Liputan6.com, Jakarta - Setiap kisah pasti memiliki ending. Bagi Paul Pogba, kisah episode transfernya kembali ke Manchester United berakhir manis. Sempat terkatung-katung karena tarik ulur soal pihak yang harus membayar fee kepada sang agen, Mino Raiola, dia akhirnya resmi meninggalkan Juventus dengan tebusan 105 juta euro. Itu menjadikannya pemain termahal dunia, melewati Gareth Bale yang diangkut Real Madrid dari Tottenham Hotspur pada 2013 dengan dana transfer 101 juta euro.
Baca Juga
- Ibra Dikhawatirkan Jadi Sumber Masalah di MU
- Kisah Michael Phelps Rebut Emas dengan Topi Renang Pinjaman
- Komentar Rio Haryanto Usai Didepak Manor
Pada hari yang sama, John Stones juga menorehkan cerita yang nyaris sama. Oleh Manchester City, dia dijadikan defender termahal dengan tebusan 55,6 juta euro kepada Everton. Berdasarkan data Transfermarkt.de, Stones melewati David Luiz yang dibeli dari Chelsea oleh Paris Saint-Germain dengan dana 49,5 juta euro pada 2014.
Nilai transfer yang menjadi rekor baru itu kontan memunculkan tanya. Pogba memang highly rated footballer. Bakat dan kemampuannya diakui mumpuni. Kontribusinya terhadap kesuksesan Juventus dalam empat musim dari 2012-13 hingga 2015-16 pun tak terbantahkan. Namun, dia bukanlah Lionel Messi yang luar biasa, pemain terbaik dunia.
Stones lebih mengundang tanya. Pasalnya, Mats Hummels yang diangkut Bayern Muenchen dari Borussia Dortmund hanya berharga 35 juta euro. Padahal, dari segi kemampuan dan prestasi, Hummels jauh di atas Stones. Hummels adalah juara dunia bersama Jerman, sedangkan Stones hanyalah pemain cadangan di timnas Inggris.
Advertisement
Bila hanya didasarkan pada kemampuan dan prestasi, harga Pogba dan Stones, juga beberapa pemain lainnya, bisa dikatakan kelewat mahal. Namun, harga seorang pemain tak hanya ditentukan oleh dua komponen itu semata. Ada beberapa faktor lain. Sebut saja umur, gengsi yang di antaranya meliputi asal klub dan liga, serta nilai ekonomi sang pemain.
Jangan lupakan faktor klausul kontrak. Dalam beberapa kasus, harga pemain menjadi lebih tinggi karena adanya release clause. Jupp Heynckes saat mengangkut Javi Martinez dari Athletic Bilbao pada 2012-13 menghadapi hal itu.
“Sebenarnya dia hanya bernilai 25 juta euro. Tapi, karena di kontraknya tertera angka 40 juta euro untuk pelepasannya, jadilah kami mengeluarkan uang sebanyak itu,” kata dia.
Seperti halnya Pogba dan Stones, Martinez juga dinilai overpriced 'terlalu mahal'. Namun, penilaian itu pada akhirnya terkikis seiring kontribusinya bagi Bayern.
Hal serupa berlaku pada Bale. Banyak orang yang menilainya tak layak dihargai 101 juta euro. Namun, begitu dia mencetak banyak gol dan mengantar Madrid merebut trofi Liga Champions, suara miring menghilang.
Faktor Ibra
Terlepas dari hal itu, harga mahal tetaplah tekanan tersendiri. Bagaimanapun, para fans tentu berharap sang pemain tampil sangat oke, berkontribusi besar, dan sanggup mendatangkan prestasi.
Harapan itu pula yang pasti mengiringi Pogba dan Stones. Sudah barang tentu, harapan yang tertumpah ke pundak Pogba jauh lebih besar. Apalagi Man. United tak lagi mampu menjuarai Premier League sejak kepergian Sir Alex Ferguson dari kursi manajer. Sudah begitu, sebagai gelandang tengah, Pogba memiliki peran yang lebih sentral dibanding Stones yang pemain belakang.
Meski demikian, peluang Pogba untuk berprestasi apik pada musim ini terbilang lebih besar dibanding Stones. Itu karena manajer Jose Mourinho di Man. United terlihat sangat fokus membangun tim juara. Tak hanya mendatangkan pemain-pemain yang bisa menunjang gaya main yang dikehendakinya, dia juga mendatangkan sosok leader dalam diri Zlatan Ibrahimovic.
