Sukses

KOLOM: Pembinaan Dulu, Baru Regenerasi Timnas

PSSI sebaiknya lebih dahulukan pembinaan pemain muda, bukan regenerasi instan di Timnas.

Liputan6.com, Jakarta Mencetak gol tunggal kemenangan atas musuh bebuyutan dengan Timnas Jerman. Sudah begitu, gol yang dibuat pun tergolong spektakuler. Rasanya, tak ada hal yang lebih indah dari itu. Apalagi jika hal tersebut dilakukan pada laga perpisahan.

Di Signal Iduna Park, Dortmund, Kamis (23/03/2017) dini hari WIB, plot itulah yang didapatkan Lukas Podolski. Menjalani laga pamungkas sebagai penggawa Timnas Jerman, striker Galatasaray itu menjebol gawang Inggris dengan ciri khasnya. Mendapat sodoran bola dari Andre Schuerrle, Poldi melesatkan bola dengan tendangan kaki kirinya ke pojok kiri atas gawang Inggris. Meski terbang, Joe Hart yang mengawal gawang The Three Lions tak kuasa menghalau bola.

"Menang dan saya mencetak gol. Sungguh seperti sebuah film. Gol tadi itu bisa jadi gol terbaik bulanan yang ke-12 bagi saya," ungkap Poldi merujuk pada pemilihan gol terbaik di salah satu stasiun televisi Jerman. Hingga kini, sebelas golnya pernah menjadi gol terbaik. "Tuhan atau siapa pun di atas sana sungguh sudah memberikan kaki kiri yang selalu bisa saya andalkan."

Kisah indah itu sejatinya memang penutup bab Poldi di timnas Jerman. Namun, secara tidak resmi, Itu juga merupakan pembuka bab baru bagi kiprah pelatih Joachim Loew. Poldi adalah penggawa terakhir yang berasal dari era sebelum Loew menangani Die Mannschaft. Seperti Bastian Schweinsteiger, Philipp Lahm, dan Miroslav Klose, Poldi merupakan warisan Rudi Voeller. Sementara itu, Per Mertesacker yang bersama Lahm dan Klose mundur usai Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 adalah warisan terakhir Juergen Klinsmann.

Gelandang Jerman, Lukas Podolski, melakukan selebrasi usai mencetak gol ke gawang Inggris saat pertandingan persahabatan di Stadion Signal Iduna Park, Jerman, Rabu, (22/03/2017). Jerman taklukan Inggris 1-0. (AFP/Ina Fassbender)

Minggu (26/03/2017), saat melawat ke Baku, Azerbaijan, dalam lanjutan Pra-Piala Dunia 2018, seluruh penggawa Jerman melakukan debut pada era Loew. Dari Manuel Friedrich pada 2006 hingga Timo Werner pada Kamis lalu, sebanyak 87 pemain melakukan debut di timnas Jerman. Jumlah yang luar biasa. Rata-rata, setiap tahun, Loew memberikan debut kepada setidaknya delapan pemain di Timnas Jerman.

Loew tentu tak main-main dan asal comot. Pastilah hanya pemain dengan kemampuan apik yang diberi kesempatan membela Die Mannschaft. Para pemain itu pun tentulah tidak muncul begitu saja dari dalam perut bumi atau batu yang terbelah. Mereka lahir dari sistem pembinaan usia dini yang diterapkan sejak jelang pergantian milenium.

Musim semi 1998, Dietrich Weise, eks pelatih timnas junior Jerman, menghadap Egidius Braun, presiden DFB. Weise menyodorkan sebuah skema yang dirasa bisa menjadi panasea bagi sepak bola Jerman yang sepi talenta hebat. Fokusnya adalah menemukan dan menangani dengan baik para pemain berumur 11 hingga 17 tahun. Karena dinilai terlalu mahal, proposal Weise ditolak mentah-mentah oleh Braun. Namun, empat pekan setelah kekalahan Jerman dari Kroasia di perempat final Piala Dunia 1998, Braun berubah pikiran. Konsep Weise diterima dan diimplememtasikan DFB.

Langkah yang lantas diikuti kebijakan yang mengharuskan klub-klub Bundesliga 1 memiliki akademi sepak bola itu menjadi landasan penting bagi Jerman untuk melakukan regenerasi secara alami. Talenta-talenta yang terlahir dari sistem ini kemudian mendorong para pemain senior dari timnas.

