Sukses

KOLOM: Menggugat Marquee Player di Liga 1

Apakah Marquee Player di Liga 1 benar-benar spesial? Simak ulasan Asep Ginanjar di kolom ini.

Liputan6.com, Jakarta #ligabarusemangatbaru, tagar itu berseliweran di linimasa sejak peluncuran Gojek Traveloka Liga 1, Senin (10/04/2017), di Hotel Fairmont, Jakarta. Sebuah tagar yang terkesan biasa, namun punya makna tak biasa. Ada harapan sekaligus tekad besar terselip di sana. Harapan akan sebuah kompetisi baru yang lebih meriah, menarik, dan tentu saja wah.

Akhir pekan ini, kick off Liga 1 akan dilakukan di Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Dua juara Piala Presiden, Persib Bandung (juara 2015) dan Arema Cronus (juara 2017), akan berjibaku menunjukkan semangat dan napas kompetisi baru itu. Pertemuan dua juara Piala Presiden ini tentu menjadi pembuka yang sangat menarik.

Ada banyak hal baru di kompetisi yang operatornya juga baru dan namanya pun mengandung kata "baru", PT Liga Indonesia Baru (LIB). Salah satunya tentu soal keberadaan marquee player, pemain dengan kriteria khusus yang ditetapkan PSSI. Dia harus tampil di salah satu dari tiga edisi terakhir Piala Dunia. Kalaupun tidak, dia haruslah punya pengalaman berlaga di kompetisi teratas di Inggris, Italia, Spanyol, Jerman, Belanda, Prancis atau Portugal dalam delapan musim terakhir.

Dalam laga perdana nanti, aksi marquee player juga akan jadi sajian tersendiri. Persib punya Michael Essien yang secara resmi terdaftar sebagai marquee player. Selain itu, ada Carlton Cole yang juga memenuhi kriteria karena sempat membela West Ham United di Premier League pada kurun delapan tahun terakhir.

Pemain anyar Persib Bandung, Michael Essien. (Liputan6.com/Kukuh Saokani)

Marquee player sebetulnya bukan perkara anyar di kancah sepak bola Indonesia. Di gelaran Liga Primer Indonesia (LPI) pada 2011, klub-klub juga diperbolehkan memiliki marquee player. Lee Hendrie dan Amaral adalah dua di antaranya. Namun, LPI kala itu adalah breakaway league, kompetisi yang tak diakui PSSI. Kini, aturan soal marquee player berlaku di kompetisi resmi.

Keberadaan pemain berkriteria marquee player yang sekarang dipakai PSSI pun bukan hal baru. Roger Milla, Maboang Kessack, Pierre Njanka, Jules Onana, Mario Kempes, Ivan Bosnjak, Eric Djemba-Djemba, dan Marcus Bent pernah mewarnai jagat sepak bola negeri ini walau hanya berstatus pemain asing biasa.

Meski begitu, Essien cs. tetaplah fenomena yang tak bisa dinafikan begitu saja. Mereka bahkan barometer bagi Liga 1. Sebagai marquee player, mereka diharapkan bisa mendongkrak pamor kompetisi, memperelok permainan, dan meningkatkan finansial klub. Gagal memenuhi harapan itu, berarti Liga 1 pun bisa dikatakan gagal dalam mengejawantahkan tagar #ligabarusemangatbaru.

2 dari 3 halaman

Not So Special

Bagi awam, ketika mendengar marquee player, secara otomatis yang terbayang adalah sosok David Beckham di Major League Soccer (MLS) dan Alessandro Del Piero di Indian Super League (ISL). Mereka bukan hanya pemain brilian, melainkan selebritas lapangan hijau. Mereka punya pengaruh besar di dalam dan luar lapangan. Meski datang ke liga semenjana saat beranjak tua dan di ujung karier, pesona mereka masih luar biasa.

Sejatinya, marquee player memang harus seperti itu. Hanya sosok superstar yang bisa menaikkan kualitas kompetisi. Hanya sosok selebritas pula yang bisa mendongkrak popularitas liga. Marquee player dibayar mahal untuk menjadi katalisator dua hal itu.

Bila ditelaah, ISL mengusung konsep marquee player yang sama dengan di Liga 1 musim ini. Namun, sejak diberlakukan pada 2014, nama-nama yang direkrut sebagai marquee player tetaplah berkategori superstar pada masa jayanya. Dari nama-nama yang pernah dan sedang beredar saat ini, sosok yang bisa dikatakan bukan superstar mungkin Aaron Hughes dan Joan Capdevilla. Namun, tetap saja, nama keduanya tidaklah asing di telinga.

Peter Odemwingie (Liputan6.com/Risa Kosasih)

Itu karena All Indian Football Federation (AIFF) menegaskan, pemain asing yang tidak pernah berlaga di turnamen internasional (Piala Dunia, Piala Eropa, Copa America, Piala Afrika, Piala Asia) bisa saja menjadi marquee player asalkan pernah membela klub bereputasi internasional di kompetisi yang juga bereputasi internasional dan berstatus penggawa timnas negaranya. Jadi, andai hanya pernah membela Paderborn di Bundesliga atau Evian di Ligue 1, kecil kemungkinan seorang pemain jadi marquee player.

Beda halnya dengan di Liga 1 musim ini. Peter Odemwingie yang direkrut Madura United, Shane Smeltz (PBFC), Jose Coelho (Persela), Wiljan Pluim (PSM) jelas tak setara dengan para marquee player ISL. Coelho dan Pluim bahkan belum pernah membela timnas masing-masing. Satu-satunya pemain yang bisa dikatakan marquee player adalah Essien yang pada masa emasnya memang termasuk salah satu bintang dunia.

