Liputan6.com, Jakarta - Ada ujar-ujar bahwa kehidupan itu ibarat roda yang berputar. Suatu ketika, kita akan berada di posisi teratas. Namun, pada kesempatan lain, kita juga akan merasakan berada di bawah. Tidak mungkin kita selamanya berada di atas atau sebaliknya, selamanya di bawah.
Hal yang membedakan adalah kecepatan putaran roda masing-masing. Ada di antara kita yang begitu cepat bergerak dari bawah ke atas, namun demikian lambat dari atas ke bawah. Ada pula yang bergerak sedemikian lambat dari bawah ke atas, tetapi cepat saat bergerak ke bawah. Ada yang berputar sangat lambat, baik ke atas maupun ke bawah, ada juga yang berputar cepat, saat naik maupun turun.
Saat ini, putaran roda telah membawa Derby Manchester ke titik tertinggi. Tiba-tiba saja, pertemuan Manchester United dengan Manchester City begitu menyedot perhatian publik. Jelang laga di Old Trafford, Sabtu (10/9/2016), rasanya tak ada media massa yang luput menyajikan laporan khusus.
Baca Juga
Padahal, dulu hanya sedikit orang yang peduli pada Derby Manchester. Laga ini cuma bermakna besar bagi the Citizens. Adapun bagi Red Devils, itu hanyalah pertandingan biasa. Ryan Giggs, eks bintang Man. United, menunjuk Liverpool, bukan Man. City, sebagai rival utama Red Devils. Bagi banyak fans Man. United pun begitu. Liverpool adalah seteru utama.
Meski rivalitas kedua klub kian menajam sejak Man. City diambil alih konsorsium asal Timur Tengah pada 2008, Derby Manchester tak lantas masuk ke jajaran perseteruan terpanas. Di daftar 10 rivalitas terbesar di sepak bola Inggris versi TalkSport yang dibuat pada 2012, Derby Manchester hanya ada di posisi ke-6.
Posisi Derby Manchester bahkan lebih buruk dalam daftar 20 rivalitas terpanas di Inggris yang dibuat The Telegraph pada awal tahun ini. Perseteruan dua klub Kota Manchester hanya berada di posisi ke-11, kalah dari Derby London Utara, Derby Sheffield, dan Derby Tyne-Wear.
Dalam ulasannya, The Telegraph menyebut Derby Manchester tak ubahnya derby tanpa rasa. Dari sisi sepak bola, mungkin ini adalah rivalitas terpanas di Inggris saat ini. Namun, dari sisi-sisi lain, justru sebaliknya. Salah satu penyebabnya adalah globalisasi yang terjadi di kedua klub.
Akan tetapi, globalisasi itu pula yang kini mendongkrak pamor Derby Manchester. Kedatangan Jose Mourinho sebagai manajer anyar Man. United dan Josep Guardiola selaku juru taktik Man. City menjadi daya tarik tersendiri. Maklum saja, di benak banyak pencinta sepak bola, keduanya memiliki rivalitas tersendiri.
Guardiola dan Mourinho adalah dua kutub yang berlawanan. Bagi pencinta sepak bola indah ̶ mereka yang hanya menghargai gol dan kemenangan lewat proses aduhai, Guardiola adalah sang nabi. Sementara itu, di mata para penyuka sepak bola pragmatis ̶ mereka yang menempatkan gol dan kemenangan di atas segalanya, Mourinho tak ubahnya rasul.
Sama Saja
Sama Saja
Sebenarnya sangat sulit menentukan sosok yang lebih baik di antara Guardiola dan Mourinho. Perdebatan soal itu sering kali berujung pada like and dislike. Jadilah hitam-putih. Guardiola, karena mengusung konsep ideal sepak bola, adalah malaikat. Sebaliknya, Mourinho adalah iblis.
Kalau mau objektif, Guardiola dan Mourinho sebenarnya berada di kotak yang sama. Keduanya sama-sama dua kali menjadi juara Liga Champions. Bedanya, Mourinho merebutnya bersama FC Porto dan Internazionale, sedangkan dua gelar Guardiola direngkuh bersama Barcelona.
