rontok. Sebut saja Marko Marin, Lewis Holtby, dan Andre Schuerrle. Nah, seperti ketiga nama itu, Sane tak punya modal seapik Oezil.Dia hanyalah seorang rising star.

Gelandang serang Schalke 04 asal Jerman, Leroy Sane. (Mehdi Fedouach)

Bukan Ilmu Pasti

Meski demikian, terlalu dini memvonis Sane bakal gagal. Walaupun jejak pemain-pemain Jerman di Premier League tak cemerlang, dia masih bisa menjadi anomali.Perlu diingat, tidak ada yang tidak mungkin bagi seseorang yang memiliki tekad kuat, keberanian luar biasa, dan selalu bekerja keras.

Lagi pula, setiap putusan atau pilihan selalu mengandung dua kemungkinan, yakni benar atau keliru. Pilihan dan putusan yang dibuat dengan pertimbangan sangat matang dan logis pun bisa saja keliru. Bahkan sebuah perjodohan yang dinilai sangat cocok pun bisa berantakan.

Tengok saja Julian Draxler yang kini mengeluh tak betah di VfL Wolfsburg. Baru menjalani satu dari lima musim masa kontraknya, dia sudah merengek-rengek meminta hengkang kepada pelatih Dieter Hecking. Padahal, setahun lalu, dia begitu antusias walaupun banyak orang mengernyitkan dahi atas pilihannya berkostum Die Wolfe.

Kala itu, Draxler sangat yakin atas pilihannya hengkang dari Schalke dan bergabung dengan Wolfsburg. Pertama, dia menilai Schalke tak menjanjikan perkembangan yang bagus bagi kariernya. “Schalke tengah stagnan saat ini,”dalihnya.

Julian Draxler (AFP/Ronny Hartmann)

Kedua, bagi Draxler, Wolfsburg adalah pilihan aman. Klub itu tengah menanjak dan berada di kompetisi yang sangat dikenalnya. Pertimbangan ini pula yang membuat dia menolak Juventus. Bagi Draxler, karena dirinya asing dengan lingkungan Serie-A, I Bianconeri adalah opsi yang berbahaya karena berpotensi mendatangkan gegar budaya.

Draxler tidak sendirian. Mario Goetze pun begitu. Saat hijrah dari Borussia Dortmund ke Bayern pada 2013, dia yakin kariernya akan melesat. Banyak orang juga berpendapat sama. Buktinya, begitu banyak pihak yang misuh-misuh karena menilai Bayern akan makin kuat sementara Dortmund justru melemah.

Kenyataannya, tiga musim berlalu, pandangan Goetze soal pilihannya berubah 180 derajat. Pada 2013, dia memandang kepindahannya ke Bayern sebagai langkah positif. Namun, saat kembali ke Dortmund pada Juli lalu, dia mengakui itu sebagai putusan yang seharusnya tak pernah diambil.

2 dari 2 halaman

Tergantung Hasil Akhir

Pilihan yang tepat dan putusan yang benar memang selalu diharapkan siapa pun. Hanya pilihan dan putusan seperti itu yang mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan. Makanya begitu banyak pakar yang mengurai teknik dan tip membuat putusan yang tepat.

Toh,tetap saja tak akan ada orang yang selalu membuat putusan benar dan pilihan tepat. Sebagai manusia, makhluk yang tidak sempurna dan tak bisa meraba masa depan, pasti akan ada putusan dan pilihan yang keliru. Meski begitu,tak perlu lantas ragu untuk membuat putusan dan menentukan pilihan hanya karena takut keliru.

Sesungguhnya ketepatan sebuah pilihan dan kebenaran sebuah putusan hanya bisa dinilai berdasarkan hasil yang diperoleh atau dampak yang ditimbulkan. Sudah barang tentu, hasil tersebut sangat ditentukan oleh usaha yang dilakukan. Maka dari itu, sangat penting untuk memegang teguh komitmen, bersungguh-sungguh, dan bekerja keras dalam menjalankan pilihan atau putusan apa pun sehingga hasilnya sesuai atau bahkan melewati ekspektasi.

Dalam hal yang satu ini, Sane punya modal penting. Sejak awal, dia hanya fokus pada sepak bola. “Saat berumur 16 atau 17 tahun, saya tidak pergi ke pesta. Saya hanya punya satu hobi, yaitu bola,” ungkap Sane kepada Sueddeutsche Zeitung.

Seragam anyar Manchester City untuk musim 2016-17. (Manchester City).

Lebih jauh, anak Souleymane Sane yang juga eks pesepak bola itu menambahkan, “Bagi saya, segalanya selalu tentang sepak bola. Saya selalu menantikan sesi latihan dan pertandingan. Tak ada lagi yang lain bagi saya dan saya pun tak menginginkan hal lain.”

Fokus ini sangat penting bagi Sane. Sejak sesi latihan pertama, dia wajib menunjukkannya. Bukan apa-apa, karena harganya yang mahal, Sane tak akan punya cukup banyak waktu untuk membuktikan bahwa pilihannya tidaklah keliru. Dia akan dinilai dari hasil musim pertamanya di Man. City. Bahkan, bisa jadi beberapa pihak hanya perlu melihat beberapa laga untuk menjatuhkan vonis kepadanya.

Apakah Sane bakal bernasib seperti pemain Jerman lainnya?

*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Komentari kolom ini @seppginz.