Faktor Ibra bisa jadi penentu dalam persaingan juara di Premier League pada musim ini. Dia adalah seorang pemimpin sekaligus pemenang, baik dalam pertandingan maupun latihan. Figur seperti ini dibutuhkan oleh Red Devils yang tengah berada dalam transisi sekaligus menghadapi tuntutan untuk kembali berprestasi.
Lebih dari itu, sebagai pemain yang pernah bekerja dengan Mourinho semasa di Internazionale, Ibra adalah katalisator dalam menanamkan gaya main dan karakter tim yang diinginkan sang manajer. Dalam wawancara dengan The Guardian pada Juli lalu, Mourinho sempat mengungkapkan salah satu fungsi yang akan dijalankan Ibra.
“Saya sangat menekankan komunikasi dan mendorong para pemain untuk berkomunikasi. Saya memberikan banyak instruksi dalam latihan. Saat pertandingan, sulit bagi saya untuk melakukan hal itu. Oleh karenanya, saya butuh orang di lapangan yang bisa membaca permainan, memahami apa yang kami inginkan. Zlatan akan menjadi salah satunya,” kata Mourinho.
Faktor lain dari Ibra tentu saja tuah musim pertamanya. Sejak di Ajax hingga PSG, dia selalu membawa timnya juara liga pada musim pertamanya. Tak terkecuali saat berstatus pinjaman di AC Milan pada 2010-11. Faktor ini bisa menjadi booster kepercayaan diri para penggawa Man. United lainnya untuk juara pada musim ini.
Advertisement
Ancaman Chelsea
Sosok pemimpin seperti Ibra inilah yang tak dimiliki Liverpool dan Arsenal. The Reds memang terbilang aktif di bursa transfer, tapi tak mampu mendatangkan pemain seperti ini. Makanya, tak perlu heran bila Liverpool dan Arsenal tetap sulit untuk bisa bersaing memperebutkan trofi Premier League.
Chelsea dengan John Terry sebagai leader rasanya akan jadi penantang terkuat Man. United. Manajer Antonio Conte dikenal cerdas dalam meramu materi pemain yang ada. Tak perlu jauh-jauh mencari bukti. Lihat saja timnas Italia di Euro 2016 lalu. Dengan materi pemain yang tidak mentereng, dia sanggup membawa Gli Azzurri melaju hingga perempat final. Mereka hanya terhenti oleh ketidakberuntungan, kalah via adu penalti dari Jerman.
Faktor penunjang lainnya, The Blues musim ini hanya fokus ke kompetisi domestik karena tak berkiprah di kompetisi antarklub Eropa. Conte pun mengakui ini sebagai blessing in disguise atau berkah yang tersembunyi.
“Tak bermain di Liga Champions bisa menjadi keuntungan tersendiri karena saya bisa bekerja lebih dengan para pemain,” ungkap dia seperti dikutip Goal.com.
Lalu, bagaimana dengan Man. City yang ditangani Pep Guardiola? Musim ini sepertinya agak sulit bagi The Citizens untuk berharap banyak. Guardiola memang pelatih jempolan dan sangat sukses. Namun, terlalu banyak pekerjaan rumah yang dihadapinya saat ini. Itu akan jadi batu sandungan tersendiri.
Sebagai sosok yang menempatkan falsafah permainan sebagai prioritas, waktu Guardiola akan lebih tersita untuk membuat anak-anak asuhnya menguasai tiki-taka. Dia mungkin butuh lebih banyak waktu karena Man. City tak memiliki dasar permainan yang diusungnya. Ini berbeda dengan saat dia menangani Barcelona dan Bayern Muenchen.
Pekerjaan rumah lain yang tak kalah penting adalah merombak sekaligus meremajakan tim. Dia memang sudah mendapatkan sejumlah penggawa muda. Namun, patut dilihat seberapa cepat mereka beradaptasi dengan tim yang ada dan gaya main Guardiola. Apalagi tak semua pemain baru bisa lekas bergabung. Ilkay Guendogan masih dalam masa pemulihan, sementara Gabriel Jesus sedang berjibaku di Olimpiade Rio de Janeiro bersama timnas Brasil.
Seperti di banyak rumah taruhan, duo Manchester dan Chelsea patut dijagokan di posisi terdepan dalam title race musim ini. Setelah kejutan musim lalu, gelar juara sepertinya akan kembali jadi milik tim langganan. Di antara mereka, saat ini, Man. United merupakan yang paling serius dan siap melakukannya.
*Penulis adalah komentator dan pengamat sepakbola.Tanggapi kolom ini di @seppginz.