Liputan6.com, Jakarta - Mimpi, cita-cita, dan harapan haruslah digantungkan setinggi langit. Namun, pada akhirnya, manusia hanya bisa berencana, bercita-cita, dan tentu saja mengusahakannya. Soal hasil, sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Tak selalu usaha keras untuk mencapai cita-cita tinggi dikabulkan oleh-Nya. Pengabulan harapan sepenuhnya merupakan hak prerogatif Tuhan.
Saat Carlo Ancelotti datang sebagai pelatih baru, para fans Bayern Munchen dibuai asa setinggi angkasa. Bukan hanya juara di Jerman, Bayern akan kembali juara di Eropa. Itu karena Ancelotti adalah sosok luar biasa. Dia pria sakti yang penuh magis. Dia juara di Italia, Inggris, dan Prancis. Dia juga tiga kali juara Liga Champions. Dialah yang menuntaskan penantian panjang Real Madrid untuk merengkuh La Decima pada 2013-14.
Baca Juga
Advertisement
Pekan lalu, Tuhan ternyata tak merestui keinginan para fans Bayern. Di Santiago Bernabeu, Die Roten harus mengubur mimpi. Kekalahan 2-4 dari sang tuan rumah, Madrid, dalam laga yang berlangsung hingga perpanjangan waktu memastikan mereka gagal melangkah ke semifinal Liga Champions. Secara total, Bayern kalah 3-6 karena pada leg I pun takluk 1-2 di kandang sendiri.
Itu tamparan keras bagi fans Bayern yang sangat berharap Ancelotti membawa peruntungan lebih baik dibanding Pep Guardiola yang selama tiga musim hanya membawa Die Roten ke semifinal. Ternyata, maestro asal Italia itu malah lebih buruk. Untuk kali pertama sejak 2011-12, Bayern tak finis di 4-besar Liga Champions.
Kamis (27/04/2017) WIB, impian lain terkubur. Di Allianz Arena, Bayern takluk 2-3 dari Borussia Dortmund. Itu membuat harapan mempertahankan trofi DFB Pokal kandas. Demikian pula dengan keinginan mempertahankan double winners. Secara khusus, itu juga memupus asa kapten Philipp Lahm menutup karier dengan mengangkat trofi di Olympiastadion Berlin.
Memang selalu ada dalih dan alasan. Saat tersingkir di Liga Champions, putusan-putusan wasit Viktor Kassai adalah alasan yang paling mengemuka. Di Allianz Arena, giliran Fortuna yang dikambinghitamkan. Ancelotti dan Lahm menilai Bayern kurang beruntung karena begitu banyak peluang yang gagal dimanfaatkan menjadi gol.
Apa pun itu, hasil akhir tetaplah hal utama. Kegagalan berprestasi di Liga Champions dan DFB Pokal adalah noktah merah. Seperti kata Lothar Matthaeus, salah satu legenda Bayern, hanya juara Bundesliga tidaklah istimewa. Itu bahkan termasuk biasa saja. Untuk disebut menjalani musim yang baik, kata Matthaeus, Bayern setidaknya harus double winners.
Kemunduran
Boleh-boleh saja Ancelotti usai kekalahan di semifinal DFB Pokal mengatakan, publik belum bisa menjatuhkan vonis karena Bayern masih berpeluang juara Bundesliga. Namun, sejumlah fakta mengindikasikan 2016-17 memang bukanlah musim yang baik bagi Die Roten.
Perlu dicatat pula, Lahm cs. belum pasti juara Bundesliga. Andai saja RasenBallsport Leipzig pada akhir pekan lalu mampu mencegah Schalke membuat gol penyeimbang, Bayern bisa jadi ketar-ketir karena keunggulan mereka terpangkas menjadi enam poin saja dan pertemuan kedua klub di Leipzig pada spieltag ke-33 bisa jadi semacam final. Untunglah laga itu berakhir imbang sehingga Die Roten masih unggul delapan angka dengan empat laga tersisa.
Hal yang mungkin luput dari perhatian, kekalahan dari Dortmund di DFB Pokal membuat Bayern gagal memetik kemenangan dalam lima laga beruntun di semua ajang. Mereka bahkan menelan tiga kekalahan yang dua di antaranya di kandang sendiri. Ini indikasi krisis dan kemunduran yang tak bisa dianggap enteng.
Untuk mendapati jejak serupa, kita harus mundur jauh ke belakang. Kali terakhir Bayern gagal menang dalam lima partai beruntun adalah pada musim 1999-00. Itu pun sebenarnya lebih baik karena Die Roten hanya kalah dari Dynamo Kyiv. Empat laga lainnya berakhir imbang. Pada 2014-15, Bayern juga memang sempat menuai empat kekalahan beruntun. Namun, dua kekalahan di Bundesliga terjadi saat mereka sudah memastikan juara. Mereka pun hanya kalah adu penalti dari Dortmund di DFB Pokal.
Mengingat pada akhir pekan nanti harus melawat ke Volkswagen Arena milik VfL Wolfsburg, bukan tak mungkin Bayern malah mendekati catatan delapan laga tanpa kemenangan yang dialami musim 1994-95. Hal yang perlu diingat, pelatih Bayern kala itu adalah Giovanni Trapattoni, maestro dari Italia, sama dengan Ancelotti.
