Sukses

KOLOM: Menanti Gareth Barry di Kongres PSSI

Gareth Barry memang pemain asal Inggris, lalu apa kaitannya dengan Kongres PSSI? Silahkan simak ulasannya.

Liputan6.com, Jakarta - Gareth Barry. Di kancah sepakbola Inggris, dia tergolong bintang, namun bukan megabintang. Dia bukan pemain dengan kemampuan istimewa. Hampir sepanjang kariernya, Barry, hanyalah bayang-bayang dua gelandang hebat seangkatannya, Steven Gerrard dan Frank Lampard.

Joey Barton, eks penggawa Manchester City, pada 2011 bahkan pernah melontarkan komentar sinis soal Barry. "Barry itu punya agen yang sangat bagus. Dia juga selalu cari aman dan selalu menurut kepada manajer. Dia tipikal anak sekolah yang duduk di bangku terdepan dan khusyuk mendengarkan guru," jelas Barton kepada Sport.

Meski demikian, bukan berarti Gareth Barry tak bisa membuat prestasi spesial. Rabu (12/10), dia menerima sertifikat rekor dari Guinness Book of Records. Barry sah sebagai pemegang rekor baru dalam hal tampil tersering sebagai starter di Premier League. Jangankan Barton, Gerrard dan Lampard saja tak mampu meraih prestasi ini.

Hingga akhir pekan lalu, Barry telah 580 kali turun sebagai starter di kancah Premier League. Dia mematahkan rekor lama yang digenggam eks kiper Liverpool, David James, yang turun sebagai pemain inti dalam 571 pertandingan di Premier League.

Pemain Everton, Gareth Barry tercatat dalam Guinness World Records 2017 (Guinness World Records)

Prestasi itu tak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi Barry juga baru saja masuk kelompok istimewa, kelompok pemain yang tampil 600 kali di Premer League. Sebelumnya, hanya Ryan Giggs (632 penampilan) dan Lampard (609 penampilan) yang ada di sana.

Sangat mungkin salah satu resep Barry memang seperti yang diungkapkan Barton, yakni selalu patuh pada manajer dan memiliki agen yang sangat bagus. Namun, tanpa konsistensi dalam menjaga kualitas permainan dan fisik, rasanya kedua faktor tersebut tak akan terlalu berpengaruh.

Di mata Ronald Koeman, manajer Everton, Barry memang bukan pemain sembarangan. "Dia salah satu pemain terbaik yang pernah saya tangani. Itu karena kecerdasannya dalam sepak bola sungguh luar biasa," puji manajer asal Belanda itu seperti dikutip Daily Mail.

2 dari 3 halaman

Memegang Komitmen

Barry adalah bukti bahwa pemain yang underrated (tak diperhitungkan) pun sesungguhnya bisa membuat sebuah karya agung dan prestasi istimewa. Barry bukan Gerrard, Lampard, atau David Beckham yang sejak kemunculannya diakui sebagai next big thing. Barry adalah petualang yang berjalan dalam senyap, mengendap-endap tanpa langkah berderap. Barry ibarat pelukis yang membuat masterpiece-nya di dalam ruang penuh kesenyapan.

Hal yang menjadi resep utama "keabadian" Barry adalah etos kerja luar biasa. Semua manajer yang pernah menangani Barry tahu persis hal itu. Mereka tak bisa memungkiri kegigihan pemain yang meretas awal kariernya bersama Aston Villa itu. Kegigihan itulah yang membuat dia tak kalah dalam bersaing dengan pemain-pemain yang jauh lebih muda.

Di samping itu, gelandang yang melakukan debut di Premier Legue saat berumur 17 tahun pada 1998 ini juga mampu menjaga komitmen dan semangat. Dia memelihara cintanya kepada sepak bola, jalan hidupnya, dengan baik. Kecintaan itulah yang membuatnya tak ingin cuma berkiprah sekadarnya. Dan segala putusan yang dibuatnya selalu murni didasari pertimbangan sepak bola.

PAUL ELLIS / AFP

Pemain yang pernah 53 kali membela timnas Inggris itu pada 2009 sempat berang tak alang-kepalang saat dituding mata duitan oleh Rafael Benitez, manajer Liverpool kala itu. Gara-garanya, dia lebih memilih pindah ke Manchester City ketimbang menerima tawaran Benitez untuk hijrah ke Anfield.