Bek Jerman, Mats Hummels, duel udara dengan bek Inggris, Gary Cahill. Kemenangan Tim Panser menghapus kutukan berkepanjangan setelah 29 tahun tak pernah menang atas The Three Lions di tanah sendiri. (AFP/ Patrik Stollarz)

Bahkan, belakangan ini, para pemain senior yang merasa tak perlu ngotot bertahan di timnas belumlah terlalu tua. Podolski pada tahun ini baru berumur 31 tahun, sama dengan Philipp Lahm usai Piala Dunia 2014. Lalu, Schweinsteiger pada tahun lalu baru menginjak umur 32 tahun. Adapun Per Mertesacker pada 2014 malah baru 30 tahun.

2 dari 3 halaman

Kepentingan Sesaat

Dua hari sebelum perpisahan Poldi yang menjadi tonggak baru timnas Jerman itu, timnas Indonesia menyerah kalah 1-3 dari Myanmar. Dalam laga di Pakansari, Bogor, Indonesia menunjukkan obsesi luar biasa untuk melakukan regenerasi. Alih-alih menurunkan para pemain senior, justru para penggawa timnas U-22 yang dihadapkan dengan timnas senior Myanmar.

Kekalahan itu tidaklah mengejutkan. Selain diisi para penggawa muda, itu juga merupakan laga perdana timnas di bawah pelatih anyar, Luis Milla. Sang pelatih pun baru sebulan mengemban tugas menangani timnas senior dan timnas U-22. Sangat berlebihan untuk berharap banyak, menuntut kemenangan dan permainan oke dari Evan Dimas dkk.

Sangat bisa dimengerti, putusan PSSI menurunkan timnas U-22 pada laga itu terkait event SEA Games 2017 dan Asian Games 2018. Dalam dua event multicabang tersebut, memang bukan timnas senior yanh diperbolehkan tampil. Namun, pertanyaannya, apakah hal ini akan diulangi pada agenda-agenda timnas senior berikutnya hingga Asian Games tiba? Apakah status pelatih timnas senior dan timnas U-22 yang disandang Milla sejatinya berarti pelatih timnas U-22 yang juga diturunkan sebagai timnas senior?

Pemain naturalisasi, Ezra Walian (tengah) melakukan pemanasan bersama Timnas Indonesia U-22 jelang latihan resmi laga persahabatan melawan Myanmar di Stadion Pakansari, Kab Bogor, Senin (20/3). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Pertanyaan ini pantas dikemukakan karena medali emas SEA Games dan semifinal Asian Games sepertinya sudah menjadi ambisi mati PSSI. Tak bisa diganggu gugat lagi. Apalagi, sebelumnya PSSI juga mengumumkan regulasi baru untuk Liga 1 yang akan bergulir pertengahan April nanti. Regulasi itu pun sangat terkait kepentingan timnas. Pertama, setiap tim harus mendaftarkan lima pemain U-23 dengan tiga di antaranya harus dimainkan di setiap laga setidaknya selama 45 menit. Kedua, setiap klub hanya boleh mengontrak paling banyak dua pemain yang berumur 35 tahun ke atas (35+).

Sepintas, kebijakan-kebijakan tersebut terkesan bertujuan jangka panjang dan memang perlu diterapkan. Namun, bila ditelaah secara cermat, kebijakan-kebijakan tersebut terbilang aneh dan cenderung hanya untuk jangka pendek, dalam hal ini demi SEA Games dan Asian Games. Bahkan, pembatasan pemain 35+ dan bila timnas U-22 mengambil alih semua agenda timnas senior, ada nuansa diskriminatif.

Seperti pernah diungkapkan di kolom ini pada 20 Januari 2017, kebijakan pembatasan umur tidaklah mendesak dan tak memiliki dasar yang kuat. Klub-klub masih punya itikad untuk mengorbitkan pemain-pemain muda. Para pemain 35+ pun tidaklah dominan di klub-klub divisi tertinggi. Tidak ada klub yang seperti Chievo Verona di Serie-A Italia yang memiliki tujuh pemain 35+ dan empat di antaranya menjadi andalan, yakni Stefano Sorrentino (37 th) di bawah mistar gawang, Massimo Gobbi (36 th) dan Dario Dainelli (37 th) di lini belakang, serta kapten Sergio Pellissier (37 th) sebagai juru gedor.

Timo Werner (depan, dua dari kanan) melakoni debut bersama Timnas Jerman pada uji coba melawan Inggris di Signal Iduna Park, Kamis (23/3/2017) dinihari WIB. (AP Photo/Frank Augstein)

Bila memang bertujuan mempercepat regenerasi, ada baiknya PSSI meniru langkah Jerman dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan lebih konkret dan tegas menyangkut pembinaan pemain usia muda. Misalnya, menggelar kompetisi di beberapa kelompok umur dan mewajibkan semua klub memiliki akademi. Ini penting untuk menelurkan pemain-pemain muda dengan kemampuan apik dan siap berlaga di kompetisi tertinggi. Akademi dan kompetisi usia muda akan menjadi talent pool bagi klub-klub. Para pelatih tentu tak akan menutup mata bila ada talenta-talenta istimewa di sana.