Odemwingie bolehlah dikenal publik. Namun, itu karena dia pernah berkiprah di Premier League yang selama bertahun-tahun selalu ditayangkan stasiun televisi di negeri ini. Namun, dia tidak pernah menjadi bintang di klub besar. Striker asal Nigeria tersebut hanya berkiprah di klub-klub semenjana: West Bromwich Albion, Cardiff City, dan Stoke City. Di timnas Nigeria pun namanya kalah besar dari Nwankwo Kanu, Obafemi Martins atau Julius Aghahowa.

Shane Smeltz memberi keterangan usai penandatangan kontrak dengan PBFC di Jakarta, Selasa (11/4). Shane Smeltz berstatus marquee player dan diikat kontrak oleh PBFC selama semusim. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Kasarnya, dari deretan marquee player Liga 1 saat ini, mayoritas tergolong "not so special". Lalu, apa yang bisa dituntut dari marquee player seperti ini? Rasanya sulit berharap banyak. Apalagi sampai membayangkan Liga 1 dikenal di seantero Planet Bumi berkat mereka.

Memang benar, Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat, India, dan Australia. Kultur sepak bola di negeri ini jauh lebih besar dan kuat walaupun prestasinya begitu-begitu saja. Indonesia tak butuh Beckham dan Del Piero untuk menyedot penonton memenuhi stadion pada hari pertandingan. Namun, fungsi marquee player bukan hanya itu. Dia juga sosok yang jadi wajah liga di pelataran dunia. Lagi pula, bila tidak istimewa, apa bedanya marquee player dengan pemain asing biasa?

3 dari 3 halaman

Pemain Asing Ke-4

Pada akhirnya, ada kesan marquee player tak lebih dari sebuah celah untuk mendatangkan pemain asing keempat. Tengok saja PSM. Awalnya, Pluim direkrut sebagai pemain asing biasa. Namun, begitu pengajuan pemain Belanda berumur 28 tahun itu sebagai marquee player direstui PSSI, Juku Eja langsung mendaftarkan Marc Anthony Klok untuk mengisi jatah kuota pemain asing.

Klub-klub lain pun cenderung mempersiapkan pembelian marquee player begitu kuota pemain asing sudah penuh. Contohnya Semen Padang. Belakangan, klub asuhan Nilmaizar tersebut memastikan berburu marquee player karena gelandang asing Ko Jae-sung mengalami cedera dan harus menepi hingga tiga bulan. Karena kuota pemain asing tak lagi tersisa, Kabau Sirah terpaksa harus memburu marquee player untuk menyiasati situasi tersebut. Menariknya, putusan itu pun diambil setelah mereka gagal mendapatkan pemain lokal yang jadi incaran.

Klub-klub Liga 1 tak perlu takut harus mengeluarkan uang sangat besar karena tak ada kewajiban untuk mendatangkan pemain sekaliber Essien. Berburu di klub-klub semenjana Belanda, Prancis atau Portugal sudahlah cukup. Toh, Pluim dan Coelho saja bisa direstui sebagai marquee player.

Kapten tim Persib, Atep (tengah) melakukan protes kepemimpinan wasit Musthofa Umarella saat laga melawan Mitra Kukar FC di babak 8 besar Piala Presiden 2017 di Stadion Manahan Solo, Sabtu (25/2). Persib unggul 3-2. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Aturan soal marquee player pun jadi celah yang bisa dimanfaatkan klub-klub Liga 1 untuk menyiasati aturan salary cap. Untuk musim ini, sebuah klub hanya boleh mengeluarkan Rp15 miliar untuk gaji dan kontrak pemain. Namun, itu tidak termasuk gaji dan kontrak marquee player. Artinya, jika ingin menambah pemain tanpa melanggar salary cap, rekrutlah marquee player.

Sebetulnya akan lebih jelas bila kriteria marquee player yang digunakan merujuk ke MLS, bukan ISL. Di MLS, marquee player atau designated player adalah pemain bintang yang memiliki gaji di atas salary cap individual. Secara otomatis, bila kriteria ini yang digunakan, klub-klub tak akan serampangan mencari marquee player. Bukankah hanya pemain hebat dan ternama yang patut digaji sangat mahal, jauh di atas rekan-rekan setimnya?

Sejauh ini, publik tidak mengetahui persis gaji dan nilai kontrak Essien, Coelho, Pluim, dan Smeltz. Apakah gaji mereka benar-benar selangit ataukah sebenarnya tak terpaut jauh dari pemain-pemain lain? Belum ada rilis resmi dari klub maupub regulator liga mengenai besaran gaji dan kontrak para pemain.

Penyerang Arema FC, C Gonzales (kanan) berusaha melewati kawalan dua pemain Sriwijaya FC saat laga 8 besar Piala Presiden 2017 di Stadion Manahan, Solo, Minggu (26/2). Arema melaju ke semifinal setelah unggul 1-0. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Toh, palu sudah diketuk, aturan sudah disahkan. Mau ataupun tidak, publik harus menerima fakta bahwa tak semua marquee player di Liga 1 adalah nama besar atau bintang di belantara sepak bola dunia. Terlepas dari itu, masih bolehlah publik berharap mereka mampu memberikan warna positif di Liga 1 nanti. Syukur-syukur mereka bisa menjadi bintang baru, melewati bintang-bintang lama macam Cristian Gonzales, Boaz Solossa, dan Beto Goncalves.


*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.