Putusannya meninggalkan Man. City pada musim 2013-14 karena kesempatan bermain yang kian langka menjadi penegasan akan hal itu. Andai hanya memikirkan uang, rasanya Barry tak perlu pergi. Cukup menerima kenyataan hanya menjadi pemain cadangan. Namun, karena ingin selalu berada di lapangan, dia tak mengambil opsi itu.

"Saya mengambil putusan itu karena ingin selalu bermain," jelas pemain kelahiran 23 Februari 1981 tersebut. "Sepanjang karier, saya selalu ingin bermain secara reguler. Hingga saat ini, keinginan itu tak pernah berubah. Saya tak ingin hanya duduk di bangku cadangan dan menjadi pengganti, bermain sekali dalam sebulan."

3 dari 3 halaman

Jangan Sia-Sia

Sosok seperti Barry yang tak terlalu menonjol namun punya komitmen kuat inilah yang sangat dinantikan saat Kongres Pemilihan PSSI, Senin (17/10) mendatang, dengan agenda utama pemilihan ketua umum baru. Para peserta KLB, terutama para pemilik suara, harus mencermati sosok seperti ini, bukannya keukeuh mendukung calon yang telah diajukan kubu masing-masing.

Walaupun mungkin tak pernah terdengar kiprahnya, andai menunjukkan semangat yang murni dan disertai program yang visible dan feasible, calon macam ini pantaslah diberi amanat untuk lima tahun ke depan.

Sosok seperti inilah yang bisa menumbuhkan harapan baru. Harapan untuk melihat sebuah tatanan sepak bola yang lebih baik. Harapan untuk melihat semua kekacauan yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan terselesaikan. Harapan untuk melihat sebuah organisasi dengan program dan target yang jelas, setidaknya untuk lima tahun, sesuai masa baktinya.

PSSI tak perlu sosok ketua umum yang terlampau visioner sehingga programnya mengawang-awang. PSSI juga tak perlu ketua umum yang berlagak bak pesulap dengan janji membuat timnas Indonesia segera berlaga di Piala Dunia. PSSI saat ini butuh sosok yang secara praktis punya solusi terhadap persoalan-persoalan mendasar yang menjadi sumber konflik dalam beberapa tahun belakangan ini.

Publik sepak bola di negeri ini sudah muak dengan harapan-harapan palsu, kongres-kongres yang cuma jadi jeda dari perseteruan tak berujung, dan pertikaian-pertikaian yang hanya mengorbankan sepak bola itu sendiri. Andai tak memunculkan sosok yang mampu membawa harapan baru, KLB kali ini pun sama percumanya dengan kongres-kongres sebelumnya. Apalagi jika aroma pertikaian justru menguat setelahnya.

Caketum PSSI 2016-2010, Djohar Arifin Husin (kiri) menjawab pertanyaan pada debat terbuka di Hall SCTV Tower, Jakarta, Selasa (4/10). Rencananya, pemilihan Ketua Umum PSSI akan dilaksanakan pada 17 Oktober mendatang. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)Rasanya semua orang yang terlibat dalam KLB nanti, kalau ditanya, pasti menginginkan kondisi persepakbolaan nasional yang lebih baik. Ini adalah common goal yang mesti dikedepankan saat kongres. Bukan hanya dalam pemilihan ketua umum, melainkan juga dalam agenda-agenda lain yang sudah ditetapkan. Bukan saatnya lagi terkotak-kotak dalam kubu ini dan itu. Tak pada tempatnya ngotot-ngototan atas nama kepentingan golongan.

Tanpa kesadaran untuk menjunjung tinggi common goal dan kesadaran membenahi diri, benarlah anggapan bahwa sepak bola kita tak akan ke mana-mana. Bahkan sekadar bermimpi pun tak lagi bisa. Sonder kesadaran itu, wajah sepak bola kita akan tetap bopeng di sana-sini, penuh intrik dan perang kepentingan.

Publik sepak bola patut waswas karena KLB ini diawali dengan sebuah ketegangan mengenai lokasi penyelenggaraan. PSSI berkeras memilih Makassar, sementara Kemenpora merekomendasikan Yogyakarta. Bagi awam, ini mengherankan. Cuma soal lokasi saja tak bisa dikompromikan? Adakah itu tanda awal KLB kali ini pun akan sia-sia belaka? Semoga saja tidak.

*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan jurnalis. Tanggapi kolom ini di @seppginz.