Soal juara liga, koleksi keduanya pun hanya terpaut tipis. Mourinho menggenggam delapan trofi, sedangkan Guardiola enam piala. Bedanya, Mourinho juara di empat liga, sementara Guardiola hanya di dua liga. Meski begitu, Guardiola sanggup mencetak hat-trick juara liga, hal yang tak pernah dilakukan Mourinho.
Khusus musim ini. Ada beberapa kesamaan di antara keduanya. Mereka sama-sama berlabuh di klub asal Kota Manchester. Misi mereka pun sama, melakukan revolusi demi mendongkrak gengsi dan menggapai prestasi.
Menariknya, Mourinho melalui agennya, Jorge Mendes, dikabarkan sempat menjajaki kemungkinan menangani The Citizens. Sementara itu, sudah bukan rahasia, Guardiola adalah sosok yang begitu diinginkan Sir Alex Ferguson sebagai penerusnya di Old Trafford.
Keduanya pun langsung menyulut api begitu tiba di klub masing-masing. Di Old Trafford, Mourinho mengusir Bastian Schweinsteiger. Dia tak peduli predikat Schweinsteiger sebagai juara dunia. Dia pun tutup mata dan telinga dari fakta cukup banyak fans yang menyukai sang pemain. Baginya, Schweinsteiger tak ada gunanya sehingga cukuplah bergabung dengan tim reserves.
Di Stadion Etihad, hal serupa dilakukan Guardiola terhadap Joe Hart. Dia menafikan fakta Hart telah sebelas tahun berada di klub itu. Guardiola pun tak peduli status Hart sebagai kiper utama timnas Inggris. Hal terpenting bagi Guardiola, Hart tak memiliki kriteria kiper yang sesuai dengan falsafah sepak bolanya. Hart tak bisa menjadi outfield player ke-11.
Advertisement
Api Ibra
Api Ibra
Guardiola dan Mourinho bukan Carlo Ancelotti yang bisa menerima siapa saja. Bukan hanya siap menemukan solusi untuk pemain-pemain yang berposisi sama, Ancelotti bahkan tak keberatan andai diharuskan memainkan penggawa yang didatangkan atas kehendak presiden klub.
Sisi ini juga akan menjadi daya tarik tersendiri di Old Trafford nanti. Pasalnya, Guardiola akan kembali bertemu dengan pemain yang dulu disingkirkannya, Zlatan Ibrahimovic. Ini bukan kali pertama Ibra menghadapi tim yang diasuh Guardiola. Sebelumnya, tiga kali dia melakoni hal tersebut.
Ketiganya terjadi pada musim 2011-12 ketika Ibra membela panji AC Milan. Secara kebetulan, I Rossoneri ditakdirkan bersua Barcelona di fase grup dan perempat final Liga Champions. Hasilnya tidaklah mengenakkan. Bersama Ibra, Milan mengalami dua kekalahan dan sekali imbang sonder gol.
Akan tetapi, akan ada nuansa berbeda pada pertemuan keempat di Old Trafford nanti. Inilah pertemuan pertama Ibra dengan Guardiola di lapangan hijau setelah peluncuran biografinya yang menghebohkan, I am Zlatan, pada 2013.
Dalam biografi itu, Ibra terang-terangan mengkritik Guardiola. Dia bahkan tak segan menggunakan kata-kata pedas dalam mendeskripsikan eks gelandang timnas Spanyol tersebut. Di antaranya, Ibra menyebut Guardiola pengecut.
Setelah itu, Ibra tak menurunkan tensi. Dalam sebuah wawancara pada awal tahun ini, pria asal Swedia tersebut kembali membuat kuping Guardiola merah. Dia mengakui Guardiola memang bagus sebagai pelatih. Namun, sebagai manusia, Ibra menyebut Guardiola bukan laki-laki.
Suka atau tidak suka, rivalitas Guardiola-Mourinho dan Guardiola-Ibrahimovic adalah bumbu penyedap tersendiri untuk Derby Manchester kali ini. Bumbu yang menaikkan gengsi sekaligus menyita perhatian publik sepak bola.
Soal hasil akhir, tak perlu heran jika The Citizens setidaknya mampu meraup satu poin. Bagaimanapun, Guardiola jarang kalah dari Mourinho. Dalam 16 pertemuan, tiga kali saja dia bertekuk lutut.