3 dari 3 halaman

Overrated dan Overpriced

Akademi dan kompetisi yang baik juga tak ubahnya kawah candradimuka. Pasalnya, bermain di level kompetisi tertinggi tidaklah mudah. Butuh kesiapan fisik, teknik, dan mental yang baik. Untuk bisa mengemuka, skill apik saja tidaklah cukup. Diperlukan pula kematangan dan kedewasaan.

Ini bukan hal sepele. Bahkan, di Eropa saja, Jose Mourinho mengaku kian sulit menemukan pemain muda dengan mentalitas apik. Menurut dia, pemain-pemain berumur 23 tahun sekarang ini jauh dari matang. "Saya harus memahami perbedaan bekerja dengan anak seperti Frank Lampard yang pada umur 23 tahun sudah layaknya seorang pria, yang berpikir tentang sepak bola, kerja, dan profesionalisme, dengan anak-anak sekarang yang dalam umur 23 tahun masih anak-anak," ujar manajer Manchester United tersebut.

Kasus yang dihadapi Mourinho di Inggris patut dijadikan cermin oleh pengurus teras PSSI. Inggris memang memiliki banyak talenta muda. Namun, banyak dari mereka yang lantas tak mengemuka. Itu tak terlepas dari kehadiran mereka yang "dipaksakan".

Aturan setiap klub Premier League harus memiliki delapan pemain yang sebelum berumur 21 tahun terdaftar di Asosiasi Sepak Bola Inggris atau Wales selama tiga tahun, menjadikan para pemain sebagai komoditas. Sudah begitu, karena langka, harga mereka pun lebih mahal. Sering kali ada ketimpangan antara harga dan kualitas. Kebanyakan dari mereka overrated dan overpriced.

Andre Villas Boas khawatirkan efek Bubble di Liga Tiongkok

Bubble seperti itulah yang diingatkan Andre Villas-Boas saat klub-klub Chinese Super League (CSL) diharuskan memakai satu pemain U-23 di starting XI dan satu lagi sebagai cadangan. "Saya tahu Asosiasi Sepak Bola Tiongkok ingin mendongkrak level para pemain muda. Tapi, ini juga akan menimbulkan harga tinggi bagi para pemain muda. Karena begitu banyak klub yang menginginkan, harga pasar mereka akan menjadi bubble yang serius," urai pelatih Shanghai SIPG tersebut.

Potensi bubble serupa di Indonesia tentu sangat besar. Bukan hanya karena wajib mendaftarkan lima pemain U-23, klub-klub pun tak akan mendapatkan keringanan andai ada pemain yang dipanggil memperkuat timnas. Entah bila ada yang cedera atau harua menjalani hukuman. Artinya, kebutuhan klub terhadap pemain U-23 makin besar, bukan hanya lima orang.

Dari sisi ekonomi, itu bagus bagi klub-klub feeder dan si pemain. Tapi, tidak akan bagus bagi kompetisi karena kualitas pemain U-23 yang bisa jadi seadanya, tidak istimewa. Sangat mungkin, lebih banyak yang jadi one hit wonder. Sekali berarti, setelah itu mati. Malah, mungkin belum siap berlaga di kompetisi terelite.

Akan sangat celaka bila kualitas para pemain U-23 itu kalah dari pemain 35+ yang justru dibatasi keberadaannya. Ini akan menimbulkan gejolak. Kebijakan itu akan jadi bahan olok-olokan publik. Para pemain senior yang tempatnya terampas para pemain muda hanya karena regulasi pun bisa saja mengajukan protes keras.

Sergio Pellisier (kanan) yang sudah berusia 37 tahun masih main dengan Chievo (Reuters/Alessandro Garofalo)

Mereka pantas protes. Di liga elite Eropa saja, tidak ada pembatasan seperti itu. Tak terkecuali di liga-liga yang pemain gaeknya masih dominan dan timnasnya kekurangan bintang mumpuni. Sebut saja Serie-A Italia. Musim ini, tercatat 28 pemain 35+ yang turun dalam laga-laga di Serie-A. Belum lagi yang terdaftar di skuat namun belum memperoleh kesempatan bermain.

Kita paham, Indonesia sudah sangat haus prestasi di sepak bola. Namun, sepenting itukah medali emas SEA Games dan semifinal Asian Games sehingga perlu dibuat aturan-aturan yang janggal, bahkan terkesan diskriminatif?

*Penulis adalah pengamat sepak bola dan komentator. Komentari kolom ini @seppginz.