Meneruskan tren tak menang bukan kemustahilan karena sebagian besar penggawa Bayern menunjukkan kemunduran. Publik mungkin hanya melihat hal itu terjadi pada Thomas Mueller karena statistik golnya yang menurun sangat drastis. Padahal, hal serupa juga dialami David Alaba, Douglas Costa, dan Kingsley Coman. Jangan lupakan pula sang rekrutan anyar, Renato Sanches.
Pemain-pemain lain pun cenderung labil, "on-off". Mungkin hanya Mats Hummels, Javi Martinez, dan Manuel Neuer yang punya performa paling stabil. Thiago Alcantara yang paling melesat di bawah asuhan Acelotti juga masih sering "padam", terutama dalam laga-laga besar.
Handicap terbesar Bayern musim ini adalah skuat yang tak lagi muda. Pilar-pilar Die Roten sudah memasuki akhir karier. Xabi Alonso dan Lahm bahkan sudah pasti gantung sepatu pada akhir musim nanti. Sementara itu, Arjen Robben dan Franck Ribery tak lagi bisa diharapkan bermain penuh setiap pekan. Mereka masih punya magi, tapi kaki-kaki mereka tak lagi mampu berlari tanpa henti.
Ironisnya, para pemain gaek itulah yang masih jadi andalan Ancelotti. Sampai-sampai, dia seperti ketakutan untuk memberikan kesempatan lebih banyak kepada para pemain yang lebih muda dan bugar. Tak heran bila Costa berkali-kali mengutaran hasrat hengkang dari Allianz Arena. Tak aneh pula bila Bayern tak memiliki deretan pemain pelapis mumpuni. Itu terlihat jelas saat di Bernabeu. Bayern sangat kontras dengan Madrid yang punya Lucas Vasquez dan Marco Asensio. Keduanya mampu memberikan warna tersendiri saat bangkit dari bangku cadangan.
Advertisement
Pilihan Keliru?
Ketika Bayern memilih Ancelotti, pertimbangan yang dipakai sederhana saja. Untuk menggantikan Guardiola yang world class, dibutuhkan pelatih world class lainnya. Ancelotti merupakan opsi yang paling masuk akal. Bahkan, di Liga Champions, dia masih lebih baik dari Pep.
Satu hal yang dilupakan Karl-Heinz Rummenigge dkk. di jajaran teras pengurus Bayern adalah kebutuhan tim akan pelatih yang mampu melakukan rebuilding. Ancelotti bukanlah tipe pelatih seperti itu. Saat datang ke Chelsea, Paris Saint-Germain, dan Madrid, dia hanya mewarisi tim yang sudah jadi dan masih kompetitif. Dia tak perlu melakukan perombakan besar.
Ancelotti juga bukanlah pelatih yang akomodatif terhadap para talenta muda. Di tiga klub terakhirnya sebelum merapat ke Bayern, hanya segelintir pemain muda yang mendapat kepercayaan besar. Sebut saja David Luiz, Marco Verratti, Dani Carvajal, Alvaro Morata, dan Isco. Beberapa talenta muda malah harus tersingkir. Casemiro, Adrien Rabiot, dan Nemanja Matic adalah deretan pemain yang dipinjamkan ke klub lain. Sementara itu, Morata malah dijual ke Juventus.
Tak heran bila Coman, Joshua Kimmich, dan Renato Sanches begitu jarang bermain sebagai starter di Bayern musim ini. Mereka pun jarang dibiarkan bermain penuh. Di Bundesliga, hanya sekali Coman bermain selama 90 menit. Sanches malah tak pernah. Dari 15 penampilan, dia sepuluh kali masuk sebagai pengganti dan lima kali ditarik sebelum laga berakhir.
Fakta-fakta itu tentu mencemaskan bagi siapa pun yang mendukung Bayern. Apa yang akan dilakukan Ancelotti ketika Lahm dan Alonso tak lagi ada di skuatnya? Mau dan mampukah dia memanfaatkan para pemain yang ada dengan baik? Bisakah dia mendongkrak kembali performa Mueller cs. yang jeblok?
Patut diingat, Bayern bukanlah Chelsea, PSG atau Madrid yang mau menggelontorkan uang ratusan juta euro di bursa transfer. Meski bukan klub kere, Bayern masih tergolong klub yang realistis dan ketat dalam menjaga kas.
Untuk pengganti Lahm dan Alonso saja, manajemen sudah memastikan tak akan ada rekrutan besar. Ancelotti diminta memanfaatkan potensi yang ada macam Kimmich, Sanches, Martinez, juga Sebastian Rudy yang dipastikan bergabung dari TSG 1899 Hoffenheim. Jikapun ada pembelian bintang baru dengan banderol mahal, sangat mungkin hanya satu orang.
Musim depan akan jadi masa pembuktian bagi Ancelotti bahwa dirinya bukanlah pilihan keliru yang diambil manajemen Bayern. Andai Die Roten tak menunjukkan perbaikan pada beberapa pekan awal, tagar #AncelottiOut sangat sah untuk digemakan. Untuk saat ini, tagar itu rasanya masih terlalu dini. Paling cepat, tagar itu hanya pantas muncul bila Bayern nirtrofi pada akhir Mei nanti.
*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.